PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP KEBERAGAMAN BUDAYA INDONESIA

RINI AYU ALWIYAH, 105060201 (2016) PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP KEBERAGAMAN BUDAYA INDONESIA. Skripsi(S1) thesis, FKIP UNPAS.

[img] Text
COVER SKRIPSI MANTAP.docx

Download (37kB)
[img] Text
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI MANTAP.docx

Download (13kB)
[img] Text
MOTTO DAN PERSEMBAHAN.docx

Download (11kB)
[img] Text
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI.docx

Download (11kB)
[img] Text
ABSTRAK SKRIPSI.docx

Download (14kB)
[img] Text
KATA PENGANTAR SKRIPSI.docx

Download (13kB)
[img] Text
UCAPAN TERIMAKASIH.docx

Download (16kB)
[img] Text
DAFTAR ISI SKRIPSI MANTAP.docx

Download (21kB)
[img] Text
BAB I SKRIPSI MANTAP.docx

Download (43kB)
[img] Text
BAB II KAJIAN TEORI.docx

Download (590kB)
[img] Text
BAB III SKRIPSI MANTAP.docx
Restricted to Repository staff only

Download (66kB)
[img] Text
BAB IV SKRIPSI MANTAP.docx
Restricted to Repository staff only

Download (299kB)
[img] Text
BAB V SKRIPSI MANTAP.docx
Restricted to Repository staff only

Download (18kB)
[img] Text
DAFTAR PUSTAKA.docx

Download (17kB)
[img] Text
DAFTAR RIWAYAT HIDUP SKRIPSI.docx

Download (87kB)

Abstract

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa kelas IVB pada konsep keberagaman budaya Indonesia dengan menerapkan model pembelajaran discovery learning di SDN Pulojaya 1 Kab. Karawang. Penelitian ini dilatarbelakangi rendahnya pemahaman konsep siswa pada konsep keberagaman budaya Indonesia. Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) jenis kolaborasi. Peneliti bekerjasama dengan guru kelas IVB sebagai observer. PTK ini terdiri dari dua siklus, setiap siklus satu kali pertemuan. Kriteria keberhasilan dalam penelitian ini terbagi ke dalam dua jenis, yaitu keberhasilan proses dan keberhasilan hasil. Keberhasilan proses yaitu jika perencanaan pembelajaran (RPP) dan pelaksanaan pembelajaran mencapai 80%. Sedangkan keberhasilan hasil yaitu jika pemahaman konsep keseluruhan siswa yang meliputi Lembar Kerja Siswa, Lembar Kegiatan Kelompok, kognitif proses, dan psikomotor serta hasil afektif pembelajaran yang meliputi afektif dan keterampilan sosial mencapai persentase 80% dari jumlah kelas IVB yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM 2,66). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menerapkan model pembelajaran discovery learning pada pembelajaran tematik dapat meningkatkan pemahaman konsep keberagaman budaya Indonesia di kelas IVB. Hal ini ditunjukkan dengan dengan hasil peningkatan pemahaman konsep dan hasil afekif pembelajaran pada setiap siklusnya. Peningkatan hasil pemahaman konsep secara keseluruhan adalah sebagai berikut: Hasil LKS siklus I sebesar 12,5%, siklus II sebesar 71%, Hasil LKK siklus I sebesar 40%, siklus II sebesar 80%, Hasil kognitif proses siklus I 42%, siklus II sebesar 92%, Hasil psikomotor siklus I sebesar 37,5%, siklus II sebesar 83%. Adapun hasil afektif pembelajaran adalah sebagai berikut: Hasil afektif siklus I sebesar 66,7%, siklus II sebesar 92%, Hasil keterampilan sosial siklus I sebesar 54%, siklus II sebesar 92%. Berdasarkan analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran discovery learning pada pembelajaran tematik dapat peningkatkan pemahaman konsep keberagaman budaya Indonesia di kelas IVB. Kata Kunci: Model Pembelajaran Discovery Learning, Pembelajaran Tematik, Pemahaman Konsep. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi sekarang ini, pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan dibutuhkan oleh setiap individu. Pendidikan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kemajuan bangsa Indonesia, oleh karenanya pendidikan harus lebih diutamakan bahkan diberikan sejak dini. Pendidikan menurut Undang-undang NO. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1 tentang SISDIKNAS menerangkan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Pendidik diharuskan memberikan bukan hanya sekedar pembelajaran yang tertuang dalam buku, tetapi sebagai pendidik harus menciptakan peserta didik yang memiliki beberapa komponen sikap dan moral yang baik. Karena anak-anak akan menjadikan bangsanya kelak menjadi bangsa yang bukan hanya berkembang bahkan akan lebih maju dari bangsa lainnya terutama dalam pendidikan, karena sebuah cita-cita yang besar tersebut maka pemerintah mengadakan berbagai inovasi dalam dunia pendidikan. Seperti salah satu contoh yaitu dengan mengadakan pengembangan kurikulum, kurikulum sendiri memiliki pengertian yang di ungkapkan oleh Pasal 1 butir 19 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai, tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. Perubahan kurikulum itu sendiri terjadi pada yang semula KTSP kemudian diganti dengan kurikulum baru yaitu kurikulum 2013 yang banyak menimbulkan pro dan kontra di masyarakat bahkan para ahli. Terlepas dari pro dan kontra tersebut kurikulum 2013 memiliki pengertian kurikulum yang berbasis kompetensi sekaligus berbasis karakter, yang dapat membekali peserta didik dengan berbagai sikap dan kemampuan yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tuntutan teknologi. Tentunya dalam kurikulum 2013 terdapat kekurangan dan kelebihan, salah satu kekurangnnya yang paling mendasar adalah kekurang pahaman guru dalam menyampaikan materi pembelajaran dengan kurikulum baru tersebut. Sedangkan kelebihan dari kurikulum 2013 adalah siswa dituntut aktif, kreatif dan inovatif. Selain memiliki kelebihan dan kekurangan, ternyata dalam kurikulum ini terdapat perubahan dalam segi strategi, model dan menuntut adanya perubahan pada sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan tuntutan kurikulum 2013. Sesuai dengan peraturan No. 18 1A pedoman umum pembelajaran yang mengatur tentang model pembelajaran yang digunakan pada kurikulum 2013, yaitu : (1) Project Based Learnig; (2) Problem Based Learning; (3) Discovery Learning; (4) Inquiry Learning. Selain itu, kurikulum 2013 lebih menekankan pembelajaran yang tematik: “Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi terbaru, “tematik” diartikan sebagai “berkenaan dengan tema” dan “tema” sendiri berarti “pokok pikiran; dasar cerita (yang dipercakapkan, dipakai sebagai dasar mengarang, mengubah sajak, dn sebagainya)”. Trianto mengungkapkan bahwa: “model pembelajaran tematik adalah pembelajaran yang dirancang berdasarkan tema-tema tertentu. Dalam pembahasannya, tema itu ditinjau dari berbagai mata pelajaran”. KTSP memang sudah menggunakan pembelajaran tematik, tetapi pada KTSP kelengkapan buku tidak disediakan oleh pemerintah sedangkan tematik pada kurikulum 2013 ternyata buku dan kelengkapan dokumen disiapkan lengkap sehingga memicu dan memacu guru untuk membaca dan menerapkan budaya literasi, dan membuat guru memiliki keterampilan membuat RPP, dan menerapkan pendekatan scientific secara benar. Sejalan dengan perubahan yang banyak dilakukan pemerintah terutama dalam perubahan kurikulum yaitu KTSP menjadi kurikulum 2013 sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang menjadi tolak ukur pendidikan disetiap tingkat pendidikan yaitu: “Mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Depdiknas, 2006: 5). Depdikbud, Bank Dunia, Bappenas, dan Bank Pembangunan Asia (1999), telah merumuskan visi dan misi pendidikan nasional sebagai berikut: “Visi makro pendidikan nasional adalah terwujudnya masyarakat madani sebagai bangsa dan masyarakat Indonesia baru dengan tatanan kehidupan yang sesuai dengan amanat proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui proses pendidikan”. “Misi makro pendidikan jangka panjang ialah mempersiapkan individu masyarakat Indonesia menuju masyarakat madani.” Tidak hanya pendidikan nasional saja yang memiliki visi dan misi dalam menjalankan proses pendidikan, SDN Pulojaya 1 Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karwang tentunya memiliki visi dan misi: Visi SD Negeri Pulojaya 1 adalah “mewujudkan insan yang berakhlak mulia, unggul dalam prestasi akademis dan non akademis, kreatif, inovatif serta mandiri”. Sedangkan Misi SD Negeri Pulojaya 1 adalah: (1) meningkatkan keimanan dan ketaqwaan bagi seluruh warga sekolah, (2) mengembangkan kreativitas dalam bidang seni, budaya dan olahraga sesuai dengan minat dan bakat, (3) mengembangkan inovasi dalam bidang IPTEKOM, (4) melaksanakan pembelajaran yang inovatif dan menyenangkan, (5) mengembangkan dan mencintai budaya sunda sehingga dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, (6) membuka jaringan kerja sama dengan klub olahraga dan sanggar seni, (7) menyediakan fasilitas layanan jaringan informasi dan komunikasi bagi orangtua dan siswa, (8) mengembangkan potensi diri untuk menjadi insan mandiri. Sejalan dengan visi dan misi, SDN Pulojaya 1 juga sudah menjadi sekolah dasar yang menjadi percontohan untuk penggunaan kurikulum 2013, yang menggunakan pembelajaran tematik. Tetapi walaupun pada kenyataannya seperti itu, dalam penerapan dan pengaplikasian kurikulum 2013 tentunya banyak sekali masalah yang dialami baik oleh pihak sekolah, oleh guru, dan sebagai subjek perubahannya yaitu siswa. Masalah itu terjadi pada kelas IV, karena pada kelas IV sudah diterapkan kurikulum 2013, kendala itu terdapat pada materi tema ke-1 indahnya kebersamaan sub tema ke-1 keragaman budaya bangsaku. Masalah-masalah yang terjadi pada materi keberagaman budaya bangsaku adalah sebagai berikut: (1) Sebagian besar siswa belum memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah. (3) Keterlibatan siswa yang sangat minim, kurang menarik minat siswa dan membosankan. (4) Kurangnya pemahaman siswa terhadap konsep keberagaman budaya bangsaku, yang terlihat pada hasil persentase yang belum memenuhi. (5) Model pembelajaran yang digunakan di dalam kurikulum 2013 belum dapat dicapai secara optimal. Penyebab masalah-masalah tersebut terjadi itu karena beberapa faktor mulai dari pihak sekolah yang kurang mendukung pengadaan fasilitas tambahan untuk pembelajaran dengan kurikulum 2013, faktor guru merupakan penyebab terbesar kendala tersebut terjadi diantaranya: (1) guru kurang menguasai materi pembelajaran, (2) guru terlalu menjadi pusat pembelajaran (teacher centered), (3) guru kurang mengoptimalkan penggunaan model pembelajaran yang terbaik, yang akan menjadikan siswa sebagai pusat pembelajaran (student centered). Jika permasalahan-permasalahan tersebut diabaikan saja, maka akan berdampak buruk pada kualitas pembelajaran dikelas. Ternyata setelah dilihat proses pembelajaran yang berlangsung di kelas, dari sekian permasalahan yang ada ditemukan permasalahan yang paling esensial adalah kurangnya pemahaman siswa terhadap konsep pembelajaran. Menurut Ruseffendi (Juwita, 2010: 11) pemahaman adalah “kemampuan menangkap pengertian-pengertian seperti mampu mengungkapkan suatu materi yang diajarkan ke dalam bentuk yang dapat dipahami, mampu memberikan interprestasi dan mampu mengklasifikasikannya”. Konsep menurut Soedjadi (2000: 14) “konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangkaian kata”. Berdasarkan kedua pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep adalah kemampuan menangkap pengertian-pengertian seperti mampu mengungkapkan suatu materi yang diajarkan ke dalam bentuk yang dapat dipahami, untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangkaian kata. Peneliti juga melihat permasalahan tersebut sangat esensial karena mengacu pada data yang didapatkan dari nilai-nilai siswa yang belum memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sebagai berikut: Kenyataan yang digambarkan di atas pada kelas IV SD Negeri Pulojaya 1 masih jauh dari kondisi ideal tersebut. Pemahaman terhadap konsep-konsep esensial pada pembelajaran tematik terbaru dengan kurikulum 2013 masih rendah (rata-rata kelas 65). Selain itu jumlah peserta didik yang berhasil mencapai dan melampaui KKM kurang dari 75%. KKM untuk pembelajaran tematik pada Tahun Pelajaran 2013/2014 yang lalu adalah 65 . Jumlah peserta didik yang berhasil mencapai dan melampaui KKM yang kurang dari 75% ini menyebabkan guru harus melakukan pembelajaran remedial secara klasikal. Sehingga timbullah beberapa solusi diantaranya dengan menggunakan model pembelajaran yang sudah ditetapkan dalam peraturan kurikulum 2013, dalam hal ini peneliti mengambil model discovery learning. Model discovery learning digunakan oleh peneliti karena berbagai macam pertimbangan, diantaranya salah satu karena permasalahan yang terjadi di kelas cukup kompleks dan mengharuskan peneliti menggunakan model tersebut. Model discovery learning adalah model pembelajaran yang mampu mengiring peserta didik untuk menyadari apa yang telah didapatkan selama belajar. Pembelajaran dengan penemuan (discovery learning) merupakan satu kompenen penting dalam pendekatan konstruktivis yang telah memiliki sejarah panjang dalam dunia pendidikan. “Ide pembelajaran penemuan (discovery learning) muncul dari keinginan untuk memberikan rasa senang kepada anak/siswa dalam “menemukan” sesuatu oleh mereka sendiri, dengan mengikuti jejak para ilmuwan (Nur, 2005)”. Metode ini merupakan komponen dari praktik pendidikan yang meliputi metode mengajar yang memajukan cara belajar aktif, berorientasi pada proses, mengarahkan sendiri, mencari sendiri dan reflektif. Langkah-langkah pelaksanaan metode penemuan menurut Scuhman (Suryosubroto, 2002: 193) adalah: “(a) identifikasi kebutuhan siswa, (b) seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian, konsep dan generalisasi yang akan dipelajari, (c) seleksi bahan, dan problema yang akan dipelajari dan peranan masing-masing siswa, (d) membantu memperjelas problema yang akan dipelajari dan peranan masing-masing siswa, (e) mempersiapkan setting kelas dan alat-alat diperlukan, (f) mencek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan tugas-tugas siswa, (g) memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan penemuan, (h) membantu siswa dengan informasi, data, jika diperlukan oleh siswa, (i) memimpin analisis sendiri dengan pernyataan yang mengarahkan dan mengidentifikai proses, (j) merangsang terjadinya interaksi antar siswa dengan siswa, (k) memuji dan membesarkan siswa yang bergiat dalam proses penemuan, (l) membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi atau hasil penemuannya. Kelebihan model pembelajaran discovery learning dibandingkan dengan model pembelajaran lain adalah untuk mendorong siswa berpikir secara ilimiah, kreatif, intuitif dan bekerja atas dasar inisiatif sendiri, menumbuhkan sikap objektif, jujur dan terbuka. Oleh karena itu peneliti mengambil model pembelajaran discovery learning untuk menyelesaikan permasalahan pemahaman konsep yang terjadi pada pembelajaran tematik. Atas dasar latar belakang masalah sebagaimana telah diutarakan di atas, maka saya memandang penting dan perlu untuk melakukan penelitian dengan judul “Penggunaan Model Pembelajaran Discovery Learning Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Keragaman Budaya Indonesia”. B. Identifikasi Masalah Atas dasar latar belakang masalah sebagaimana telah diutarakan di atas maka masalah dalam penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Sebagian besar siswa belum memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah. Hal tersebut dikarenakan siswa tidak dilibatkan dalam proses penemuannya sehingga materi yang dipelajari tidak membekas dalam waktu yang lama. 2. Kurang menarik minat siswa dan membosankan. Hal ini dikarenakan motivasi dari luar yang dimiliki siswa tidak mampu diwujudkan menjadi motivasi dalam dirinya sendiri. 3. Keterlibatan siswa yang sangat minim, kurangnya pemahaman siswa terhadap konsep keberagaman budaya bangsaku, yang terlihat pada hasil persentase yang belum memenuhi. Hal ini dikarenakan siswa tidak dioptimalkan otaknya sebagai pertahanan memori yang bersifat penyimpanan jangka panjang (long term memory). 4. Model pembelajaran yang digunakan di dalam kurikulum 2013 belum dapat dicapai secara optimal. Hal tersebut dikarenakan guru tidak menggunakan model pembelajaran yang mengacu pada keingintahuan siswa, memotivasi mereka menemukan jawabannya. C. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian 1. Rumusan Masalah “Atas dasar latar belakang dan identifikasi masalah sebagaimana telah diutarakan di atas, maka masalah utama dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Apakah penggunaan metode discovery learning dapat meningkatkan pemahaman konsep keragaman budaya indonesia pada pembelajaran tematik?” 2. Pertanyaan Penelitian Mengingat rumusan masalah utama sebagaimana telah diutarakan di atas masih terlalu luas sehingga belum secara spesifik menunjukkan batas-batas mana yang harus diteliti, maka rumusan masalah utama tersebut kemudian dirinci dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana pemahaman konsep keberagaman budaya indonesia pada siswa kelas IV SD Negeri Pulojaya 1 pada pembelajaran tematik dilihat dari nilainya sebelum mengikuti pembelajaran melaui penggunaan model pembelajaran discovery learning? 2. Bagaimana respon siswa kelas IV SD Negeri Pulojaya 1 selama mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran discovery learning? 3. Bagaimana aktivitas belajar yang dimunculkan siswa kelas IV SD Negeri Pulojaya 1 selama mengikuti proses pembelajaran menggunakan model pembelajaran discovery learning? 4. Bagaimana aktivitas guru selama guru melaksanakan pembelajaran di kelas IV SD Negeri Pulojaya 1 dengan menggunakan model discovery learning? 5. Apakah prestasi belajar siswa pada pemahaman konsep keberagaman budaya indonesia siswa kelas IV SD Negeri Pulojaya 1 dalam pembelajaran tematik berubah setelah mengikuti proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran discovery learning? D. Pembatasan Masalah “Memperhatikan hasil diidentifikasi masalah, rumusan masalah dan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah diutarakan, diperoleh gambaran dimensi permasalahan yang begitu luas. Namun, menyadari adanya keterbatasan waktu dan kemampuan, maka dalam penelitian ini penulis memandang perlu memberi batasan masalah secara jelas sebagai berikut: 1. Proses pembelajaran yang dinilai dalam penelitian ini meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor. 2. Dari sekian banyak Tema dan Subtema yang terdapat di dalam buku siswa kelas IV, dalam penelitian ini peneliti hanya akan mengkaji pada Tema 1 Subtema 1 dan pada Pembelajaran 1. 3. Objek dalam penelitian ini hanya akan meneliti pada siswa SD kelas IVBdi SD Negeri Pulojaya 1 Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang. 4. Peneliti dalam penelitian kali ini akan menggunakan model pembelajaran Discovery Learning untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam proses pembelajaran menggunakan kurikulum 2013 di SD Negeri Pulojaya 1 Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang. E. Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini tentunya terdapat tujuan, tujuan tersebut dibagi menjadi dua. Tujuan umum dan tujuan khusus, berikut ini adalah penjabarannya: 1. Tujuan umum dalam penelitian ini adalah: a) Untuk meningkatkan pemahaman konsep keberagaman budaya indonesia pada siswa dalam kelompok terhadap materi tema Indahnya Kebersamaan subtema Keragaman Budaya Bangsaku pembelajaran 1 melalui penggunaan model pembelajaran discovery learning di kelas IV SDN Pulojaya 1 Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang. 2. Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: a) Ingin menyusun RPP dengan menggunakan model pembelajaran discovery learning pada pembelajaran tematik untuk meningkatkan pemahaman konsep keberagaman budaya indonesia bagi siswa tentang tema indahnya kebersamaan subtema keragaman budaya bangsaku pembelajaran 1 di kelas IV SDN Pulojaya 1 Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang. b) Ingin menerapkan model pembelajaran discovery learning pada pembelajaran pada pembelajaran tematik untuk meningkatkan pemahaman konsep keberagaman budaya indonesia bagi siswa tentang tema indahnya kebersamaan subtema keragaman budaya bangsaku pembelajaran 1 di kelas IV SDN Pulojaya 1 Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang. c) Ingin melaksanakan proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran discovery learning pada pembelajaran tematik untuk meningkatkan pemahaman konsep keberagaman budaya indonesia bagi siswa tentang tema indahnya kebersamaan subtema keragaman budaya bangsaku pembelajaran 1 di kelas IV SDN Pulojaya 1 Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang. d) Ingin melatih kecakapan guru dalam menyampaikan proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran discovery learning pada pembelajaran tematik tema indahnya kebersamaan subtema keberagaman suku bangsaku pembelajaran 1 di kelas IV SDN Pulojaya 1 Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang. F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis manfaat penelitian ini adalah untuk meningkatkan wawasan keilmuan tentang penerapan model pembelajaran discovery learning untuk meningkatkan pemahaman konsep keberagaman budaya indonesia bagi siswa pada pembelajaran tematik di kelas IV SDN pulojaya 1 Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi pengembangan keilmuan oleh guru-guru Sekolah Dasar dalam proses pembelajaran. 2. Manfaat Praktis a) Bagi Siswa (1) Agar dapat mencari pengetahuan sendiri bukan hanya menerima pengetahuan dari guru. (2) Meningkatkan pemahaman konsep dalam pembelajaran tematik tema indahnya kebersamaan subtema keragaman budaya bangsaku pembelajaran 1 dengan model discovery learning. b) Bagi Guru (1) Menambah keterampilan guru dalam menyusun RPP terbaru kurikulum 2013. (2) Menambah keterampilan guru dalam menerapkan model/metode pembelajaran. (3) Meningkatkan kuliatas pendidikan di sekolah. (4) Memperoleh wawasan dan pengalaman dalam melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran tematik yang lebih kreatif dan efektif. (5) Meningkatkan profesional guru dalam pembelajaran, para guru diharapkan dapat menggunakan model pembelajaran. c) Bagi Sekolah (1) Meningkatkan prestasi sekolah terutama pada pembelajaran tematik dengan kurikulum 2013. (2) Meningkatkan mutu SD, sebagai sumber inspirasi bagi sekolah dalam upaya perbaikan kualitas pembelajaran tematik menggunakan kurikulum 2013, serta mendorong Sekolah agar berupaya menyediakan sarana dan prasarana terutama untuk sarana dalam pembelajaran tematik kurikulum 2013. d) Bagi Peneliti (1) Menambah wawasan baik secara teoritis, maupun praktik dengan mengadakan penelitian langsung di sekolah dan mendapatkan hasil yang diharapkan. (2) Menambah pengetahuan/teori untuk melakukan penelitian selanjutnya dalam meningkatkan berbagai kemampuan siswa baik itu berupa motivasi, pemahaman, cara berpikir dan lain sebagainya. (3) Menjadi salah satu ketentuan syarat kelulusan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. e) Bagi PGSD Dapat menjadi referensi bagi PGSD sebagai bahan kajian yang lebih mendalam guna meningkatkan kualitas pembelajaran tematik pada kurikulum 2013 dengan mengunakan model pembelajaran discovery learning. G. Paradigma atau Kerangka Pemikiran Proses pembelajaran yang dinilai dalam penelitian ini meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Tetapi peneliti lebih menekankan kepada peningkatan aspek kognitif siswa yaitu berupa “pemahaman konsep”. Karena dilihat dalam proses pembelajaran terdapat kurangnya pemahaman konsep siswa pada pembelajaran tematik materi keberagaman budaya bangsaku hal tersebut dikarenakan kurangnya penguasaan guru terhadap materi pembelajaran, pembelajaran masih berpusat pada guru, dan kurang optimalnya penggunaan model pembelajaran. Melihat tersebut, peneliti menimbang dan memutuskan akan menyelesaikan masalah tersebut dengan penggunaan model pembelajaran yang berbasis kurikulum 2013 yaitu model pembelajaran discovery learning. Diharapkan dengan menggunakan model pembelajaran tersebut siswa dapat memperbaiki pemahaman konsep yang kurang dikuasainya dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Discovery Learning sendiri memiliki pengertian, Zuhdan Kun Prasetyo dkk. (2001: 17) berpendapat bahwa “belajar penemuan (discovery learning) dibedakan menjadi dua, yaitu penemuan bebas (free discovery) dan penemuan terpadu/terpimpin (guided discovery)”. Penemuan yang dipandu oleh guru (guided discovery) lebih banyak dijumpai karena dengan petunjuk guru siswa akan bekerja lebih terarah dalam upaya mencapai tujuan yang ditetapkan. Merencanakan dan menyiapkan kegiatan guided discovery melibatkan olah tangan (hands-on) dan olah pikir (minds-on). Peneliti memilih model pembelajaran discovery learning karena dirasa model tersebut dapat meningkatkan pemahaman siswa pada konsep pembelajaran tematik keberagaman budaya Indonesia. Kelebihan model discovery learning dibandingkan dengan model pembelajaran lain: Berlyne (Amien, 1988) mengatakan bahwa “belajar penemuan mempunyai beberapa keuntungan, model pembelajaran ini mengacu pada keingintahuan siswa, memotivasi mereka untuk melanjutkan pekerjaannya hingga menemukan jawabannya”. Untuk mengetahui pencapaian apakah masalah tersebut terselesaikan maka peneliti membuat instrumen penelitian, peneliti menggunakan beberapa instrumen penelitian. Instrumen tersebut dimulai dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Silabus, Post test, Pree test, Lembar Observasi, Penilaian Sikap. Sedangkan teknik yang pengolahan data yang akan dipergunakan oleh peneliti adalah dengan kuantitatif juga kualitatif. Dari pemikiran tersebut di atas, maka peneliti membuat sebuah diagram sebagai berikut: Diagran 1.1 Kerangka Berpikir Model Pembelajaran Discovery Learning untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Keberagaman Budaya Bangaku. Dari paparan yang dijelaskan di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa permasalahan kurangnya pemahaman konsep siswa pada pembelajaran tematik itu dikarenakan kurangnya penguasaan guru terhadap materi pembelajaran, penggunaan model pembelajaran yang kurang optimal dipakai oleh guru dan pembelajaran masih berpusat pada guru. Oleh karena hal tersebut, maka diambillah model pembelajaran discovery learning agar siswa mampu memahami konsep pembelajaran tematik. H. Asumsi Berdasarkan kerangka atau paradigma penelitian sebagaimana diutarakan di atas, maka beberapa asumsi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menurut Ruseffendi (Juwita, 2010: 11) pemahaman adalah “kemampuan menangkap pengertian-pengertian seperti mampu mengungkapkan suatu materi yang diajarkan ke dalam bentuk yang dapat dipahami, mampu memberikan interprestasi dan mampu mengklasifikasikannya”. Sedangkan Roser (1984) menyatakan bahwa konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek-objek, kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan, atau hubungan-hubungan yang mempunyai yang mempunyai atribut-atribut yang sama. Melihat dua pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep adalah memahami dan dapat mengklasifikasikan suatu kejadian-kejadian, objek-objek dalam sebuah permasalahan pada pembelajaran sehingga menjurus pada sebuah penyelesaian yang lebih baik. Pada pembelajaran discovery learning guru mengarahkan siswa dalam penemuannya sehingga permasalahan yang dialami dapat diselesikan dengan baik. 2. Seperti yang disampaikan Carin & Sund (1989: 93-94), ada tiga alasan untuk guru menggunakan penemuan terbimbing, yaitu: (1) sebagian besar dari guru lebih nyaman menggunakan pendekatan ekspositori, mungkin karena sudah lama sekali dikenal dalam dunia pendidikan; (2) jika menginginkan siswa menjadi seorang saintis yang selalu mengikuti perkembangan teknologi dan mampu menyelesaikan masalah, siswa harus selalu berperan aktif dalam setiap tingkat kegiatan sains dengan petunjuk dan pendampingan dari guru. Penemuan terbimbing pada anak yang usianya lebih muda akan megarahkan anak ke arah penemuan bebas atau inquiry ketika anak menginjak masa remaja (adolensence) dan dewasa (adulthood); (3) pembelajaran dengan penemuan terbimbing akan mengembangkan kemampuan metode mengajar guru untuk mempertemukan berbagai macam tingkat pemahaman siswa dalam pembelajaran. I. Hipotesis “Hipotesis merupakan suatu jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto, 2006: 71)”. Berdasarkan kerangka atau paradigm penelitian dan asumsi sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah: “Penggunaan model pembelajaran discovery learning dapat meningkatkan pemahaman konsep keberagaman budaya Indonesia. J. Definisi Operasional Untuk menghindari terjadinya salah pengertian terhadap istilah-istilah yang terdapat dalam variabel penelitian ini, maka istilah-istilah tersebut kemudian didefinisikan sebagai berikut: 1. Model Pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar (Gunter et. al., 1990: 67, Joyce & Weil, 1980). Model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas dari pada strategi, metode, atau prosedur pembelajaran. 2. Discovery Learning adalah Zuhdan Kun Prasetyo dkk. (2001: 17) berpendapat bahwa “belajar penemuan (discovery learning) dibedakan menjadi dua, yaitu penemuan bebas (free discovery) dan penemuan terpadu/terpimpin (guided discovery)”. Dalam pelaksanaannya, penemuan yang dipandu oleh guru (guided discovery) lebih banyak dijumpai karena dengan petunjuk guru siswa akan bekerja lebih terarah dalam upaya mencapai tujuan yang ditetapkan. Dalam merencanakan dan menyiapkan kegiatan guided discovery melibatkan olah tangan (hands-on) dan olah pikir (minds-on). 3. Pemahaman Konsep, Menurut Ruseffendi (Juwita, 2010: 11) pemahaman adalah “kemampuan menangkap pengertian-pengertian seperti mampu mengungkapkan suatu materi yang diajarkan ke dalam bentuk yang dapat dipahami, mampu memberikan interprestasi dan mampu mengklasifikasikannya”. Konsep menurut Soedjadi (2000: 14) “konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangkaian kata” Berdasarkan kedua pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep adalah kemampuan menangkap pengertian-pengertian seperti mampu mengungkapkan suatu materi yang diajarkan ke dalam bentuk yang dapat dipahami, untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangkaian kata. 4. Keberagaman Budaya, Keseragaman berasal dari kata ragam. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ragam berarti, 1. tingkah, cara; 2.macam, jenis; 3. musik, lagu, langgam; 4. warna, corak; 5. laras (tata bahasa). Merujuk pada arti nomor dua di atas, ragam berarti jenis, macam. Keragaman menunjukkan adanya banyak macam, banyak jenis. Mitchell menyatakan bahwa “Budaya merupakan seperangkat nilai-nilai inti, kepercayaan, standar, pengetahuan, moral hukum, dan perilaku yang disampaikan oleh individu-individu dan masyarakat, yang menentukan bagaimana seseorang bertindak, berperasaan, dan memandang dirinya serta orang lain. BAB II KAJIAN TEORI A. Hakikat Belajar dan Pembelajaran 1. Pengertian Konsep Belajar Belajar merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan dengan tujuan dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit (tersembunyi). Teori-teori yang dikembangkan dalam komponen ini meliputi antara lain teori tentang tujuan pendidikan, orginisasi kurikulum, isi kurikulum, dan modul-modul pengembangan kurikulum. Kegiatan atau tingkah laku belajar terdiri dari kegiatan psikhis dan fisis yang saling bekerjasama secara terpadu dan komprehensif integral. Sejalan dengan itu, belajar dapat difahami sebagai berusaha atau berlatih supaya mendapat suatu kepandaian. Dalam implementasinya, belajar adalah kegiatan individu memperoleh pengetahuan, perilaku dan keterampilan dengan cara mengolah bahan belajar. Para ahli psikologi dan guru-guru pada umumnya memandang belajar sebagai kelakuan yang berubah, pandangan ini memisahkan pengertian yang tegas antara pengertian proses belajar dengan kegiatan yang semata-mata bersifat hafalan. Untuk menangkap isi dan pesan belajar, maka dalam belajar tersebut individu menggunakan kemampuan pada ranah-ranah: (1) kognitif yaitu kemampuan yang berkenaan dengan pengetahuan, penalaran atau pikiran terdiri dari kategori pengetahuan, pemahaman, penerapan, analysis, sintesis dan evaluasi; (2) afektif yaitu kemampuan yang mengutamakan perasaan, emosi, dan reaksi-reaksi yang berbeda dengan penalaran yang terdiri dari kategori penerimaan, partisipasi, penilaian/penentuan sikap, organisasi, dan pembentukan pola hidup; dan (3) psikomotorik yaitu kemampuan yang mengutamakan keterampilan jasmani terdiri dari persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, penyesuian pola gerakan, dan kreatifitas. Orang dapat mengamati tingkah laku orang telah belajar setelah membandingkan sebelum belajar. Akibat belajar dari ketiga ranah ini akan makin bertambah baik. Arthur T. Jersild menyatakan bahwa belajar “modification of behavior through experience and training yaitu perubahan atau membawa akibat perubahan tingkah laku dalam pendidikan karena pengalaman dan latihan atau karena mengalami latihan”. Belajar juga memiliki pandangan salah satunya pandangan dari kontruktivisme menurut Von Glaserfeld (Suparno, 2010: 18) mengatakan gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan sebagai berikut: Pengetahuan bukanlah suatu tiruan kenyataan. Pengetahuan selali merupakan akibat dari suatu konsturksi kognitif kenyataan melalui interaksi seseorang dengan lingkungan. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengeahuan. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman baru. Pengetahuan dalam pandangan kontruktivisme merupakan konstuksi (bentukan) manusia melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan (Suparno, 2010: 28). Perhatian utama dalam belajar adalah perilaku verbal dari manusia, yaitu kemampuan manusia untuk menangkap informasi mengenai ilmu pengetahuan yang diterimanya dalam belajar, untuk lebih memahami pengertian belajar berikut ini dikemukakan secara ringkas pengertian dan makna belajar menurut pandangan para ahli pendidikan dan psikologi. a) Belajar Menurut Pandangan Skinner Belajar menurut pandangan B. F. Skinner (1958) dalam Sagala 2013: 14 adalah “suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progressif”. Belajar juga dipahami sebagai suatu perilaku, pada saat orang belajar, maka responsnya menjadi lebih baik. Sebaliknya bila ia tidak belajar, maka responsnya menurun. Jadi belajar ialah suatu perubahan dalam kemungkinan atau peluang terjadinya respons. Seorang anak belajar sungguh-sungguh dengan demikian pada waktu ulangan siswa tersebut dapat menjawab semua soal dengan benar. Atas hasil belajarnya yang baik itu dia mendapatkan nilai yang baik, karena mendapatkan nilai yang baik ini, maka anak akan belajar lebih giat lagi. Nilai tersebut dapat merupakan “operant conditioning” atau penguatan (reinforcement). Menurut Skiner dalam belajar ditemukan hal-hal berikut: “(1) kesempatan terjadinya peristiwa yang menimbulkan respons belajar; (2) respons si pelajar; dan (3) konsekwensi yang bersifat menggunakan respons tersebut, baik konsekwensinya sebagai hadiah maupun teguran atau hukuman”. Dalam menerapkan teori Skinner, guru perlu memperhatikan dua hal yang penting yaitu: “(1) pemilihn stimulus yang diskriminatif; dan (2) penggunaan penguatan. Teori ini menekankan apakah guru akan meminta respons ranah kognitif atau afektif”. b) Belajar Menurut Pandangan Robert M. Gagne Balajar adalah suatu proses yang kompleks, sejalan dengan itu menurut Robert M. Gagne (1970) dalam Sagala 2013: 17 belajar merupakan kegiatan yang kompleks, dan hasil belajar berupa kapabilitas, timbulnya kapabilitas disebabkan: (1) stimulasi yang berasal dari lingkungan; dan (2) proses kognitif yang dilakukan oleh pelajar. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Dengan demikian dapat ditegaskan, belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sikap stimulasi lingkungan, melewati pengolahan informasi, dan menjadi kapabilitas baru. Belajar terjadi bila ada hasilnya yang dapat diperlihatkan, anak-anak demikian juga orang dewasa dapat membuat kembali kata-kata yang telah pernah didengar atau dipelajarinya. Seseorang dapat mengingat gambar yang pernah dilihatnya, mengingat kata-kata yang baru dipelajarinya, atau mengingat bagaimana cara memecahkan hitungan. Menyatakan kembali apa yang dipelajari lebih sukar daripada sekedar mengenal sesuatu kembali. Gagne (1970) mengemukakan bahwa belajar adalah perubahan yang terjadi salam kemampuan manusia yang terjadi setelah belajar secara terus menerus, bukan hanya disebabkan oleh proses pertumbuhan saja. Menurut Gagne belajar terdiri dari tiga komponen penting yakni kondisi eksternal yaitu stimulus dari lingkungan dalam acara belajar, kondisi internal yang menggambarkan keadaan internal dan proses kognitif siswa, dan hasil belajar yang menggambarkan informasi verbal, keterampilan intelek, keterampilan motorik, sikap, dan siasat kognitif. Menurut Gagne ada tiga tahap dalam belajar yaitu (1) persiapan untuk belajar dengan melakukan tindakan mengarahkan perhatian, pengharapan, dan mendapatkan kembali informasi; (2) pemerolehan dan unjuk perbuatan (performansi) digunakan untuk persepsi selektif, sandi semantik, pembangkitan kembali, respon, dan penguatan; (3) alih belajar yaitu pengisyaratan untuk membangkitkan dan memberlakukan secara umum (Dimyati dan Mudjiono. 1999: 12 dalam Sagala 2013: 19). Tabel 2.1 Hubugan antara Fase Belajar dan Acara Pembelajaran Pemberian Aspek Belajar Fase Belajar Acara Pembelajaran Persiapan untuk belajar 1. Mengarahkan perhatian 2. Ekspektansi 3. Retrival (informasi dan keterampilan yang relevan untuk memori kerja) Menarik perhatian siswa dengan kejadian yang tidak seperti biasanya, pertanyaan atau perubahan stimulus. Memberitahu siswa mengenai tujuan belajar. Merangsang siswa agar mengingat kembali hasil belajar (apa yang telah dipelajari) sebelumnya. Pemerolehan dan unjuk perbuatan 4. Persepsi selektifatas sifat stimulus 5. Sandi simantik 6. Retrival dan respons 7. Penguatan Menyiapkan stimulus yang jelas sifatnya. Memberikan bimbingan belajar. Memunculkan perbuatan siswa. Memberikan balikan informatif Retrival dan alih belajar 8. Pengisyaratan 9. Pemberlakuan secara umum Menilai perbuatan siswa. Meningkatkan retensi dan alih belajar Adaptasi dari Bell Gredler, 1991: 210, dan Gagne, Briggs Wager, 19988: 182 dalam Dimyati dan Mudjiono (1996: 13) dalam Sagala 2013: 19. Robert M. Gagne dalam Sagala 2013: mengemukakan delapan tipe belajar yang membentuk suatu hierarki dari paling sederhana sampai paling kompleks yakni: 1) belajar tanda-tanda (Signal Learning); 2) belajar hubungan stimulus-respons (Stimulus Response-Learning); 3) belajar menguasai rantai atau rangkaian hal (Chaining Learning); 4) belajar hubungan verbal atau asosiasi verbal (Verbal Association); 5) belajar membedakan atau diskriminasi (Discrimination Learning); 6) belajar konsep-konsep (Concept Learning); 7) belajar aturan atau hukum-hukum (Rule Learning); dan 8) belajar memecahkan masalah (Problem Solving). 2. Makna dan Ciri Belajar Secara singkat dari berbagai pandangan oleh Syamsudin Makmun (2003: 159) dapat dirangkumkan bahwa yang dimaksud dengan perubahan dalam konteks belajar itu dapat bersifat fungsional atau struktural, material, dan behavioral, serta keseluruhan pribadi (Gestalt atau sekurang-kurangnya multidimensional). Pendapat ini sejalan dengan pendapat Hilgard dan Bower (1981) yang mengemukakan bahwa belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang relatif permanen dan yang merupakan hasil proses pembelajaran bukan disebabkan oleh adanya proses kedewasaan. Dalam pengkondisian klasikal proses asasi yang tercakup di dalamnya adalah pengulangan berpasangan yaitu yang dipasangkan dari suatu perangsang yang dikondisioning (yang harus dipelajari), dan satu perangsang yang tidak dikondisionir atau dipersyaratkan (berkenaan dengan penguatan). Untuk memahami konsep belajar lebih mendalam berikut ini dikemukakan pendapat beberapa ahli yang diintrodusir oleh Dimyati dan Mudjiono (1999: 9-16) berikut ini. Tabel 2.2 Ciri-ciri Umum Pendidikan, Belajar, dan Perkembangan Unsur-unsur Pendidikan Belajar Perkembangan 1. Pelaku Guru sebagai pelaku mendidik dan siswa yang terdidik. Siswa yang bertindak belajar atau pelajar. Siswa yang mengalami perubahan. 2. Tujuan Membantu siswa untuk menjadi pribadi yang utuh. Memperoleh hasil belajar dan pengalaman hidup. Memperoleh perubahan mental. 3. Proses Proses interaksi sebagai faktor eksternal belajar. Internal pada diri pembelajar. Internal pada diri pembelajar. 4. Tempat Lembaga pendidikan sekolah dan luar sekolah Sembarang tempat Sembarang tempat 5. Lama waktu Sepanjang hayat dan sesuai jenjang lembaga. Sepanjang hayat Sepanjang hayat 6. Syarat terjadi Guru memiliki kewibawaan pendidikan. Motivasi belajar kuat. Kemauan mengubah diri 7. Ukuran keberhasilan terbentuk pribadi terpelajar. Dapat memecahkan masalah. Terjadinya perubahan positif. 8. Faedah Bagi masyarakat mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagi pebelajar mempertinggi martabat pribadi. Bagi pebelajar memperbaiki kemajuan mental. 9. Hasil Pribadi sebagai pembangun yang produktif dan kreatif. Hasil belajar sebagai dampak pengajaran dan pengiring. Kemajuan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Adaptasi dari Monks, Knokers, Siti Rahayu (1989), Biggs dan Telfer (1987), dan Winkel tahun 1991 dalam Dimyati dan Mudjiono (1999: 8) dalam Sagala 2013: 52. Dari pembahasan tersebut ditegaskan bahwa ciri khas belajar adalah perubahan, yaitu belajar menghasilkan perubahan perilaku dalam diri peserta didik. Belajar menghasilkan perubahan perilaku yang secara relatif tetap dalam berpikir, merasa, dan melakukan pada diri peserta didik. Perubahan tersebut terjadi sebagai hasil latihan, pengalaman, dan pengembangan yang hasilnya tidak dapat diamati secara langsung. 3. Prinsip-prinsip Belajar Ansubel yang dikutif Djadjurin(1980: 9) menyatakan, ada lima prinsip utama belajar yang harus dilaksanakan, yaitu: 1) subsumption, yaitu proses penggabungan ide atau pengalaman baru terhadap pola ide-ide yang telah lalu yang telah dimiliki; 2) organizer, yaitu ide baru yang telah dicoba digabungkan dengan pola ide-ide lama di atas, dicoba diintegrasikan sehingga menjadi suatu kesatuan pengalaman. Dengan prinsip ini dimaksudkan agar pengalaman yang diperoleh itu bukan sederetan pengalaman yang satu dengan yang lainnya terlepas dan hilang kembali; 3) progressive differentiation, yaitu bahwa dalam belajar suatu keseluruhan secara umum harus terlebih dahulu muncul sebelum sampai kepada suatu bagian yang lebih spesifik; 4) concolidation, yaitu sesuatu pelajaran harus terlebih dahulu dikuasai sebelum sampai ke pelajaran berikutnya, jika pelajaran tersebut menjadi dasar atau prasyarat untuk pelajaran berikutnya; 5) integrative reconciliation, yaitu ide atau pelajaran baru yang dipelajari itu harus dihubungkan dengan ide-ide atau pelajaran yang telah dipelajari terdahulu. Prinsip ini hampir sama dengan prinsip sumsumption, hanya dalam prinsip integrative reconciliation menyangkut pelajaran yang lebih luas, umpamanya antara unit pelajaran yang satu dengan yang lainnya. 4. Tujuan Belajar Belajar pada hakekatnya merupakan proses kegiatan secara berkelanjutan dalam rangka perubahan perilaku peserta didik secara konstruktif. Hal ini sejalan dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yang menyatakan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan akhlak mulia, serta ketermpilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa, dan negara. 5. Faktor yang Mempengaruhi Belajar Keberhasilan dalam belajar sangat dipengaruhi oleh berfungsinya secara integratif dari setiap faktor pendukungnya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar, antara lain: a) Peserta didik dengan sejumlah latar belakangnya, yang mencakup: tingkat kecerdasan (intelligent quoien), bakat (aptitude), sikap (atittude), minat (interest), motivasi (motivation), keyakinan (belirf), kesadaran (consciousness), kedisiplinan (discipline), tanggung jawab (responsibility). b) Pengajar yang profesional memiliki: kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi personal, kompetensi profesional, kualifikasi pendidikan yang memadai, kesejahteraan yang memadai. c) Atmosfer pembelajaran partisipatif dan interaksi yang dimanisfestasikan dengan adanya komunikasi timbal balik dan multi arah (multiple communication) secara aktif, kreatif, efektif, inovatif, dan menyenangkan yaitu: komunikasi antara guru dengan peserta didik, komunikasi antara peserta didik dengan peserta didik, komunikasi kontekstual dan integratif antara guru, peserta didik, dan lingkungannya. d) Sarana prasarana yang menunjang proses pembelajaran, sehingga peserta didik merasa betah dan bergairah (enthuse) untuk belajar, yang mencakup: lahan tanah (antara lain kebun sekolah, halaman, dan lapangan olahraga), bangunan (antara lain ruangan kantor, kelas, laboratorium, perpustakaan, dan ruang aktivitas ekstrakurikuler), dan perlengkapan (antara lain alat tulis kantor, media pembelajaran baik elektronik maupun manual). e) kurikulum sebagai kerangka dasar atau arahan, khusus mengenai perubahan perilaku (behavior change) peserta didik secara integral baik yang berkaitan dengan kognitif, afektif, maupun psikomotor. f) lingkungan agama, sosial, budaya, politik, ekonomi, ilmu, dan teknologi, serta lingkungan alam sekitar, yang mendukung terlaksananya proses pembelajaran secara aktif, kreatif, efektif, inovatif, dan menyenangkan. Lingkungan ini merupakan faktor peluang (opportunity) untuk terjadinya belajar kontekstual (contextual learning). g) atmosfer kepemimpinan pembelajaran yang sehat, partisifatif, demokratis, dan situasional yang dapat membangun kebahagiaan intelektual (intelectual happiness), kebahagiaan emosional (emotional happines), kebahagiaan dalam merekayasa ancaman menjadi peluang (adversity happines), dan kebahagiaan spiritual (spiritual happines). h) pembiayaan yang memadai, baik biaya rutin (recurrent budget) maupun biaya pembangunan (capital budget) yang datangnya dari pihak pemerintah, orang tua maupun stakeholder lainnya sehingga sekolah mampu melangkah maju dari sebagai pengguna dana (cost) menjadi penggali dana (revenue) 6. Makna Pembelajaran Secara sederhana, istilah pembelajaran (instuction) bemakna sebagai “upaya untuk membelajarkan seseorang atau kelompok orang melalui berbagai upaya (effort) dan berbagai strategi, metode dan pendekatan ke arah pencapaian tujuan yang telah direncanakan”. Pembelajaran dapat pula dipandang sebagai kegiatan guru secara perprogram dalam desain instruksional untuk membuat siswa belajar secara aktif yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Beberapa ahli mengemukakan tentang pengertian pembelajaran, diantaranya: “Pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tigkah laku tertentu. Pembelajaran merupakan subjek khusus dari pendidikan (Corey, 1986)”. “Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, prosedur yang saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan pembeljaran (Oemar Hamalik)”. Sedangkan pembelajaran menurut (Gagne dan Brigga, 1997) adalah “Pembelajaran adalah rangkaian peristiwa (events) yang memengaruhi pembelajaran sehingga proes belajar dapat berlangsung dengan mudah”. Sardiman (2005) dalam bukunya yang berjudul Interaksi dan Motivasi dalam Belajar Mengajar menyebutkan istilah pembelajaran dengan interaksi edukatif. Menurut beliau, yang dianggap interaksi edukatif adalah yang dilakukan secara sadar dan mempunyai tujuan untuk mendidik dalam rangka mengantarkan peserta didik ke arah kedewasaannya. Pembelajaran merupakan proses yang berfungsi membimbing para peserta didik di dalam kehidupannya, perkembangannya yang harus dijalani. Sedangkan pelaksanaan pembelajaran menurut Sudjana (2010: 36) adalah proses yang diatur sedemikian rupa menurut langkah-langkah tertentu agar pelaksanaan mencapai hasil yang diharapkan. Dan Menurut Djamarah dan Zain (2010: 1) “Pelaksanaan pembelajaran adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif, nilai edukatif mewarnai mewarnai interaksi yang terjadi antar guru dan siswa. Interaksi yang bernilai edukatif dikarenakan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dirumuskan sebelum pelaksanaan pembelajaran dimulai”. Paparan di atas mengilustrasikan bahwa belajar merupakan proses internal siswa, dan pembelajaran merupakan kondisi eksternal belajar. Dari segi guru, belajar merupakan akibat tindakan pembelajaran. Untuk lebih jelas mengenai pembelajaran dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.3 Konsep dan Sudut Pandang Pembelajaran Konsep Sudut Pandang Belajar (Learning) Mengajar (Teaching) Pembelajaran (Intruction) Peserta didik/Pembelajar Pendidik/Pengajar Interaksi antara peserta didik, pendidik, dan atau media/sumber belajar. 7. Sasaran Kegiatan Pembelajaran Setiap kegiatan belajar mengajar mempunyai sasaran atau tujuan. Tujuan itu bertahap dan berjenjang, mulai dari yang sangat operasional dan konkret yakni tujuan pembelajaran khusus, tujuan pembelajaran umum, tujuan kurikuler, dan tujuan nasional sampai pada tujuan yang bersifat universal. Belajar mengajar sebagai suatu sistem instruksional mengacu kepada pengertian sebagai seperangkat komponen yang saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan. Sebagai suatu sistem, belajar mengajar meliputi sejumlah kompnen, antara lain: tujuan pembelajaran; bahan ajar; siswa yang meneima pelayanan belajar; guru; metode dan pendekatan; situasi; dan evaluasi kemajuan belajar. Agar tujuan itu dapat tercapai, semua komponen yang ada harus diorganisasikan dengan baik sehingga diantara komponen itu terjadi kerja sama. 8. Aktivitas Belajar Proses aktivitas pembelajaran harus melibatkan seluruh aspek psikofisis peserta didik, baik jasmani maupun rohani sehingga akselerasi perubahan perilkunya terjadi yang dapat terjadi secara cepat, tepat, mudah, dan benar baik berkaitan dengan aspek kognitif, afektif maupun psikomotor. Dierich yang dikutif Hamalik (1980: 288-209) menyatakan, aktivitas belajar dibagi ke dalam delapan kelompok, yaitu sebagai berikut: 1) kegiatan-kegiatan visual yaitu membaca, melihat gambar-gambar, mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran, dan mengamati orang lain bekeja atau bermain. 2) kegiatan-kegiatan lisan (oral), yaitu mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, berwawancara, diskusi dan interupsi. 3) kegiatan-kegiatan mendengarkan yaitu mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu permainan, atau mendengarkan radio. 4) kegiatan-kegiatan menulis yaitu menulis cerita, menulis laporan, memeriksa karangan, bahan-bahan copy, membuat outline atau rangkuman, dan mengerjakan tes serta mengisi angket. 5) kegiatan-kegiatan menggambar, membuat grafik, chart, diagram, peta, dan pola. 6) kegiatan-kegiatan metrik yaitu melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan, serta menari dan berkebun. B. Model Pembelajaran 1. Pengerian Model Pembelajaran Secara umum istilah “model” diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan. Dalam pengertian lain, model juga diartikan sebagai barang atau benda tiruan dari benda yang sesungguhnya, seperti “globe” yang merupakan model dari bumi tempat kita hidup. Dalam istilah selanjutnya, istilah model digunakan untuk menunjukkan pengertian yang pertama sebagai konseptual. Atas dasar pemikiran tersebut, maka yang dimaksud dengan “model belajar mengajar” adalah kerangka konseptual dan prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pengajaran, serta para guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar. Dengan demikian, aktivitas belajar mengajar benar-benar merupakan kegiatan bertujuan yang tersusun secara sistematis. Model pembelajaran cenderung preskriptif, dan relatif sulit dibedakan dengan strategi pembelajaran. An intructional strategy is a method for delivering instruction that is intended to help students achieve a learning objective (Burden & Byrd, 1999: 85). Model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas dari pada strategi, metode, atau prosedur pembelajaran. Istilah model pembelajaran mempunyai 4 ciri khusus yang tidak dipunyai oleh strategi atau metode pembelajaran, yakni: a. rasional teoritis logis yang disusun oleh pendidik; b. tujuan pembelajaran yang akan dicapai; c. Langkah-langkah mengajar yang diperlukan agar model pembelajaran dapat dilaksanakan secara optimal; d. lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat dicapai. Dewey dalam Joyce dan Weil (1986) mendefinisikan bahwa: model pembelajaran sebagai “a plan or pattern that we can use to design face to face teaching in the classroom or tutorial setting and to shapee intructional material” (suatu rencana atau pola yang dapat kita gunakan untuk merancang tatap muka di kelas, atau pembelajaran tambahan di luar kelas dan untuk menajamkan materi pengajaran). Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa: a) model pembelajaran merupakan kerangka dasar pembelajaran yang dapat diisi oleh beragam muatan mata pelajaran, sesuai dengan karakteristik kerrangka dasarnya; b) model pembelajaran dapat muncul dalam beragam bentuk dan variasinya sesuai dengan landasan filosofis dan pedagogis yang melatar belakanginya. Arends (1997) menyatakan “the term teaching model refers to a particular approach to intruction that includes its goals, syntax, environment, and management system” (istilah model pengajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungan, dan sistem pengelolaannya). Dengan demikian, maka model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas daripada pendekatan, strategi, metode atau prosedur. Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas, atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum,dan lain-lain (Joyce, 1992). Selanjutnya Joyce mengatakan bahwa setiap model pembelajaran mengarah kepada desain pembelajaran untuk membantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang membedakan dengan stragtegi, metode, atau prosedur (Kardi dan Nur, 2000). Ciri-ciri tersebut ialah: a. rasional teoretis logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya; b. Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana peserta didik belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai); c. tingkah laku pembelajaran yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil; d. lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai. 2. Jenis Model Pembelajaran Bruce Joyce dan Marsha Weil dalam Dedi Supriawan dan A. Benyamin Surasega (1990) mengetengahkan 4 (empat) kelompok model pembelajaran, yaitu: 1) model interaksi sosial; 2) model pengolahan informasi; 3) model personal-humanistik; dan 4) model modifikasi tingkah laku. Kendati demikian, sering kali penggunaan istilah model pembelajaran tersebut diidentikkan dengan strategi pembelajaran. Keempat model pembelajaran tersebut dapat dilihat pada uraian berikut. 1) Model Proses Informasi Teori belajar yang oleh Gagne (1988) disebut dengan Information Processing Learning Theory. Teori ini merupakan gambaran atau model dari kegiatan di dalam otak manusia di saat memproses suatu informasi. Karenanya teori belajar tadi disebut juga Information Processing Model (Model Pemrosesan Informasi) oleh Lefrancois. Menurut Gagne, dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi yang kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi, terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Menurut Gagne, tahapan proses pembelajaran tersebut meliputi delapan fase, yaitu: 1) motivasi; 2) pemahaman; 3) pemerolehan; 4) penyimpanan; 5) generalisasi; 7) perlakuan; dan 8) umpan balik. Model-model pembelajaran yang termasuk dalam rumpun ini bertolak dari prinsip-prinsip pengolahan informasi oleh manusia dengan memperbuat dorongan-dorongan internal (datang dari dalam diri) untuk memahami dunia dengan cara menggali dan mengorganisasikan data, merasakan adanya masalah dan mengupayakan jalan keluarnya, serta pengembangan bahasa untuk mengungkapkannya. Kelompok model ini menekankan peserta didik agar memilih kemampuan untuk memproses informasi sehingga peserta didik yang berhasil dalam belajar adalah yang memiliki kemampuan dalam memproses informasi. Dalam rumpun pembelajaran ini terdapat 7 model pembelajaran, yaitu: a. Pencapaian konsep (concept attainment); b. Berpikir induktif (inductive thinking); c. Latihan penelitian (inquiry training); d. Pemandu awal (advance organizer); e. Memorisasi (memorization); f. Pengembangan intelek (developing intelect); g. Penelitian ilmiah (scientic inquiry). 2) Model Personal Rumpun model personal bertolak dari pandangan kedirian self-hood dari individu. Proses pendidikan sengaja diusahakan yang memungkinkan seseorang dapat memahami diri sendiri dengan baik, sanggup memikul tanggung jawab untuk pendidikan, dan lebih kreatif untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Penggunaan model-model pembelajaran dalam rumpun personal ini lebih memusatkan perhatian pada pandangan perseorangan dan berusaha menggalakan kemandirian yang produktif sehingga manusia menjadi semakin sadar diri dan bertanggung jawab atas tujuannya. Menurut Carel Roger, manusia dilahirkan dengan potensi menuju/mengejar kesempurnaan. Jadi pembelajaran merupakan naluri manusia. Bahan pembelajaran yang bermakna dan selaras dengan tujuan pembelajaran akan mendorong peserta didik ikut aktif dalam proses pembelajaran, dan dianggapnya sebagai pembelajaran yang berkesan. Apabila bahan pembelajaran menimbulkan perubahan struktur data atau menjadi ancaman dan kerisauan peserta didik, maka hal ini akan menjadikan sikapnya menentang pembelajaran. Apabila peserta didik mengambil inisiatif dan melibatkan diri sepenuhnya dalam aktivitas pembelajaran, makahasil yang diperoleh akan sangat berkesan. Penilaian yang dilakukan atas dasar pemikiran refleksi peserta didik lebih baik daripada penilaian yang dilakukan oleh orang lain. Dalam rumpun model personal ini terdapat 4 model pembelajaran, yaitu: a) Pengajaran tanpa arahan (non directive teaching); b) Model sinektik (synectics model); c) Latihan kesadaran (awareness training); d) Pertemuan kelas (classroom meeting) 3) Model Interaksi Sosial Model interaksi sosial pada hakikatnya bertolak dari pemikiran pentingnya hubungan pribadi (interpersonal relationship) dan hubungan sosial, atau hubungan individu dengan lingkungan sosialnya. Dalam konteks ini proses belajar pada hakikatnya adalah mengadakan hubungan sosial dalam pengertian peserta didik berinteraksi dengan peserta didik lain dan berinteraksi dengan kelompoknya langkah yang ditempuh guru dalam model ini adalah: 1) guru mengemukakan masalah dalam bentuk situasi sosial sosial kepada peserta didik; 2) peserta didik dengan bimbingan guru menelusuri berbagai macam masalah yang terdapat dalam situassi tersebut; 3) peserta didik diberi tugas atau permasalahan yang berkenaan dengan situasi tersebut untuk dipecahkan, dianalisis, dan dikerjakan; 4) dalam memecahkan masalah belajar tersebut peserta didik diminta untuk mendiskusikannya; 5) peserta didik membuat kesimpulan dari hasil diskusinya; dan 6) membahas kembali hasil-hasil kegiatannya Model interaksi sosial dapat digunakan antara lain dengan menggunakan metode sosiodrama atau bermain peran (role playing). Keterlibatan peserta didik dalam melakukan kegiatan belajar cukup tinggi, terutama dalam bentuk partisipasi dalam kelompoknya, partisipasi ini mengabarkan adanya interaksi sosial diantara sesama peserta didik dalam kelompok tersebut. Oleh karena itu, model interaksi sosial boleh dikatakan berorientasi pada peserta didik dengan mengembangkan sikap demokratis, artinya sesama mereka mampu saling menghargai, meskipun mereka memiliki perbedaan. Penggunaan rumpun model interaksi sosial ini menitiberatkan pada pengembangan kemampuan kerjasama dari peserta didik. Model pembelajaran rumpun interaksi sosial didasarkan pada dua asumsi pokok, yaitu: a) masalah-masalah sosial diidentifikasi dan dipecahkan atas dasar dan melalui kesepakatan-kesepakatan yang diperoleh di dalam dan dengan menggunakan proses-proses sosial; b) proses sosial yang demokratis perlu dikembangkan untuk melakukan perbaikan masyarakat dalam arti seluas-luasnya secara build-in dan terus menerus. Dalam rumpun model interaksi sosial ini terdapat 5 model pembelajaran, yaitu: a) Investigasi kelompok (group investigation); b) Bermain peran (role playing); c) Penelitian yurisprudensial (jurisprudential inquiry); d) Latihan laboratoris (laboratory training); e) Penelitian ilmu sosial. 4) Model Sistem Perilaku (behavior) Model behavior menekankan pada perubahan perilaku yang tampak dari pesera didik, sehingga konsisten dengan konsep dirinya. Sebagai bagian dari teori stimulus-respons, model behaviorial menekankan bahwa tugas-tugas yang harus diberikan dalam suatu rangkaian kecil, berurutan, dan mengandung perilaku tertentu. Model ini bertitik tolak dari teori belajar behavioristik, yaitu bertujuan mengembangkan sistem yang efisien untuk mengurutkan tugas-tugas belajar dan membentuk tingkah laku dengan cara memanipulasi penguatan (reinforcement). Model ini lebih menekankan pada aspek perubahan perilaku psikologis dan perilaku yang tidak dapat diamati. Karakteristik model ini adalah penjabaran tugas-tugas yang harus dipelajari peserta didik lebih efisien dan berurutan. Ada empat fase dalam model modifikasi tingkah laku ini, yaitu: a) Fase mesin pengajaran; b) Penggunaan media; c) Pengajaran berprogram (linier dan branching); d) Operant conditioning dan operant reinforcement. Implementasi dari model modifikasi tingkah laku ini adalah meningkatkan ketelitian pengucapan pada anak: guru selalu perhatian terhadap tingkah laku belajar peserta didik; modifikasi tingkah laku peserta didik yang kemampuan belajarnya rendah dengan reward sebagai reinforcement pendukung; penerapan prinsip pembelajaran individual dalam pembelajaran klasikal. Rumpun model sistem perilaku mementingkan penciptaan sistem lingkungan belajar yang memungkinkan manipulasi penguatan tingkah laku (reinforcement) secara efektif, sehingga terbentuk pola tingkah laku yang dikehendaki. Model ini memusatkan perhatian pada perilaku yang terobsevasi serta metode dan tugas yang diberikan dalam rangka mengkomunikasikan keberhasilan. Dalam rumpun model sistem perilaku ini terdapat 5 model pembelajaran, yaitu: a) Belajar tuntas (mastery learning); b) Pembelajaran langsung (direct intruction); c) Belajar kontrol diri (learning self control); d) Latihan pengembangan keterampilan dan konsep (training for skill and concept development); e) Latihan assertif (assertive training). 3. Dasar Pertimbangan Pemilihan Model Pembelajaran Sebelum menentukan model pembelajaran yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan guru dalam memilihnya, yaitu: 1) Pertimbangan terhadap tujuan yang hendak dicapai; 2) Pertimbangan yang berhubungan dengan bahan atau materi pembelajaran; 3) Pertimbangan dari sudut pesera didik atau siswa; 4) Pertimbangan lainnya yang bersifat nonteknis. 4. Ciri-ciri Model Pembelajaran Model pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a) Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu. Sebagai contoh, model penelitian kelompok disusun oleh Herber Thelen dan berdasarkan teori John Dewey. Model ini dirancang untuk melatih partisipasi dalam kelompok secara demokratis. b) Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu, misalnya model berpikir induktif dirancang untuk mengembangkan proses berpikir induktif. c) Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar dikelas, misalnya model Synectic dirancang untuk memperbaiki kreativitas dalam pelajaran mengarang. d) Memiliki bagian-bagian model yang dinamakan: (1) urutan langkah-langkah pembelajaran (syntax); (2) adanya prinsip-prinsip reaksi; (3) sistem sosial; (4) sistem pendukung. Keempat bagi

Item Type: Thesis (Skripsi(S1))
Subjects: S1-Skripsi
Divisions: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan > PGSD 2014
Depositing User: Iyas -
Date Deposited: 28 Jun 2016 09:31
Last Modified: 28 Jun 2016 09:31
URI: http://repository.unpas.ac.id/id/eprint/5189

Actions (login required)

View Item View Item