SANTI TSANAWIYAH, 105060235 (2016) PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN RASA INGIN TAHU SISWA. Skripsi(S1) thesis, FKIP UNPAS.
Text
COVER SKRIPSI.docx Download (49kB) |
|
Text
LEMBAR PENGESAHAN.docx Download (12kB) |
|
Text
BAGIAN AWAL (1).docx Download (24kB) |
|
Text
abstrak betul.docx Download (12kB) |
|
Text
abstrak betul (1) inggris.docx Download (17kB) |
|
Text
DAFTAR ISI.docx Download (14kB) |
|
Text
BAB I yess.doc Download (83kB) |
|
Text
BAB 2 yess.doc Download (251kB) |
|
Text
BAB III baru jadi yess.docx Restricted to Repository staff only Download (70kB) |
|
Text
bab IV baru lagi.docx Restricted to Repository staff only Download (1MB) |
|
Text
BAB V.docx Restricted to Repository staff only Download (21kB) |
|
Text
Daftar pustaka 2.doc Download (49kB) |
|
Text
daftar riwayat hidup.docx Download (85kB) |
Abstract
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan sikap kerjasama dan rasa ingin tahu siswa kelas IV pada tema 1 subtema bersyukur atas keberagaman pembelajaran 4, 5, dan 6 dengan menerapkan model Discovery Learning di SDN Bojongloa VI. Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) jenis kolaborasi. Peneliti bekerjasama dengan guru kelas. Peneliti sebagai guru yang melaksanakan kegiatan pembelajaran sedangkan guru kelas IV sebagai observer. PTK ini terdiri dari tiga siklus, siklus I sampai dengan siklus III dilakukan dalam tiga kali pertemuan. Kriteria keberhasilan dalam penelitian ini terbagi ke dalam dua jenis, yaitu keberhasilan proses dan keberhasilan hasil. Keberhasilan proses yaitu jika perencanaan pembelajaran (RPP) dan pelaksanaan pembelajaran mencapai persentase sebesar 85%. Keberhasilan proses yaitu jika perencanaan pembelajaran (RPP) dan pelaksanaan pembelajaran mencapai persentase sebesar 85%. Sedangkan keberhasilan hasil yaitu jika sikap kerjasama yang meliputi kognitif produk (P1), kognitif proses (P2), dan psikomotor (P3) serta hasil afektif pembelajaran yang meliputi afektif karakter (P4) dan keterampilan sosial (P5) mencapai persentase sebesar 85% dari jumlah siswa kelas IV yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM=2,66). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menerapkan model Discovery Learning pada tema 1 subtema bersyukur atas keberagaman pembelajaran 4, 5, dan 6 dapat meningkatkan kerjasama dan rasa ingin tahu siswa di kelas IV. Hal ini ditunjukkan dengan hasil peningkatan sikap kerjasama dan rasa ingin tahu siswa afektif pembelajaran pada setiap siklusnya. Peningkatan hasil kerjasama secara keseluruhan adalah sebagai berikut: Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menerapkan model Discovey Learning pada tema 1 subtema bersyukur atas keberagaman pembelajaran 4, 5, dan 6 dapat meningkatkan sikap kerjasama dan rasa ingin tahu siswa kelas IV. Hal ini ditunjukkan dengan hasil peningkatan sikap kerjasana dan rasa ingin tahu siswa dan hasil afektif pembelajaran pada setiap siklusnya. Peningkatan hasil sikap kerjasama dan rasa ingin tahu siswa secara keseluruhan adalah sebagai berikut: Hasil P1 siklus I sebesar 72%, siklus II sebesar 67%, dan siklus III sebesar 90%; Hasil P2 siklus I sebesar 70%, siklus II sebesar 59%, dansiklus III sebesar 81%; Hasil P3 siklus I sebesar 72%, siklus II sebesar 75%, dan siklus III sebesar 98%. Adapun hasil afektif pembelajarannya adalah sebagai berikut: Hasil P4 siklus I sebesar 78%, siklus II sebesar 80%, dan siklus III sebesar 92%; Hasil P5 siklus I sebesar 72%, siklus II sebesar 82%, dansiklus III sebesar 85%.Berdasarkan analisis data tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerapan model discovery learning Pada tema 1 subtema bersyukur atas keberagaman pembelajaran 4, 5, dan 6 dapat meningkatkan sikap kerjasama dan rasa ingin tahu siswa kelas IV SDN Bojongloa 6 Kota Bandung. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia sekarang telah mengalami kemajuan yang begitu pesatnya, Kemajuan tersebut tampak terlihat dari semakin banyak dan lengkapnya fasilitas sekolah yang disediakan oleh pemerintah. Pemerintah telah melengkapi fasilitas yang masih kurang di sekolah. Namun, kualitas peserta didik yang dihasilkannya masih belum maksimal dikarenakan Sumber Daya Manusia Indonesia masih tetap mengalami ketertinggalan dibandingkan dengan Negara lain. Sumber Daya Manusia yang ada di Negara kita tidak update seperti Sumber Daya Manusia yang ada di Negara lain. Hal ini dibuktikan dengan gejala – gejala yang timbul sehingga menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia masih belum sesuai dengan harapan.Gejala yang di maksud adalah: 1) Masih ada siswa yang belum paham karena guru kurang cakap dalam menjelaskan 2) Siswa hanya mementingkan nilai akhir saja, meskipun dengan mencontek 3) Karakter yang diharapkan setelah siswa keluar dari kelas itu tidak terlihat 4) Masih ada guru yang pembelajarannya masih monoton, sehingga kurang menarik perhatian siswa. Fenomena yang terjadi yang saya alami di waktu praktik pengalaman lapangan. Bahwa apa yang ingin diharapkan guru pada saat siswa keluar kelas bisa diaplikasikan dalam kehidupan siswa yang nyata itu tidak terlihat sama sekali. Fenomena yang terlihat bahwa penanaman sikap kerja sama dan rasa ingin tahu siswa masih belum terlihat. Contohnya ketika pembelajaran di kelas terjadi masih ada siswa yang tidak bisa bekerja sama dengan orang lain dan rasa ingin tahu nya pun tidak terlihat. Anak laki – laki itu bersikearas supaya tidak ada diskusi kelompok, karena dengan kerja kelompok dia tidak bisa kerjasama dengan temannya yang kurang suka dengan dirinya. Sehingga ketika bekerja kelompok siswa itu selalu berdiam diri dan memisahkan diri dari kelompoknya. Masalah itu sangat penting untuk diteliti, supaya siswa itu mampu bekerja sama dengan orang lain.Sehingga, Siswa itu tidak hanya pintar tetapi cerdas, Karena beda antara manusia pintar dan cerdas. Pintar itu hanya dilihat dari segi kognitif saja. Tetapi manusia cerdas itu pintar dalam hal kognitif dan karakternya juga bagus. Pendidikan kita nampaknya hanya mampu melahirkan lulusan dengan tingkat intelektual yang bernilai tinggi, namun tidak sedikit pula diantara mereka yang cerdas itu justru tidak memiliki jiwa dan prilaku cerdas, tidak memiliki sikap yang baik, kurang memiliki mental keperibadian yang tangguh, sebagaimana nilai akademik yang mereka dapatkan dibangku sekolah. Fenomena seperti ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran bangsa Indonesia. Sedangkan di dalam tujuan pendidikan kita bukan sekedar untuk mengejar nilai-nilai keilmuan melainkan agar semua masyarakat Indonesia dapat bersikap baik dan bermoral sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan yang dipelajari. Hal inilah yang menggugah kita sebagai pendidik untuk memunculkan gagasan baru tentang pentingnya pendidikan karakter. Sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan, yang akan menjadi acuan bagi pengembangan kurikulum dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan pembuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya dan adat istiadat (Suyadi 2013: 20) Berdasarkan teori itu bahwa telah terjadinya pergeseran paradigma, yaitu dari paradigama pengajaran ke paradigama pembelajaran. Pergeseran paradigma ini menjadikan pembelajaran menjadi bermakna bagi siswa. Sehingga disekolah siswa bukan hanya mendengarkan informasi dari guru saja sehingga gurunya saja yang aktif. Tetapi pada saat ini guru hanya sebagai pembimbing pembelajaran sehingga siswa mencari tahu sendiri materi pembelajaran. Dengan tuntutan tersebut guru diharapkan mampu merencanakan pembelajaran yang yang efektif. Agar siswa dapat mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan. Sebagai seorang guru harus mampu merancang, mengelola dan mengevaluasi pembelajaran. Menurut Permendikbud Nomor 57 Tahun 2014 lampiran I tentang kurikulum 2013 Pasal 1 Kurikulum pada Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah yang telah dilaksanakan sejak tahun ajaran 2013/2014 disebut Kurikulum 2013 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Kurikulum 2013 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Kerangka Dasar Kurikulum; b. Struktur Kurikulum; c. Silabus; dan d. Pedoman Mata Pelajaran dan Pembelajaran Tematik Terpadu. Struktur Kurikulum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf b merupakan pengorganisasian Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar, muatan pembelajaran, mata pelajaran, dan beban belajar. (1) Kompetensi Inti pada Kurikulum 2013 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tingkat kemampuan untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan yang harus dimiliki seorang peserta didik sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah pada setiap tingkat kelas. (2) Kompetensi Inti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. Kompetensi Inti sikap spiritual; b. Kompetensi Inti sikap sosial; c. Kompetensi Inti pengetahuan; dan d. Kompetensi Inti keterampilan (3) Kompetensi Dasar pada Kurikulum 2013 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisikan kemampuan dan muatan pembelajaran untuk suatu tema pembelajaran atau mata pelajaran pada Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah yang mengacu pada Kompetensi Inti. (4) Kompetensi Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan penjabaran dari Kompetensi Inti dan terdiri atas: a. Kompetensi Dasar sikap spiritual; b. Kompetensi Dasar sikap sosial; c. Kompetensi Dasar pengetahuan; dan d. Kompetensi Dasar keterampilan Jadi bahwa kurikulum 2013 ini lebih menekankan pada aspek sikap spiritulal, sosial, pengetahuan, dan keterampilan yang dipelajari melaluai 1 tema pembelajaran serta terdiri dari 6 pembelajaran. Dalam pembelajaran di kurukulum 2013, peserta didik didorong untuk menemukan sendiri dan menghubungkan informasi baru dengan yang sudah ada dalam ingatannya, sehingga ilmu yang siswa dapatkan bisa bermanfaat dalam hidupannya. Kurikulum 2013 menganut pandangan dasar bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari guru ke peserta didik. Peserta didik adalah subjek yang memiliki kemampuan untuk secara aktif mencari, mengolah, mengkonstruksi, dan menggunakan pengetahuan. Untuk itu pembelajaran harus berkenaan dengan kesempatan yang diberikan kepada peserta didik untuk mengkonstruksi pengetahuan dalam proses kognitifnya. Agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, peserta didik perlu didorong untuk bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, dan berupaya keras mewujudkan ide-idenya. Manusia harus memiliki hasrat rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu membuat manusia dapat memecahkan setiap permasalahan yang ada di dalam fikirannya. Apabila siswa memiliki sikap rasa ingin tahu yang tinggi maka akan membawa manusia semakin mengerti dirinya sendiri. Lewat rasa ingin tahu membuat manusia mengetahui kebenaran, yang tadinya siswa tidak tahu menjadi tahu. Seorang yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi akan mencari informasi detail tentang segala sesuatu yang mereka pertanyakan. Lewat rasa ingin tahu kita, kita akan berusaha untuk memecahkan setiap pertanyaan dibenak kita. Hal ini akan membuat kita merasakan pengalaman baru. Sikap rasa ingin tahu siswa tidak akan muncul dengan sendirinya, maka perlu sarana untuk menumbuhkan rasa ingin tahu siswa dengan cara mengelompokan siswa untuk melakukan kerja ilmiah sehingga siswa dapat bekerja sama dengan siswa yang lainnya.Tapi terkadang ada siswa juga yang tidak bisa bekerja sama dengan yang lainnya,Sehingga dalam penelitian ini, bermaksud untuk meningkatkan kerja sama dan rasa ingin tahu siswa. Sarana untuk mengasah kemampuan ini melalui pembelajaran sub tema bersyukur atas keberagaman. Discovery yaitu suatu rangkaian kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan peserta didik untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, dan logis sehingga mereka dapat menemukan sendiri pengetahuan, sikap, dan keterampilan sebagai wujud adanya perubahan prilaku ( Roestiyah, 2008: 20) Keunggulan metode discovery yaitu membantu peserta didik untuk mengembangkan, kesiapan, serta penguasaan keterampilan dalam proses kognitif; Peserta didik memperoleh pengetahuan secara individual sehingga dapat dimengerti dan mengendap dalam pemikirannya; dapat membangkitkan motivasi dan gairah belajar peserta didik untuk belajar lebih giat lagi; memberikan peluang untuk berkembang dan maju sesuai dengan kemampuan dan minat masing – masing; memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan proses menemukan sendiri karena pembelajaran berpusat pada peserta didik dengan peran guru yang sangat terbatas. ( Hamalik, 2001:63) Kurikulum 2013 belum sepenuhya diterapkan, sehubungan dengan itu, peneliti bermaksud menerapkan kurikulum 2013 di SDN Bojongloa 6 dengan sub tema Bersyukur atas keberagaman. Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti akan melakukan Penelitian Tindakan Kelas dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Discopery Learning Untuk Meningkatkan Sikap Kerjasama dan Rasa Ingin Tahu Siswa Dalam Melakukan Kerja Ilmiah” B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah dari rendahnya kemampuan kerjasama dan rasa ingin tahu siswa kelas IV SDN Bojongloa 6 Kota Bandung pada sub tema Bersyukur atas keberagaman diantaranya sebagai berikut : 1. Sarana dan prasarana kurang mendukung kegiatan pembelajaran. 2. Guru belum siap menerapkan pembelajaran dengan menggunakan kurikulum 2013. 3. Guru masih menggunakan metode konvensional dalam proses penyampaian materi. 4. Pembelajaran yang dilaksanakan tidak melibatkan peran aktif peserta didik. 5. Keantusiasan siswa dalam pembelajaran masih belum terlihat. C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan Identifikasi yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan umum, yaitu “Apakah model discovery learning dapat meningkatkan sikap kerjasama dan rasa ingin tahu siswa” . Adapun sub-sub permasalah khusus dapat dirinci secara khusus, yaitu sebagai berikut: a. Bagaimana menyusun RPP dengan menerapkan model pembelajaran Discovery Learning pada sub-tema Bersyukur atas keberagaman agar kerjasama dan rasa ingin tahu siswa Kelas IV Di SDN Bojongloa 6 meningkat? b. Bagaimana menerapkan model pembelajaran Discovery Learning pada sub-tema Bersyukur atas keberagaman agar kerjasama dan rasa ingin tahu siswa Kelas IV Di SDN Bojongloa 6 meningkat? c. Adakah peningkatan sikap kerjasama siswa Kelas IV SDN Bojongloa 6 dalam melakukann kerja ilmiah pada sub-tema Bersyukur atas keberagaman setelah diterapkannya discovery learning ? d. Mampukah penerapkan model pembelajaran Discovery Learning meningkatkan sikap rasa ingin tahu siswa kelas IV SDN Bojongloa 6dalam melakukan kerja ilmiha pada sub-tema Bersyukur atas keberagaman ? D. Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah Penerapan Model Pembelajaran Discopery Learning Untuk Meningkatkan Sikap Kerjasama dan Rasa Ingin Tahu Siswa . Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1.Menyusun RPP dengan Menerapkan model Discovery Learning agar meningkatkan sikap kerjasama dan rasa ingin tahu siswa di kelas IV SDN Bojongloa 6 pada subtema Bersyukur atas keberagaman meningkat. 2.Melaksanakan pembelajaran dengan Penerapan model Discovery Learning agar sikap kerjasama dan rasa ingin tahu siswa di kelas IV SDN Bojongloa 6 pada subtema Bersyukur atas keberagaman meningkat. 3.Untuk meningkatkan kerjasama siswa di kelas IV SDN Bojongloa 6 pada subtema Bersyukur atas keberagaman melalui model Discovery Learning 4. Untuk meningkatkan rasa ingin tahu siswa di kelas IV SDN Bojongloa 6 pada subtema Bersyukur atas keberagaman. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini yaitu memberikan wawasan keilmuan terutama dalam strategi pembelajaran. Pembelajaran tidak hanya mementingkan pada hasil belajar saja tetapi juga pada proses belajarnya. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi ilmiah dengan tujuan untuk mengembangkan model pembelajaran. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Siswa Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman langsung kepada siswa dalam menerapkan model pembelajaran Discopery Learning pada sub tema bersyukur atas keberagaman untuk meningkatkan sikap kerjasama dan rasa ingin tahu siswa Kelas IV Di SDN Bojongloa 6serta dapat memilki kebiasaan positif seperti kerjasama dalam kelompok, aktif dalam pembelajaran dan lebih bertanggung jawab terhadap pembelajaran di sekolah. b. Bagi Guru Sebagai masukan bagi guru agar dapat menerapkan model pembelajaran Discovery Learning sebagai salah satu alternative yang dapat diterapkan dalam kegiatan pembelajaran serta dapat meningkatkan keprofesionalannya dalam pemberian pengajaran di kelas. c. Bagi sekolah Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi sekolah sebagai khazanah keilmuan dan bahan diskusi dalam memperluas wacana model pembelajaran sehingga dapat meningkatkan efisiensi proses pendidikan dan pelatihan kerja guru yang berkualitas dan profesional. d. Bagi Peneliti Selanjutnya Dapat dijadikan pengalaman dalam mempersiapkan diri sebagai tenaga pendidik pada masa yang akan datang. Selain itu juga menambah wawasan tentang model pembelajaran Discovery Learning. BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Pustaka 1. Kebijakan Kurikulum 2013 Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari tingkat pendidikannya. Karena di dalam pendidikan terjadi proses perubahan pola pikir yang nanti akan melahirkan pola sikap objek pendidikan di Indonesia belum stabil. Hal ini dapat dapat dibuktikan dengan beberapa pergantian kurikulum pendidikan. Menurut PP No 57 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah Pasal 1 dan pasal 3: (1) Kurikulum pada Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah yang telah dilaksanakan sejak tahun ajaran 2013/2014 disebut Kurikulum 2013 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. (2) Kurikulum 2013 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Kerangka Dasar Kurikulum; b. Struktur Kurikulum; c. Silabus; dan d. Pedoman Mata Pelajaran dan Pembelajaran Tematik Terpadu. (1) Struktur Kurikulum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf b merupakan pengorganisasian Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar, muatan pembelajaran, mata pelajaran, dan beban belajar. (2) Kompetensi Inti pada Kurikulum 2013 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tingkat kemampuan untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan yang harus dimiliki seorang peserta didik sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah pada setiap tingkat kelas. (3) Kompetensi Inti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. Kompetensi Inti sikap spiritual; b. Kompetensi Inti sikap sosial; c. Kompetensi Inti pengetahuan; dan d. Kompetensi Inti keterampilan (4) Kompetensi Dasar pada Kurikulum 2013 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisikan kemampuan dan muatan pembelajaran untuk suatu tema pembelajaran atau mata pelajaran pada Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah yang mengacu pada Kompetensi Inti. (5) Kompetensi Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan penjabaran dari Kompetensi Inti dan terdiri atas: a. Kompetensi Dasar sikap spiritual; b. Kompetensi Dasar sikap sosial; c. Kompetensi Dasar pengetahuan; dan d. Kompetensi Dasar keterampilan Menurut teori diatas dapat disimpulkan bahwa di Indonesia terdapat perubahan kurikulum dari KTSP ke kurikulum 2013, dimana pembelajaran dari kelas 1 sampai 6 dilakukan secara tematik, yaitu pembelajaran di satukan dalam 1 tema pembelajaran serta lebih menekan pada aspek sikap. Kompetensi Inti dan Kompetensi dasar didasarkan pada Kompetensi spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan. 2. Psikologi Konstruktivistik Dalam konstruktivisme istilah pendidikan diartikan sebagai mengajar (Tatang dan Kurniasih, 2008: 124) Menurut teori konstrutivisme mengajar bukanlah kegiatan yang memindahkan pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinakan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan pelajar dalam mengkonstruksi pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri (Bettencourt, 1989 dalam Tatang dan Kurniasih, 2008: 124). Mengajar, dalam konteks ini adalah membantu seseorang berfikir secara benar dengan membiarkannya berfikir sendiri ( Von Glasersfeld, 1989 dalam Tatang dan Kurniasih, 2008: 125). Dalam kegiatan mengajar, penyediaan prasarana dan situasi yang mamungkinkan dialog secara kritis perlu dikembangkan. Selain itu, perlu diperhatikan pula bahwa mengajar juga adalah suatu seni yang menuntut bukan hanya penguasaan teknik, melainkan juga intuisi ( Paul Suparno, 1997 dalam Tatang dan Kurniasih, 2008: 125) Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam psikologi konstruktivisme menyebutkan bahwa dalam proses belajar, guru berperan sebagai mediator, mengajar adalah kegiatan berfikir dan siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuannya ini sejalan dengan model discovery learning atau metode penemuan, sehingga siswa dapat mengkontruksi sendiri pengetahuannya. a. Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan (Pengajaran) atau tujuan pengajaran konstruktivisme lebih menekankan pada perkembangan konsep dan pengertian (pengetahuan) yang mendalam sebagai hasil konstruksi aktif si pelajar (Fosnot, 1996 dalam Tatang dan Kurniasih 2008: 125). b. Kurikulum Pendidikan Driver dan Oldham (Matthews, 1994 dalam Tatang dan Kurniasih 2008: 125) menyatakan, bahwa perencana kurikulum konstruktivisme tidak dapat begitu saja mengambil kurikulum standar yang menekankan siswa pasif dan guru aktif, sebagai cara mentransfer pengetahuan dari guru kepada murid. Kurikulum bukan sebagai tubuh pengetahuan atau kumpulan keterampilan (skill), melainkan lebih sebagai program aktivitas di mana pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksikan. Kurikulum bukan kumpulan bahan ajar yang sudah ditentukan sebelumnya untuk mengajar, melainkan lebih sebagai suatu persoalan (permasalahan) yang perlu dipecahkan oleh para siswa untuk lebih mengerti ( Paul Suparno, 1997 dalam Tatang dan Kurniasih, 2008:126) c. Metode Pendidikan Setiap pelajar mempunyai caranya sendiri untuk mengerti, karena itu mereka perlu menemukan cara belajar yang tepat untuk dirinya masing-masing. Dalam konteks ini maka tidak ada satu metode mengajar saja tidak akan banyak membantu pelajar belajar, sehingga pengajar sangat mungkin untuk mempertimbangkan dan menggunakan berbagai metode yang membantu pelajar belajar. Selain itu, mengingat pengetahuan dibentuk baik secara individual maupun sosial, maka kelompok belajar dapat dikembangkan (Paul Suparno, 1997 dalam Tatang dan Kurniasih, 2008:126) d. Peran Guru dan siswa Dalam kegiatan mengajar guru hendaknya berperan sebagai mediator danfasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan baik. Menurut Tobin, dkk., (1994) “bagi siswa, guru berfungsi sebagai mediator, pembimbing, dan sekaligus teman belajar (Paul Suparno, 1997 dalam Tatang dan Kurniasih, 2008:126) 3. Psikologi Perkembangan Sekolah Dasar a.Perkembangan Psikologi Anak Sekolah Dasar 1. Perkembangan aspek kognitif (Kecerdasan) Kemampuan kognitif berkaitan dengan kemampuan berfikir, mencangkup kemampuan intelektual mulai dari kemampuan mengingat sampai dengan kemampuan memecahkan masalah. Islam sangat memperhatikan perkembangan kognitif seseorang. Kemampuan kognitif dapat dikelompokkan menjadi enam, yaitu pengetahuan/pengenalan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Perkembangan kognitif pada masa kanak-kanak terjadi melalui urutan yang berbeda. Tahapan ini membantu menerangkan cara anak berfikir, menyimpan informasi, dan beradaptasi dengan lingkungannya. Menurut Jean Piaget terdapat tahapan - tahapan perkembangan kognitif pada anak usia SD : a. Periode konkret operasional (sekitar 7-11 tahun). Pada tahap ini anak mendapatkan struktur logika tertentu yang membuatnya dapat melaksanakan berbagai macam operasi mental, yang merupakan tindakan terinternalisasi yang dapat dikeluarkan bila perlu. Anak melaksanakan operasi ini dalam situasi konkret. b. Periode formal operasional (sekitar 11-15 tahun). Pada tahap ini operasi mental pada anak tidak lagi terjadi pada objek konkret, tapi juga dapat diaplikasikan pada kalimat verbal atau logika, yang tidak hanya menjangkau kenyataan melainkan juga kemungkinan, tidak hanya menjangkau masa kini tetapi juga masa depan. Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa anak SD berada dalam tahap kedua dan ketiga. Sifat khas anak SD sangat realistis, ingin tahu, dan ingin belajar. Sebagian besar anak SD ini belum mampu memahami konsep-konsep abstrak. Anak usia SD sudah memiliki kemampuan untuk berfikir melalui urutan sebab-akibat dan mulai mengenali banyak cara yang bisa ditempuh dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Anak usia SD ini juga dapat mempertimbangkan secara logis hasil dari sebuah kondisi atau situasi serta tahu beberapa aturan atau strategi berfikir, sperti penjumlahan, pengurangan, penggandaan, mengurutkan, dan mampu memahami operasi dalam sejumlah konsep. 2. Perkembangan aspek afektif (Perasaan) Kemampuan afektif berhubungan dengan perasaan, emosi, sistem nilai, dan sikap hati yang menunjukkan penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu. Seseorang juga dapat membuat respon berurutan yang menunjukkan intensitas emosi yang dimilikinya. Kemampuan afektif ini terdiri dari yang paling sederhana, yaitu memperhatikan suatu fenomena, yang merupakan faktor internal individu. Kemampuan ini dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu pengenalan/penerimaan, pemberian respon, penghargaan terhadap nilai, pengorganisasian dan pengamalan. Emosi yang umum pada akhir masa kanak-kanak hampir sama dengan pola pada awal masa kanak-kanak, perbedaannya terletak pada awal jenis situasi yang membangkitkan emosi dan bentuk ungkapannya. Perubahan tersebut lebih merupakan akibat dari meluasnya pengalaman dan belajarnya dari pada proses pematangan diri. Dengan bertambah besarnya badan, anak-anak mulai mengungkapkan amarah dalam bentuk murung, menggerutu, dan berbagai ungkapan kasar.Pada masa akhir kanak-kanak, ada waktu dimana anak sering mengalami emosi yang hebat. Karena emosi cenderung kurang menyenangkan, maka dalam periode ini meningginya emosi menjadi periode ketidak seimbangan, yaitu saat dimana anak sulit dihadapi. 3. Perkembangan aspek psikomotorik (Gerak). Perkembangan psikomotorik berkaitan dengan keterampilan motorik, yang berhubungan dengan anggota tubuh atau tindakan yang memerlukan koordinasi antara syaraf dan otak. Perkembangan psikomotorik peserta didik SD memiliki kekhususan antara lain ditandai dengan perubahan-perubahan ukuran tubuh dan proporsi tubuh. Tingkat sosial-ekonomi orang tua juga berpengaruh terhadap anak. Anak yang berasal dari tingkat sosial-ekonomi atas cenderung mempunyai keterampilan yang lebih tinggi dibandingkan anak yang berasal dari tingkat sosial-ekonomi yang rendah. Keterampilan yang dipelajari lebih terpusat pada keterampilan menolong yang bersifat sendiri dan sosial, sedangkan anak dari tingkat sosial-ekonomi menengah dan atas terpusat pada kelompok keterampilan bermain. b. Karakteristik Perkembangan Peserta Didik Usia SD Ada beberapa karakteristik anak di usia Sekolah Dasar yang perlu diketahui para guru, agar lebih mengetahui keadaan peserta didik khususnya ditingkat Sekolah Dasar. Sebagai guru harus dapat menerapkan metode pengajaran yang sesuai dengan keadaan siswanya, maka sangatlah penting bagi seorang pendidik mengetahui karakteristik siswanya. Adapun karakeristik peserta didik dibahas sebagai berikut: 1. Karakteristik pertama anak SD adalah senang bermain. Karakteristik ini menuntut guru SD untuk melaksanakan kegiatan pendidikan yang bermuatan permainan lebih – lebih untuk kelas rendah. Guru SD diharap merancang model pembelajaran yang memungkinkan adanya unsur permainan. 2. Karakteristik yang kedua adalah senang bergerak, orang dewasa dapat duduk berjam-jam, sedangkan anak SD dapat duduk dengan tenang paling lama sekitar 30 menit. Oleh karena itu, guru hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak berpindah atau bergerak. Menyuruh anak untuk duduk rapi untuk jangka waktu yang lama, dirasakan anak sebagai siksaan. 3. Karakteristik yang ketiga dari anak usia SD adalah anak senang bekerja dalam kelompok. Guru harus merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak untuk bekerja atau belajar dalam kelompok, serta belajar keadilan dan demokrasi. Karakteristik ini membawa implikasi bahwa guru harus merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak untuk bekerja atau belajar dalam kelompok. 4. Karakteristik yang keempat anak SD adalah senang merasakan atau melakukan/memperagakan sesuatu secara langsung. Bagi anak SD, penjelasan guru tentang materi pelajaran akan lebih dipahami jika anak melaksanakan sendiri, Dengan demikian guru hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak terlibat langsung dalam proses pembelajaran. 4. Model Discovery Learning 1) Pengertian Model Discovery Learning Salah satu perubahan dalam pendidikan yang paling mendasar adalah perubahan kurikulum dari KTSP menjadi KTSP 2013. Begitupun dengan model pembelajaran yang cocok digunakan pada kurikulum 2013 yang berbasis saintifik yaitu salah satunya model discovery learning.Discovery adalah model penemuan, dimana siswa mencari dan menemukan sendiri pengetahuannya, guru hanya membimbing siswa. Sehubungan dengan hal di atas, Metode pembelajaran yang berbasis penemuan atau discovery learning adalah metode mengajar yang mengatur pengajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum diketahuinya tidak melalui pemberitahuan, namun ditemukan sendiri. ( Agus N Cahyo, 2013: 100) Menurut Sund dalam (Roestiyah: 20) discovery adalah proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Yang dimaksudkan dengan proses mental tersebut antara lain ialah: mengamati, mencerna, mengerti, menggolong – golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya. Suatu konsep misalnya: segi tiga, panas, demokrasi dan sebagainya, sedang yang dimaksud dengan prisnsip antara lain ialah: logam apabila dipanaskan akan mengemabang. Dalam teknik ini siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan instruksi.Bruner memakai metode yang disebutnya Discovery Learning, di mana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir (Agus N Cahyo , 2013:101). Metode Discovery Learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005:43) dalam Agus N Cahyo, 2013: 101. Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri adalah the mental process of assimilatig conceps and principles in the mind (Robert B. Sund dalam Agus N. Cahyo, 2013: 102). Jadi kesimpulan dari beberapa pendapat para ahli tersebut, pada model Discovery Learning materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk akhirnya akan tetapi siswa sebagai peserta didik didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorgansasikan apa yang ingin mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk akhir. Makanya, anak harus berperan aktif di dalam belajar. Peran aktif anak dalam belajara ini diterapkan melalui cara penemuan, Pada intinya, model doscovery learning ini mengubah kondisi belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran yang teacher oriented dimana guru menjadi pusat informasi menjadi student oriented; siswa menaji subjek dalam pembelajaran. Dengan mengaplikasikan metode Discovery Learning secara berulang-ulang dapat meningkatkan kemampuan penemuan diri individu yang bersangkutan. Model ini dirancang untuk meningkatkan keaktifan murid yang lebih besar, berorientasi kepada proses, mengarahkan pada diri sendiri, mencari sendiri. Dengan demikian, murid lebih banyak melakukan kegiatan sendiri atau dalam bentuk kelompok memecahkan permasalahan dengan bimbingan maupun tanpa bimbingan guru. 2) Tujuan Model Discovery Learning Pada tehnik penemuan siswa memiliki kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Melalui pembelajaran dengan penemuan, siswa belajar menemukan pola dalam situasi konkrit maupun abstrak, Keterampilan yang dipelajari dalam situasi belajar penemuan dalam beberapa kasus, lebih mudah ditransfer untuk aktifitas baru dan diaplikasikan dalam situasi belajar yang baru Sehubungan dengan hal itu, Tujuan model discovery learning Menurut Bell ( 1978)(dalam Agus N Cahyo: 104), beberapa tujuan spesifik dari pembeajaran dengan penemuan, yakni sebagai berikut: 1) Dalam penemuan siswa memiliki kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Kenyataan menunjukan bahwa partisipasi banyak siswa dalam pembelajaran meningkat ketika penemuan digunakan. 2) Melalui pembelajaran dengan penemuan, siswa belajar menemukan pola dalam situasi konkret maupun abstrak, juga siswa banyak meramalkan (extrapolate) informaasi tambahan yang diberikan. 3) Siswa juga belajar merumuskan strategi tanya jawab yang tidak rancu dan menggunakan tanya jawab untuk memperoleh informasi yang bermanfaat dalam menemukan. 4) Pembelajaran dengan penemuan membantu siswa membentuk cara kerja bersama yang efektif, saling membagi informasi, serta mendengar dan menggunakan ide-ide orang lain. 5) Terdapat beberapa fakta yang menunjukan bahwa keterampilan-keterampilan, konsep-konsep dan prinsip – prinsip yang dipelajari melalui penemuan lebih bermakna. 6) Keterampilan yang dipelajari dalam situasi belajar penemuan dalam beberapa kasus, lebih mudah ditranfer untuk aktivitas baru dan diaplikasikan dalam situasi belajar yang baru. Tujuan model pembelajaran Discovery menurut (Azhar 1991: 99) sebagai Model belajar mengajar yaitu: 1) kemampuan berfikir agar lebih tanggap, cermat dan melatih daya nalar (kritis, analisis dan logis); 2) membina dan mengembangkan sikap ingin lebih tahu; 3) mengembangkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik; 4) mengembangkan sikap, keterampilan kepercayaan murid dalam memutuskan sesuatu secara tepat dan obyektif. Sebagai kesimpulan dari teori di atas dimana guru harus terampil memilih persoalan yang relevan untuk diajukan kepada kelas, persoalan bersumber dari bahan pelajaran yang menantang murid dan sesuai dengan nalar murid. Model pembelajaran Discovery memungkinkan murid menemukan sendiri informasi-informasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan instruksional, ini kearah peran guru sebagi pengelola interaksi belajar mengajar kelas, ditandai bahwa model penemuan tidak terlepas dari adanya keterlibatan murid dalam interaksi belajar mengajar. 3) APLIKASI MODEL DICOVERY LEARNING A. Tahap Persiapan dalam Aplikasi Model Discovery Learning Dalam rangka mengaplikasikan metode discovery learning didalam kelas, seorang guru harus melakuakn beberapa persiapan terlebih dahulu. Berikut ini tahapan perencanaan menurut Bruner (1969) ( dalam Agus N. Cahyo: 248) : a. Menentukan tujuan pembelajaran b. Melakukan identifikasi karakterisktik sisw ( Kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan sebagainya ) c. Memilih materi pelajaran d. Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif ( dari contoh-contoh generalisasi). e. Mengembangkan bahan – bahan belajar yang berupa contoh-comtoh, ilustrasi, tugas, dan sebagainya untuk dipelajari siswa. f. Mengatur topik-topik pelajarn dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik. g. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar. Kesimpulan dari teori ini, bahwa setiap pembelajaran harus dipersiapakn dengan matang, seorang guru harus mempersiapkan keadaan siswa terlebih dahulu supaya siswa tertib dan serius dalam belajar, sehingga siswa siswa sudah siap dengan kondisi jasmani maupun rohaninyan sudah siap untuk mengikuti pelajaran yang dilaksanakan. B. Prosedur Aplikasi Discovery Learning Setiap pembelajaran pasti memiliki langkah-langkah pembelajaran.langkah pembelajaran pada kurikulum 2013 yaitu dengan pendekatan ilmiah, Proses pembelajaran terdiri atas lima pengalaman belajar pokok yaitu mengamati, menanya, mengumpulkan informassi, mengasosasikan dan mengkomunikasikan. langkah – langkah pembelajaran Menurut Syah (2004)(dalam Agus N Cahyo : 249) dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning di kelas, ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum sebagai berikut: a. Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan) Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu guru dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini Bruner memberikan stimulation dengan menggunakan teknik bertanya yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghadapkan siswa pada kondisi internal yang mendorong eksplorasi. Dengan demikian seorang Guru harus menguasai teknik-teknik dalam memberi stimulus kepada siswa agar tujuan mengaktifkan siswa untuk mengeksplorasi dapat tercapai. b. Problem Statement (Pernyataan/ Identifikasi Masalah) Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah) (Syah 2004:244), sedangkan menurut permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni pernyataan (statement) sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan. Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisis permasasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah. c. Data Collection (Pengumpulan Data) Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis. Dengan demikian anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki. d. Data Processing (Pengolahan Data) Menurut Syah (2004:244) pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002:22). Data processing disebut juga dengan pengkodean coding/ kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis e. Verification (Pembuktian) Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak. f. Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi) Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan siswa harus memperhatikan proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu. Dari pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam menerapkan Model pembelajaran Discovery ini, seorang guru dianjurkan untuk tidak memberikan materi pelajaran secara utuh. Siswa cukup diberi konsep utama untuk selanjutnya siswa dibimbing agar dapat menemukan sendiri sampai akhirnya dapat mengorganisasikan konsep tersebut secara utuh. Untuk itu guru perlu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mendapatkan konsep-konsep yang belum disampaikan oleh guru dengan cara memecahkan masalah. Pelaksanaan Model pembelajaran Discovery dibantu dengan Model diskusi dan pemberian tugas, diskusi untuk pemecahkan masalahan dilakukan oleh sekelompok kecil siswa antara tiga sampai lima orang dengan arahan dan bimbingan guru. Kegiatan ini dilaksanakan pada saat tatap muka. Dengan demikian dalam model pembelajaran Discovery Model komunikasi digunakan, bukan komunikasi satu arah atau komunikasi sebagai aksi, tetapi komunikasi dua arah. Siswa diberi peluang untuk mencari dan menemukan sendiri dengan teknik pemecahan maslah. Dalam tahapan ini memerlukan banyak bimbingan terutama bagi siswa yang tidak terbiasa menghadapi kondisi kelas yang demikian. Hal tersebut memungkinkan murid-murid menemukan arti bagi diri mereka sendiri, dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang dimengerti mereka. Dengan demikian seorang guru dalam aplikasi metode Discovery Learning harus dapat menempatkan siswa pada kesempatan-kesempatan dalam belajar yang lebih mandiri. Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning guru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses belajar perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya. C. Lingkungan Belajar dalam Metode Dicovery Learning Lingkungan proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Sebagaimana dikutip dari Slameto (2003) (dalam dalam Agus N Cahyo : 109) untuk menunjang proses belajar, lingkungan perlu memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan discovery learnign environment, yaitu lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui. Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih kreatif. Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Hal ini sama dengan pendapat Bruner , bahwa manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir ( mempresentasikan apa yang dipahami ) sesuai dengan tingkat perkembangannya. Menurut Bruner perkebangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lebih tepatnya menggambarkan lingkungan, yaitu: enaktive, iconic, dan symbolic ( Budiningsih, 2005)( dalam Agus N Cahyo: 110): Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enaktive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi). Tah ap symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya. Kesimpulannya bahwa secara sederhana, teori perkembangan dalam fase – fase di atas adalah anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergesr ke depan atau kebelakang dipapan mainan untuk menyesuaikan bertnya dengan berat temannya bermain) fase isi fase enaktive, Kemudian, pada fase iconic, ia menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan dan akhirnya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase symbolic. D. Interaksi Guru dan Siswa dalam Metode Discovey Learning Dalam model discovery learnign, guru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar sisw sesuai dengan tujuan. Kondisi seperti ni tentu mengubah kegiatan belajar mengajar yang semula teacher oriented menjadi student oriented. Oleh karena itu, siswa hendaknya diberi kesempatan untuk menjadi seorang problem solver, seorang saintis, historin, atau ahli matematika. Dengan demikian, seorang guru dalam aplikasi metode discovery learning harus dapat menempatkan siswa pada kesempatan-kesempatan dalam belajar lebih mandiri. Bruner sebagaimana dikutip Budiningsih (2005) dalam Agus N. Cahyo (2013: 112) mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. Pada akhirnya, yang menjadikan siswa berperan seorang probem solver, seorang scientist, historin, atau ahli matematika. Dengan kegiatan tersebut, siswa akan menguasainya, menerapkannya, serta menemukan hal-hal yang bermafaat bagi dirinya. Karakteristik yang paling jelas mengenai discovery learning sebagai metode mengajar ialah bahwa sesudah tingkat-tingkat inisial (permulaan) mengajar, bimbingna guru hendaklah lebih berkurang dari pada metode – metode mengajar lainnya. Hal ini tak berarti bahwa guru menghentikan untuk memberikan suatu bimbingan setelah problema yang disajikan kepada pelajar. Tetapi bimbingn yang diberikan tidak hanya dikurangi dirktifnya melainkan pula pelajar itu diberi responsibilitas yang lebih besar untuk belajar sendiri. Dalam hubungan antara guru dan siswa, Dahar (1989)(Dalam Agus N Cahyo, 2013: 113) mengemukakan beberapa peranan guru dalam pembelajaran dengan penemuan, yakni sebagai berikut: 1) Merencanakan pelajaran sedemikian rupa sehingga pelajaran itu terpisat pada masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki para siswa. 2) Menyajikan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para siswa untuk memecahkan masalah. Sudah seharusnya materi pelaajaran itu dapat mengarah pada pemecahan masalah yang aktif dan belajara penemuan, misalnya dengan menggunakan fakta-fakta yang berlawanan. 3) Guru juga harus memperlihatkan cara penyajian yang ensctive, iconik, dan simbolik. 4) Bila siswa memecakan masalah di laboratorium atau secara teoritis, guru hendaknya berperan sebagai seorang pembimbing atau tutor. 5) Menilai hasil belajar merupakan suatu masalah dalam belajar penemuan. Secara garis besar, tujuan belajar penemuan ialah mempelajari generalisasi-generalisasi dengan menemukan generalisasi-generalisasi itu. E. Desain kurikulum Discovery Learning Menurut Bruner, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menyusun materi pelajaran dan menyajikannya sesuai tahap perkembangan tersebut. Selain itu, untuk memfasilitasi pembentukan konsep, kode-kode generik maka perlulah suatu kurikulum yang koheren dengan metode discovery learnign. Menurut Budiningsih (2005)(dalam 2013: 114), gagasan Bruner tentang bentuk suatu kurikulum yang sejalan dengan pendekatan discovery learning adalah mengenai kurikulum spiral (s spiral curiculum) sebagai suatu cara mengorganisasikan materi pelajaran tingkat makro, menunjukan cara mengurutkan materi pelajaran mulai dari mengajarkan materi secara umum, mkemudian secara berkala kembali mengajarkan materi yang sama dalam cakupan yang lebih rinci. Kurikulum spiral dipandaang dari pola desain kurikulum, berdasarkan pada pengorganisasian bahan ajar (subject matter), maka termasuk subject centered design, suatu desain kurikulum yang berpusat pada bahan ajar. Karakteristik kurikulum adalah bahwa: kurikulum dari suatu mata pelajaran harus ditentukan oleh pengertian yang sangat fundamental bahwa hal itu dapat dicapai berdasarkan prisip-prinsip yang memberikan struktur bagian mata pelajaran itu. Menurut pengertian tersebut, kurikulum spiral juga dapat dikategorikan sebagai kurikulum disiplin design yang menekankan agar siswa memahami konsep-konsep, ide-ide dan prinsi-prinsip penting, juga didorong untuk memahami cara mencari dan menemukannya (models of inquiry and discovery). Sehingga, siswa dapat memahami bahan pelajaran dengan tidak mengalami kebingungan karena meteri yang diberikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan daya tangkap siswa, sesuai dengan tahap enactif, iconic, dan symbolic. 4) Kelebihan Model Pembelajaran Discovery Learning Setiap model pembelajaran pasti memiliki kelemahan dan kelebihan, dalam pembelajaran discovery learning dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah karena siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran, sehingga siswa tidak pasif, selain itu menjadikan siswa belajar mandiri. Adapun kelebihan model pembelajaran discovery learning yang dikemukakan oleh Roestiyah (2001: 60) mengemukakan beberapa kelebihan model discovery diantaranya: 1. Pada siswa harus ada kesiapan dan kematangan mental untuk cara belajar ini. Siswa harus berani dan berkeinginan untuk mengetahui keadaan sekitarnya dengan baik. 2. Bila kelas terlalu besar penggunaan teknikini akan kurang berhasil. 3. Bagi guru dan siswa yang sudah biasa dengan perencaan dan pengajaran tradisional mungkin akan sangat kecewa bila diganti dengan teknik penemuan. 4. Dengan teknik ini ada yang berpendapat bahwa proses mental ini ada yang berpendapat bahwa proses mental ini terlalu mementingkan proses pengertiansaja, kurang memperhatikan perkembangan/pembentukan sikap dan keterampilan bagi siswa. 5. Teknik ini mungkin tidak memberikan kesempatan untuk berpikir secara kreatif. Selain itu, kelebihan model pembelajaran discovery learning yang dikemukakan oleh Suryosubroto (2002: 200-201) mengemukakan beberapa kelebihan model discovery diantaranya: 1) Membantu murid mengembangkan memperbanyak kesiapan, serta pengusaan keterampilan dalam proses kognitif pengenalan murid; 2) murid memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi individual sehingga dapat kokoh mendalam tertinggal dalam jiwa murid tersebut; 3) dapat meningkatkan kegairahan belajar murid; 4) teknik ini dapat memberikan kesempatan kepada murid untuk dapat berkembang dan maju sesuai dengan kemampuanya masing-masing; 5) mampu mengarahkan cara murid belajar sehingga memiliki motivasi belajar yang sangat kuat dan giat; 6) membantu murid untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan proses penemuan sendiri; 7) strategi ini lebih berpusat kepada murid tidak pada guru, guru sebagai teman dalam belajar saja atau dengan kata lain guru hanya terlibat sebagai fasilitator dalam pembelajaran membantu apabila diperlukan; 8) membantu perkembangkan murid menuju skeptisisme yang sehat untuk menemukan kebenaran akhir dan mutlak. Uraian singkat di atas mengisyaratkan bahwa Pembelajaran dengan penemuan sebagai model mengajar merupakan penemuan yang dilakukan oleh siswa, dimana siswa menemukan sendiri sesuatu hal yang baru, ini tidak berarti yang ditemukannya benar-benar baru, sebab sudah diketahui orang lain. Dalam pembelajaran model discovery, dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, serta memperoleh pengetahuan yang melatih berbagai kemampuan intelektual murid, merangsang ingin tahu dan memotivasi kemampuan siswa, sehingga pembelajaran tersebut berlangsung secara aktif. Pembelajaran penemuan membangkitkan keingintahuan siswa, memotivasi siswa untuk terus bekerja hingga menemukan jawaban. Siswa melalui pembelajaran penemuan mempunyai kesempatan untuk berlatih menyelesaikan soal, mempertajam berpikir kritis secara mandiri, karena mereka harus menganalisa dan menginformasikan hasil belajarnya. Bruner dalam Budiningsih (2005) dalam Agus N. Cahyo, 2013: 116) , pendekatan discovery mempunyai empat keuntungan yaitu: kode-kode generk (general) memfasilitasi transfer dan retensi. Konsistensi pula dengan hal ini ialah bahwa discovery memfasiloitasi transfer dan memory (ingatan), Transferabilitis yang telah berkembang menampak dala apa yang disebut oleh Bruner sebagai intellectual potency. Dua keuntungan lainya berkaitan dengan abilitas problem solving (pemecahan masalah) dan motivasi. Bruner menandaskan bahwa maikn sering digunakan metode-metode dicovery nakin membawa seorang pelajar untuk menguasai keterampilan dalam pemecahan masalah (problem solving) menurut terminology Bruner, pelajar menguasai heruistic of discovery . Mengenai motivasi , Bruner yakin bahwa Discovey mengantarkan pelajar kepada suatu penggiliran dari relasi pada extrinsic reward kiranya tidak pelu. Dalam artikel The act of discovery, Bruner menyebutkan ada beberapa keuntungan jika suatu bahan dari suatu mata pelajaran yang disampaikan dengan menerapkan pendekatan – pendekatan yang berorientasi pada doscovery learnign, yaitu (Bruner, J.1969)(dalam Agus N. Cahyo): 1) Adanya suatu kenaikan dalam potensi intelektual 2) Ganjaran intrinsik lebih ditekankan dari pada ektrinsik. 3) Murid yang mempelajari bagaimana menemukan bararti murid itu menguasai metode discovery learning. 4) Murid lebih senang mengingat-ingat materi. Selain keuntungan yang dijelaskan Bruner tersebut, Ausumbel & Robinson (1969) (dalan Agus N. Cahyo, 2013: 117) juga mengemukakan keuntungan – keuntungan dari penerapan metode discovery. 1) Discovery mempunyai keuntungan dapat mentransmisikan suatu konten mata pelajaran pada tahap operasi operasi konkret. Termujudnya hal ini bila pelajar mempunyai segudang informasi sehingga ia dapat secara mudah menghubungkan konten baru yang disajilan dalam bentuk expository. 2) Discovery dapat dipergunakan untuk mengetes meaning fulness (keberartian) belajar. Tes yang dimaksudkan hendaklah mengandung pertanyaan kepada pelajara untuk menggenerasi hal-hal (misal konsep-konsep) untuk diaplikasikan) 3) Belajar discovery perlu dalan pemecahan problem jika diharapkan murid murid mendemonstrasikan apakah mereka telah memahami metode-metode pemecahan probelm yang telah mereka pelajari. 4) Transfer dapat ditingkatkan bila generalisasi – generalisasi telah ditemukan oleh pelajar dari pada bila diberikan kepadanya dalam bentuk final. 5) Penggunaan discovery mungkin mempunyai efek-efek superior dalam menciptakan motivasi bagi pelajar. Hal ini dikarenakan belajar discovery sangat dihargai oleh masyarakat kontemporer. 5) Kelemahan Model Pembelajaran Discovery Learning Meski Ausumbel memberi beberapa kelebihan dalam model discovery, ia juga memberi beberapa kelemahan dari model ini. Menurutnya, pada kenyataannya setiap alternatif yang menjadi teori tersebut tak akan efektif baik waktu, biaya, dan keuntungan-keuntungan bagi pelajar. Sesungguhnya hanya sedikit sekolah-sekolah yang mengembangkan belajar discovery pada siswa. Hal ini karena bukan hanya membutuhkan waktu lama, melainkan siswa-sisa kurang memilki kemampuan dalam mengikuti metode doscovery yang justru membutuhkan penguasaan informasi yang lebih cepat, dan tidak diberikan dalam bentuk final. Ausumbel (dalam Agus N. Cahyo: 2013: 118) menandaskan bahwa setelah umur 11 atau 12 tahun, siswa memang memiliki cukup informasi untuk mampu memahami banyak konsep-konsep baru yang sangat jelas jika diperjelas kepada mereka.Pada usia ini, bila seorang siswa diminta menemukan suatu konsep memang bisa dilakukan namun butuh banyak waktu belajar. Sehingga akibatnya banyak waktu yang terbuang hanya untuk menguasai dan menemukan satu matei pelajaran saja. Dalam mengaplikasikan model discovery learning tidak semua siswa dapat melakukan penemuan, untuk itu membutuhkan bimbingan dari guru, sehingga membutuhkan banyak waktu untuk melakukan pembelarajan dengan menggunakan metode pembelajaran ini, selain itu juga dapat memerlukan waktu yang lama. Adapun kelemahan model pembelajaran dicovery learning menurut (Roestiyah, 2008: 21) 1) Pada siswa harus ada kesiapan dan kematangan mental untuk cara belajar ini. Siswa harus berani dan berkeinginan untuk mengetahui sekitarnya dengan baik. 2) Bila kelas terlalu besar penggunaan teknik ini akan kurang berhasil. 3) Bagi guru dan siswa yang sudah biasa dengan perencanaan dan pengajaran tradisional mungkin akan sangat kecewa bila diganti dengan teknik penemuan. 4) Dengan teknik ini ada yang berpendapat bahwa proses mental ini terlalu mementingkan proses pengertian saja, kurang memperhatikan perkembangan/pembentukan sikap dan keterampilan bagi siswa 5) Teknik ini mungkin tidak memberikan kesempatan untuk berpikir secara kreatif. Ada beberapa kelemahan metode discovery, yaitu sebagai berikut. 1) Metode ini berdasarkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau berfikir atau mengungkapkan hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi. Di pihak lain justru menyebabkan akan timbulnya kegiatan diskusi. 2) Metode ini tidak efisien untuk mengajar jumla.h siswa yang banyak, karena membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan masalah lainnya. 3) Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini dapat buyar berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama. 4) Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman, sedangkan mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang mendapat perhatian. 5) Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur gagasan yang dikemukakan oleh para siswa 6) Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan bagi berfikir yang akan ditemukan oleh siswa telah dipilih lebih dahulu oleh guru, dab proses penemuannya adalah dengan bimbingan guru (Hamalik, 1986: 122). Dari kedua teori di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa pembelajaran yang menggunakan model discovery learning harus memperhatikan beberapa faktor yang dapat mengahmbat proses pembelajaran, seperti jumlah siswa yang terlalu banyak, harus selalu memperhatikan keadaan kelas supaya tetap efektif karena tidak semua materi pembelajaran dapat menggunakan model ini. B. Keterampilan Kerjasama a) Definisi Keterampilan Kerjasama Pengembangan kerja sama yang baik bagi siswa memungkinkan terciptanya hubungan yang berlangsung efektif antara guru dengan siswa, dan dapat mengantar dirinya untuk memiliki aktivitas belajar dan komunikasi antara seseorang dengan orang lain. Bagi siswa yang memiliki pengembangan kerja sama yang memadai di yakini akan mampu mendinamisir lingkungan belajar dan membangun iklim yang kondusif, sehingga menimbulkan semangat dan motivasi belajar. Untuk itu kerja sama merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh setiap anak guna menjalin hubungan kerja sama yang baik dan harmonis dengan guru dan sesama anak di kelas sehingga tujuan pembelajaran dikelas dapat tercapai. Johnson dkk berpendapat (2010: 28) bahwa “ kerjasama adalah upaya umum manusia yang saling mempengaruhi berbagai macam instruksional mengahargai perbedaan dan memunculkan ide – ide baru dan mampu meyelesaikan suatu masalah secara bersama – sama. Sedangkan Anita (2008) menyatakan bahwa melalui pembelajaran kooperatif siswa didorong untuk bekerjasama secara maksimal sesuai dengan keadaan kelompoknya. Dari kedua teori diatas dapat disimpulkan bahwa kita sebagai mahluk sosial manusia tidak dapat dipisahkan dari komunitasnya dan setiap orang di dunia ini tidak ada yang dapat berdiri sendiri malakukan segala aktivitas untuk memenhi kebutuhannya, tanpa bantuan orang lain. Pada era globalisasi ini, setiap orang dituntu lebih mampu memberdayakan diri dan kooperatif dalam menjalani kehidupan (Isjoni, 2013: 31). Sebagai makhluk sosial orang harus mau menjalin komunikasi dengan orang lain. Hubungan ini sangat penting dalam rangka memenuhi kebutuhannya dan sekaligus untuk memenuhi fungsinya sebagai warga masyarakat. Kerjasama diperlukan dalam kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran. Belajar bersama merupakan proses beregu ( berkelompok) di mana anggota – anggotanya mendukung dan saling mengandalkan untuk mencapai suatu hasil mufakat. Hal ini identik dengan definisi dari kooperatif. Menurut Isjoni (2013: 22), kooperatif berarti mengerjakan sesuatu secara bersama – sama dengan saling membantu satu sama lainya Pentingnya memiliki keterampilan kerjasama dalam kehidupan manusia, sejalan dengan pernyataan Johnson, Johnson & Holubec (1998), yang menyatakan bahwa sama seperti seorang guru harus mengajarkan keterampilan akademis, keterampilan kerjasama juga harus diberikan kepada siswa, karena tindakan ini akan bermanfaat bagi mereka untuk meningkatkan kerja kelompok, dan menentukan bagi keberhasilan hubungan sosial di masyarakat. Bordessa (2005) juga menyatakan pentingnya seseorang siswa memiliki keterampilan kerjasama, dengan mengatakan bahwa siswa benar-benar harus belajar untuk bekerjasama menuju satu tujuan, yakni adanya pemahaman bahwa tidak ada satu orangpun yang memiliki semua jawaban yang tepat, kecuali dengan bekerjasama. Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut, keterampilan kerjasama merupakan aspek kepribadian yang penting, dan perlu dimiliki oleh setiap orang dalam kehidupan sosial di masyarakat. Oleh karena itu keterampilan kerjasama khususnya dalam pembelajaran perlu mendapatkan perhatian dari orang tua dan guru untuk diberikan kepada anak semenjak usia dini, agar menjadi suatu kebiasaan bagi siswa dalam kehidupan sehari-hari. Keterampilan kerjasama dapat diajarkan melalui keluarga, lembaga sekolah, lembaga agama, lembaga pramuka, dan lembaga sosial yang lainnya. Salah satu cara yang relevan bagi mahasiswa untuk belajar menghadapi tantangan hidup yang semakin kompleks adalah mengalami dan menghadapi tantangan permasalahan tersebut dengan cara bekerjasama dalam kelompok. Hal tersebut menurut (Panitz, 1996) disebut dengan Collaborative Learning, yakni suatu filosofi dalam pembelajaran yang melibatkan beberapa siswa secara bersama-sama tergabung dalam kelompok yang mengakui adanya perbedaan kemampuan dan sumbangan pemikiran tiap-tiap individu.Menurut Felder, R.M (tanpa tahun) yang di muat dalam situs web http://www. studygs.net/cooplearn.htm, collaborative learning adalah suatu proses kelompok di mana anggota mendukung dan bersandar pada satu sama lain untuk mencapai suatu tujuan yang disetujui. Definisi ini memandang kelas sebagai suatu tempat sempurna untuk mengembangkan keterampilan dan pembentuk tim/kelompok yang diperlukan untuk hidup dikemudian hari. Lebih jelas dinyatakan dalam situs yang sama, bahwa collaborative learning adalah interaksi antara anggota tim : (1) yang dikembangkan dan berbagi suatu untuk mencapai tujuan umum, (2) member masukan untuk lebih memahami masalah yang dihadapi, (3) menanyakan, lebih mengerti secara mendalam dan solusi pemecahannya, (4) bereaksi dan bekerja untuk memahami terhadap pertanyaan lain, pengertian yang mendalam dan solusi, (5) masing-masing anggota menguasakan pada anggota lain untuk berbicara dan memberi masukan dan untuk mempertimbangkan kontribusi mereka, (6) dapat dipertanggung-jawabkan ke orang yang lain, dan mereka dapat dipertanggungjawabkan kepada dirinya sendiri, dan (7) diantara anggota tim ada saling ketergantungan. Menurut Rockwood (dalam Panitz, 1996) di dalam lingkunga
Item Type: | Thesis (Skripsi(S1)) |
---|---|
Subjects: | S1-Skripsi |
Divisions: | Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan > PGSD 2014 |
Depositing User: | Iyas - |
Date Deposited: | 25 Jul 2016 15:07 |
Last Modified: | 25 Jul 2016 15:07 |
URI: | http://repository.unpas.ac.id/id/eprint/6257 |
Actions (login required)
View Item |