RESTU SETIANINGSIH, 105060147 (2016) PENGGUNAAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN SIKAP PERCAYA DIRI DAN PRESTASI BELAJAR SISWA PADA PEMBELAJARAN TEMATIK. Skripsi(S1) thesis, FKIP UNPAS.
Text
Cover Skrpsi.docx Download (26kB) |
|
Text
ABSTRAK.docx Download (15kB) |
|
Text
Daftar Isi Skripsi.docx Download (30kB) |
|
Text
BAB I.docx Download (94kB) |
|
Text
BAB II.docx Download (111kB) |
|
Text
BAB III.docx Restricted to Repository staff only Download (99kB) |
|
Text
BAB IV.docx Restricted to Repository staff only Download (204kB) |
|
Text
BAB V.docx Restricted to Repository staff only Download (27kB) |
|
Text
Daftar Pustaka.docx Download (27kB) |
|
Text
Daftar riwayat hidup.docx Download (46kB) |
Abstract
ABSTRAK Pembelajaran tematik merupakan suatu pembelajaran yang baru di kelas tinggi sekolah dasar. Pembelajaran yang semula berpusat pada guru. Saat ini berubah menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Siswa dituntut aktif dibandingkan guru. Adapun manfaat dari siswa aktif yaitu agar siswa mampu membangun sendiri pengetahuan yang dipelajari. Tugas dan peran seorang guru dalam hal ini yaitu menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembelajaran agar anak dapat aktif dalam pembelajaran. Penggunaan sebuah model pembelajaran merupakan salah satu upaya guru untuk menciptakan situasi belajar yang membuat aktif siswa. Dikaitkan dengan pembelajaran pada kurikulum 2013, terdapat beberapa model pembelajaran yang diterapkan di sekolah dasar. Salah satunya yaitu model pembelajaran Problem Based Learning. Model pembelajaran Problem Based Learning peneliti bahas dalam penelitian ini. Adapun metode penelitian yang digunakan yaitu Penelitian Tindakan Kelas. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan model pembelajaran ini terbukti dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dan sikap percaya diri. Adanya pembiasaan siswa belajar dengan berbasis masalah sangat memudahkan siswa dalam memahami pembelajaran. Pembelajaran tematik pada kurikulum 2013 bukan sekedar mengukur kemampuan siswa dalam ranah kognitif saja. Akan tetapi dari berbagai ranah yang ada, yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Sehingga guru harus mampu mengembangkan ketiga ranah tersebut. Salah satu ranah afektif yang dikembangkan dalam penelitian ini yaitu sikap percaya diri siswa. Kata kunci: Problem Based Learning, sikap percaya diri, dan prestasi belajar siswa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sebuah kegiatan yang paling penting dalam kehidupan manusia. Melalui pendidikan manusia mengalami banyak perubahan, baik dari segi sikap, pengetahuan ataupun tingkah laku manusia itu sendiri. Seorang anak tumbuh dan berkembang melalui sebuah pendidikan. Baik pendidikan di dalam rumah ataupun di luar rumah. Pendidikan seorang anak yang didapat di dalam rumah, mereka peroleh dari didikan keluarga serta kebiasaan yang mereka jalani di rumah. Sedangkan pendidikan di luar rumah salah satunya mereka terima dari sekolah. Interaksi antara pendidik dengan peserta didik terjadi dalam sebuah pendidikan. Adanya interaksi dalam pendidikan tersebut itulah yang merubah sikap, pengetahuan dan tingkah laku manusia. Interaksi di antara dua komponen ini sangat penting untuk mengetahui tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan. Adapun tujuan pendidikan nasional dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan tujuan pendidikan nasional tersebut, maka sebuah pendidikan harus dilaksanakan sebaik mungkin agar tujuan-tujuan tersebut dapat tercapai. Sebuah pendidikan terjadi dalam sebuah pembelajaran dengan adanya kegiatan belajar mengajar guru dan siswa. Sebuah pendidikan tidak akan berjalan jika dua komponen tersebut tidak tersedia. Adapun yang berperan dalam suksesnya pendidikan itu salah satunya disebabkan oleh guru. Seorang guru harus berusaha menciptakan situasi dan kondisi yang dapat menunjang terjadinya kegiatan belajar mengajar yang efektif, maka seorang guru harus memahami tiga langkah guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas, di antaranya yaitu persiapan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran. Pembelajaran di sekolah dasar terdapat dua macam pembelajaran di antaranya pembelajaran tematik dan pembelajaran parsial. Pembelajaran tematik (Majid, 2014, h. 80) adalah pembelajaran terpadu yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna kepada murid. Umumnya pembelajaran tematik dilaksanakan di kelas rendah yaitu di kelas I, II, dan III Sekolah Dasar. Namun berdasarkan kurikulum 2013, pembelajaran tematik dilaksanakan juga di kelas tinggi. Tepatnya pada tahun ajaran 2014/2015 pembelajaran tematik di sekolah dasar akan dilaksanakan di kelas I, II, IV, dan V Sekolah Dasar. Secara umum kegiatan belajar mengajar di dalam kelas biasanya didominasi oleh guru. Sehingga pembelajaran terlihat tidak interaktif. Namun dengan adanya kurikulum terbaru yaitu kurikulum 2013, guru harus merubah paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Artinya siswa dituntut aktif dalam pembelajaran sehingga guru harus berusaha kreatif dalam menciptakan situasi pembelajaran yang mendorong keaktifan siswa dalam pembelajaran. Salah satu cara yang dapat dilakukan guru untuk menciptakan sebuah situasi pembelajaran yang mendorong keaktifan siswa dalam pembelajaran yaitu dengan menggunakan model pembelajaran yang tepat. Khususnya dalam pembelajaran yang dilaksanakan berdasarkan kurikulum 2013, ada beberapa model pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru. Model-model pembelajaran tersebut adalah model discovery learning, project based learning, problem solving based learning dan problem based learning. Permasalahan yang muncul di sekolah di antaranya yaitu, adanya kesenjangan antara siswa yang mempunyai kemampuan yang tinggi dan siswa yang mempunyai kemampuan rendah. Sehingga dalam pembelajaran guru masih kesulitan dalam membimbing siswa dengan adanya kesenjangan tersebut. Permasalahan lainnya yaitu penerapan kurikulum 2013 di kelas sebelumnya belum dilaksanakan secara penuh. Dalam pembelajaran guru masih melaksanakan pembelajaran secara konvensional yang dipadukan dengan pelaksanaan pembelajaran yang menuntut siswa aktif. Hal ini disebabkan karena siswa belum siap melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Kenyataan saat ini kemampuan siswa dalam pembelajaran di kelas sebelumnya yaitu di kelas IV SDN Mengger Girang 1 belum mencapai kemampuan yang diharapkan guru. Jika dilihat dari tingkat kemampuan yang dimiliki siswa yaitu dari jumlah keseluruhan siswa yang berjumlah 40 siswa, 30% memiliki kemampuan cerdas, 55% siswa memiliki kemampuan normal, 10% siswa memiliki kemampuan mendekati normal, sedangkan sisanya yaitu 5% merupakan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Kemampuan secara umum siswa di sekolah ini sangat heterogen, yakni ada sebagian siswa yang mempunyai kemampuan tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. Kemampuan yang heterogen tersebut dapat menjadi kendala dalam kegiatan pembelajaran sehingga menyebabkan hasil belajar pada siswa sangat rendah. Perbedaan tingkat kemampuan ini dapat mempengaruhi cepat dan lambatnya siswa dalam pembelajaran tematik. Khususnya pada pembelajaran yang bertema “Benda-Benda di Lingkungan Sekitar Sub Tema Wujud Benda dan Cirinya”. Tema tersebut menggabungkan beberapa mata pelajaran, namun peneliti mengkhususkan pada mata pelajaran PPKn, Bahasa Indonesia dan Matematika. Ketiga mata pelajaran tersebut bagi sebagian siswa bisa dikatakan sulit dan tidak disenangi khususnya bagi siswa yang berkemampuan sangat rendah. Namun sebaliknya bagi siswa yang berkemampuan tinggi, ketiga mata pelajaran tersebut mungkin menjadi salah satu mata pelajaran yang mereka senangi. Sebagai cara untuk mengatasi permasalahan ini maka salah satu solusi yang dapat dilakukan yaitu dengan menerapkan model pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan. Adapun model pembelajaran yang sesuai dengan pembelajaran tematik di kelas V pada tema benda-benda di lingkungan sekitar sub tema wujud benda dan cirinya salah satunya yaitu model Problem Based Learning (PBL). Barrow (Huda, 2014, h. 271) mendefinisikan Pembelajaran Berbasis-Masalah (Problem-Based Learning/PBL) sebagai “Pembelajaran yang diperoleh melalui proses menuju pemahaman akan revolusi suatu masalah. Masalah tersebut dipertemukan pertama-tama dalam proses pembelajaran”. PBL merupakan salah satu bentuk peralihan dari paradigma pengajaran menuju paradigma pembelajaran. Jadi, fokusnya adalah pada pembelajaran siswa dan bukan pada pengajaran guru. Pelaksanaan model pembelajaran Problem Based Learning yaitu berbasis pada pemecahan masalah. Melalui model pembelajaran ini siswa dapat aktif dalam pembelajaran karena siswa dituntut untuk memecahkan sebuah masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Adapun pelaksanaannya siswa bekerja dalam sebuah tim untuk memecahkan masalah nyata yang terjadi di kehidupan siswa. Sehingga kesenjangan kemampuan siswa dapat diatasi. Caranya yaitu dengan membagi kelompok secara acak. Setiap kelompok bisa terdiri dari beberapa gabungan siswa yang memiliki kemampuan tinggi dan siswa yang memiliki kemampuan rendah. Beberapa kelompok yang sudah dibagi tersebut masing-masing dapat mendiskusikan sebuah masalah yang telah ditentukan oleh guru. Sehingga siswa dapat menyajikan solusi atas masalah tersebut. Sebagaimana yang telah dilakukan peneliti-peneliti terdahulu yang menggunakan model problem based learning dan berhasil meningkatkan hasil belajar siswa. Salah satunya yaitu PTK yang dilakukan oleh Evi Nurul Khuswatun NPM. 0902940 (2013) dengan judul Penelitian Tindakan Kelas (PTK) “Pendekatan problem based learning (PBL) untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa pada materi bilangan pecahan” (Penelitian Tindakan Kelas di SDN Inpres Cikahuripan Kelas IV-B Semester II tahun ajaran 2012/2013 Kecamatan lembang kabupaten Bandung Barat). Peneliti tersebut melakukan beberapa langkah-langkah pembelajaran, di antaranya yaitu dengan mengelompokkan siswa menjadi beberapa kelompok untuk mendiskusikan dan menyelesaikan lembar permasalahan yang diajukan. Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diutarakan di atas, maka saya memandang penting dan perlu untuk melakukan penelitian dengan judul “Penggunaan Model Problem Based Learning untuk Meningkatkan Sikap Percaya diri dan Prestasi Belajar Siswa pada Pembelajaran Tematik” (Penelitian Tindakan Kelas pada Tema Benda-Benda di Lingkungan Sekitar Sub Tema Wujud Benda dan Cirinya Di Kelas V SDN Mengger Girang 1 Kota Bandung). B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diutarakan, maka masalah dalam penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Pelaksanaan pembelajaran tematik di kelas tinggi belum dilaksanakan secara penuh. Hal tersebut dikarenakan pembelajaran tematik belum lama diterapkan di kelas tinggi. 2. Pembelajaran belum berbasis masalah. Hal tersebut dikarenakan siswa belum mandiri dalam pembelajaran sehingga guru masih harus membimbing agar pembelajaran berpusat pada siswa. 3. Jumlah siswa yang terlalu banyak dalam satu kelas sehingga pembelajaran kurang efektif. Hal tersebut dikarenakan adanya kesenjangan antara siswa yang berkemampuan cerdas dengan siswa yang berkemampuan rendah. C. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian 1. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah sebagaimana telah diutarakan di atas, maka masalah utama dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Apakah penggunaan model Problem Based Learning dapat meningkatkan sikap percaya diri dan prestasi belajar siswa pada pembelajaran tematik?”. 2. Pertanyaan penelitian Mengingat rumusan masalah utama sebagaimana telah diutarakan di atas masih terlalu luas sehingga belum secara spesifik menunjukkan batas-batas mana yang harus diteliti, maka rumusan masalah utama tersebut kemudian dirinci dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut. a. Bagaimana prestasi belajar siswa sebelum siswa mengikuti proses pembelajaran dengan menggunakan model Problem Based Learning? b. Bagaimana respon siswa selama siswa mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model Problem Based Learning? c. Bagaimana aktivitas belajar siswa selama siswa mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model Problem Based Learning? d. Bagaimana aktivitas guru selama guru melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan model Problem Based Learning? e. Bagaimana prestasi belajar siswa setelah siswa mengikuti proses pembelajaran dengan menggunakan Problem Based Learning? D. Pembatasan Masalah Memperhatikan hasil diidentifikasi masalah, rumusan masalah dan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah diutarakan, diperoleh gambaran dimensi permasalahan yang begitu luas. Namun, menyadari adanya keterbatasan waktu dan kemampuan, maka dalam penelitian ini penulis memandang perlu memberi batasan masalah secara jelas sebagai berikut: a. Prestasi hasil belajar dan proses pembelajaran yang diukur dalam penelitian ini adalah aspek kognitip, afektip dan psikomotor. b. Dari sekian banyak sub tema dari beberapa tema, dalam penelitian ini hanya akan mengkaji atau menelaah pembelajaran pada tema 1 Benda-Benda di Lingkungan Sekitar subtema Wujud Benda dan Cirinya. c. Obyek dalam penelitian ini hanya akan meneliti pada siswa SD kelas V-B di SD Negeri Mengger Girang 1 Kecamatan Regol Kota Bandung. E. Tujuan Penelitian Secara umum yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan sikap percaya diri dan prestasi belajar siswa pada pembelajaran tematik, yang diharapkan dapat berimbas pada meningkatnya mutu pendidikan sekolah dasar. Adapun secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Memperoleh gambaran tentang cara menggunakan model Problem Based Learning pada pembelajaran tematik. 2. Implementasi Model Problem Based Learning dalam pembelajaran tematik. 3. Mengetahui sikap percaya diri dan prestasi belajar siswa pada pembelajaran tematik dengan menggunakan model Problem Based Learning. F. Manfaat Penelitian Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi penulis yaitu dapat memberikan pengetahuan tentang menggunakan model Problem Based Learning pada pembelajaran tematik. 2. Bagi siswa yaitu dapat meningkatkan sikap percaya diri dan prestasi belajar siswa pada pembelajaran tematik. 3. Bagi guru yaitu dapat memperluas wawasan pengetahuan untuk meningkatkan mutu proses pembelajaran tematik. 4. Bagi sekolah dapat meningkatkan citra sekolah menjadi lebih baik seiring dengan meningkatnya mutu pembelajaran. 5. Bagi peneliti yang lain yaitu sebagai referensi bagi peneliti berikutnya. G. Kerangka atau Paradigma Penelitian Penggunaan model Problem Based Learning bertujuan untuk meningkatkan sikap percaya diri dan prestasi belajar siswa pada pembelajaran tematik. Berdasarkan observasi awal yang dilakukan di kelas IV SDN Mengger Girang 1 Kecamatan Regol Kota Bandung tahun ajaran 2013-2014 dalam proses pembelajaran tematik, guru belum sepenuhnya melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada siswa, hal itu disebabkan pembelajaran tematik di kelas tinggi merupakan hal yang baru bagi siswa. Walaupun sebenarnya di kelas rendah siswa sudah mendapatkan pembelajaran tematik. Berdasarkan kurikulum terbaru yaitu kurikulum 2013 maka guru harus berusaha menciptakan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Artinya siswalah yang menemukan pengetahuannya sendiri dengan bimbingan guru sebagai motivator dan fasilitator. Pembelajaran tematik di kelas V dengan tema benda-benda di lingkungan sekitar dan sub tema wujud benda dan cirinya merupakan sebuah tema baru yang siswa jumpai di kelas V. Pelaksanaan pembelajaran tematik menggabungkan beberapa mata pelajaran dalam satu tema merupakan salah satu cara untuk mempermudah guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Model Problem Based Learning menurut Barr dan Tagg (Huda, 2012, h. 271) merupakan salah satu peralihan dari paradigma pengajaran menuju peradigma pembelajaran. Model PBL yang bertujuan meningkatkan sikap percaya diri dan prestasi belajar siswa pada pembelajaran tematik. Model PBL merupakan sebuah model pembelajaran yang berbasis masalah dalam pelaksanaan pembelajarannya. Model PBL ini dapat membuat anak lebih terlibat dalam pembelajaran karena dalam proses pembelajarannya siswa diharuskan untuk belajar melalui sebuah masalah yang telah ditentukan oleh guru. Pelaksanaan pembelajaran dengan model PBL ini guru dapat mengelompokkan siswa menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok berisi siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Sehingga kesenjangan antara siswa yang berkemampuan cerdas dan siswa yang berkemampuan kurang dapat dengan mudah diatasi. Diharapkan pembelajaranpun akan lebih menyenangkan dan dapat menghilangkan kejenuhan siswa dalam proses pembelajaran, sehingga tidak hanya prestasi belajar siswa yang meningkat. Namun, sikap dan keterampilan siswa pun dapat ditingkatkan. Salah satunya yaitu meningkatkan sikap percaya diri siswa dalam proses pembelajaran. Berdasarkan uraian di atas, bahwa dengan penggunaan model Problem Based Learning diperkirakan dapat meningkatkan sikap percaya diri dan prestasi belajar siswa pada pembelajaran tematik di kelas V SDN Mengger Girang 1 Bandung dalam pembelajaran tematik. Keterkaitan antara permasalahan yang dihadapi, penggunaan model Problem Based Learning serta peningkatan sikap percaya diri dan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran tematik dapat dilihat pada bagan di bawah ini: Diagram Kerangka Pemikiran H. Asumsi Berdasarkan kerangka atau paradigma penelitian sebagaimana diutarakan di atas, maka beberapa asumsi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Menurut Agus Suprijono, Model pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas maupun tutorial. Model pembelajaran sangat penting digunakan guru untuk merencanakan pembelajaran yang akan dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan guru. b. Forgaty (Evi Nurul Khuswatun, 2013, h. 7) mengemukakan bahwa, “Problem Based Learning is a curriculum model designed around real life problems that are ill structured, open ended, or ambigous”. Pengertian ini memiliki arti bahwa PBL adalah suatu model kurikulum yang merancang permasalahan sekitar kehidupan nyata secara tidak terstruktur, terbuka dan kacau. Pendapat ini mengisyaratkan bahwa kunci dalam pembelajaran PBL adalah suatu permasalahan. Pembelajaran tematik di kelas tinggi dapat berjalan dengan baik jika guru menggunakan model Problem based Learning, karena model PBL ini menekankan pada pemecahan masalah sehingga siswa aktif dalam pembelajaran. c. Hasil belajar atau achievement (Nana Syaodih, 2005, h. 103) merupakan realisasi atau pemekaran dari kecakapan-kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki seseorang. Hasil akhir dari sebuah pembelajaran adalah hasil belajar siswa. Melalui hasil belajar siswa, guru dapat mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi setelah pembelajaran berlangsung. d. Pembelajaran tematik sangat cocok diterapkan dalam pembelajaran di sekolah dasar, salah satunya di kelas tinggi. Asumsi ini diperkuat oleh Abdul Majid dalam bukunya “Pembelajaran Tematik Terpadu” menyatakan bahwa: Pembelajaran tematik sebagai suatu konsep dapat dikatakan sebagai pendekatan belajar mengajar yang melibatkan beberapa bidang studi untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada anak. Dikatakan bermakna karena dalam pembelajaran tematik, anak akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari itu melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah mereka pahami. e. Penggunaan model PBL pada pembelajaran tematik tema Benda-benda di Lingkungan Sekitar sub tema wujud benda dan cirinya sangat sesuai untuk mencapai kompetensi yang diinginkan yaitu meliputi kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan, asumsi ini diperkuat dengan pernyataan dari Dewey (Rusmono, 2014, h. 74), sekolah merupakan laboratorium untuk pemecahan masalah kehidupan nyata karena setiap siswa memiliki kebutuhan untuk menyelidiki lingkungan mereka dan membangun secara pribadi pengetahuannya. Melalui proses ini dikatakan Sanjaya (Rusmono, 2014, h. 74), sedikit demi sedikit siswa akan berkembang secara utuh, baik pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Artinya setiap siswa memperoleh kebebasan dalam menyelesaikan program pembelajarannya. I. Hipotesis Tindakan Berdasarkan kerangka atau paradigma penelitian dan asumsi sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah: “Penggunaan model Problem Based Learning dapat meningkatkan sikap percaya diri dan prestasi belajar siswa pada pembelajaran tematik”. J. Definisi Operasional Untuk menghindari terjadinya salah pengertian terhadap istilah-istilah yang terdapat dalam variabel penelitian ini, maka istilah-istilah tersebut kemudian didefinisikan sebagai berikut: a. Problem Based Learning adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menjadi titik tolak dan sudut pandang dalam melaksanakan pembelajaran. Berdasarkan arti dari setiap pembelajaran PBL, yakni problem (masalah), based (dasar) dan learning (pembelajaran) menyiratkan bahwa pendekatan ini menjadikan masalah sebagai dasar dalam pembelajaran. (Evi Nurul Khuswatun, 2013, h. 7. Barrow (Miftahul Huda, 2014, h. 271) mendefinisikan Pembelajaran Berbasis-Masalah (Problem-Based Learning/PBL) sebagai “Pembelajaran yang diperoleh melalui proses menuju pemahaman akan revolusi suatu masalah. Masalah tersebut dipertemukan pertama-tama dalam proses pembelajaran”. b. Percaya diri (Self Confidence) adalah meyakinkan pada kemampuan dan penilaian (judgement) diri sendiri dalam melakukan tugas dan memilih pendekatan yang efektif. http://ooowh.blogspot.com/2012/02/pengertian-percaya-diri-cara-membangun.html?m=1 c. Prestasi Belajar adalah hasil usaha bekerja atau belajar yang menunjukkan ukuran kecakapan yang dicapai dalam bentuk nilai. http://belajarpsikologi.com/pengertian-prestasi-belajar/ d. Pembelajaran tematik (Abdul Majid, 2014:80) adalah pembelajaran terpadu yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna kepada murid. BAB II LANDASAN TEORI A. Belajar dan Pembelajaran 1. Pengertian Belajar dan Pembelajaran Terdapat beberapa pengertian belajar yang dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya yaitu: Menurut Burton, “Pengertian belajar sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya sehingga mereka mampu berinteraksi dengan lingkungannya” (Aunurrahman, 201, h. 35). James O. Whittaker merumuskan “Belajar sebagai proses di mana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman” (Bahri, 2011, h. 12). Menurut Drs. Slameto, “Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu unuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya” (Bahri, 2011, h. 13). Berdasarkan beberapa pengertian belajar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang terjadi pada diri individu karena adanya pengalaman interaksi individu dengan lingkungan sekitarnya. Sebenarnya proses belajar dapat saja berlangsung tanpa adanya pembelajaran karena pada hakikatnya manusia tumbuh dan berkembang melalui sebuah proses yang dinamakan belajar. Melalui interaksi antar individu manusia dapat dikatakan belajar, karena dalam proses interaksi tersebut secara tidak langsung merubah tingkah laku manusia itu sendiri. Perubahan tingkah laku ini terjadi karena adanya pengalaman yang dialami oleh individu itu sendiri lewat sebuah interaksi. Namun pembelajaran mempunyai arti penting dalam proses belajar. Salah satunya yaitu mempengaruhi hasil belajar. Adanya pembelajaran ini hasil belajar siswa akan mudah diketahui. Adapun pengertian dari pembelajaran pada hakikatnya adalah suatu proses interaksi antara anak dengan anak, anak dengan sumber belajar, dan anak dengan pendidik (Majid, 2014, h. 15). Seiring zaman pembelajaran yang terjadi di sekolah mengalami banyak perubahan. Guru yang pada awalnya dijadikan pusat dalam pembelajaran karena anggapan bahwa guru merupakan sumber pengetahuan. Namun pembelajaran yang paling efektif adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dikarenakan siswa yang membangun sendiri pemahaman terhadap pengetahuan yang mereka terima sehingga proses belajar akan lebih bermakna. Anak usia sekolah dasar berada pada tahap operasi konkret. Pada rentang usia tersebut anak mulai menunjukkan perilaku belajar sebagai berikut: (1) mulai memandang dunia secara objektif, bergeser dari satu aspek situasi ke aspek lain secara reflektif dan memandang unsur-unsur secara serentak; (2) mulai berpikir secara operasional untuk mengklasifikasikan benda-benda; (4) membentuk dan mempergunakan keterhubungan aturan-aturan, prinsip ilmiah sederhana, dan mempergunakan hubungan sebab akibat; dan (5) memahami konsep substansi, volume zat cair, panjang, lebar, luas dan berat (Majid, 2014, h. 9-10). Anak usia sekolah dasar masih berada pada tahap operasional konkret yang menunjukkan bahwa anak lebih mudah memahami pembelajaran dengan hal-hal yang bersifat nyata atau pernah mereka alami. Sehingga dalam pelaksanaan pembelajaran anak terlebih dahulu memahami hal-hal yang konkret sebelum memahami hal-hal yang abstrak. Artinya dalam proses pembelajaran siswa belajar materi yang konkret menuju materi yang abstrak khususnya di kelas rendah. Sumber belajar yang digunakan untuk pembelajaran siswa sekolah dasar memanfaatkan lingkungan sekitar, dikarenakan benda-benda yang terdapat di lingkungan sekitar bersifat lebih konkret dan sering dijumpai siswa. Sehingga pembelajaran akan lebih bermakna dan lebih nyata bagi siswa. Abdul Majid (2014, h. 10) mengemukakan bahwa “Kecenderungan belajar anak usia sekolah dasar memiliki tiga ciri yaitu: konkret, integratif dan hierarkis”. Selain dalam tahap operasional konkret, usia siswa di sekolah dasar memiliki ciri-ciri lainnya seperti yang dikemukakan oleh Abdul Majid di atas. Siswa sekolah dasar masih dalam tahap integratif yaitu segala sesuatu yang dipelajari siswa merupakan suatu keutuhan. Artinya mereka belum mampu menentukan berbagai konsep dari berbagai disiplin ilmu. Tahap ini menunjukkan bahwa siswa sekolah dasar memiliki cara berfikir yang deduktif, yaitu mempelajari dari hal-hal yang bersifat umum sebelum mempelajari hal-hal yang bersifat khusus. Ciri yang terakhir yaitu tahap hierarkis, berdasarkan ciri ini siswa belajar dan berkembang secara bertahap mulai dari hal-hal yang bersifat sederhana hingga ke hal-hal yang bersifat kompleks. Sehingga guru harus lebih cermat dan teliti dalam menentukan materi yang akan diajarkan kepada siswa. 2. Teori Belajar yang Berpusat pada Siswa Adapun salah satu teori belajar yang dijelaskan oleh para ahli yang berhubungan dengan pembelajaran yang berpusat pada siswa di antaranya teori belajar kontruktivisme. Kontruktivisme merupakan sebuah teori belajar yang berkaitan dengan proses pembelajaran yang melibatkan siswa aktif dalam pelaksanaannya. Konstruktivisme menurut Suyono dan Hariyanto (2012, h. 105) adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis bahwa dengan merefleksikan pengalaman, kita membangun dan mengkonstruksi pengetahuan pemahaman kita tentang dunia tempat kita hidup. Teori belajar konstruktivisme lebih menekan kan bahwa pembelajaran berangkat dari pengalaman siswa yang nantinya dibangun dan dikonstruksi menjadi pengetahuan dan pemahaman siswa. Artinya dalam pembelajaran siswa yang lebih dominan aktif dibandingkan guru dalam upaya menemukan pengetahuan, konsep, maupun kesimpulan dari proses pembelajaran yang mereka alami. Selain itu teori kontruktivisme menekankan agar siswa yang membangun atau mengkontruksi sendiri pengetahuan yang mereka dapatkan dengan melibatkan fisik dan mental siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Aunurrahman (2011, h. 19) mengemukakan beberapa hal prinsip yang berkaitan dengan pemahaman tentang belajar di antaranya yaitu: Belajar berarti membentuk makna, konstruksi berarti merupakan suatu proses yang berlangsung secara dinamis, secara substansial belajar bukanlah aktivitas menghimpun fakta atau informasi, akan tetapi lebih kepada upaya pengembangan pemikiran-pemikiran baru, Proses belajar yang sebenarnya terjadi ketika skema pemikiran seseorang dalam keraguan yang menstimulir pemikiran-pemikiran lebih lanjut, hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa tentang lingkungannya, dan hasil belajar siswa tergantung dari apa yang telah ia ketahui. Proses belajar dalam pandangan teori belajar konstruktivisme lebih menekankan terbentuknya makna. Adapun makna dalam hal ini yaitu merupakan sebuah hasil yang dibentuk oleh siswa berdasarkan apa yang pernah mereka alami secara langsung. Sehingga terbangun sebuah pengetahuan berdasarkan pengalaman siswa sendiri. Artinya pengetahuan terbentuk dari pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa. Pengetahuan yang telah dibentuk siswa bersifat dinamis, artinya pengetahuan tersebut dapat diubah sewaktu-waktu jika siswa menemukan pengalaman-pengalaman baru. Sehingga siswa dapat melakukan rekonstruksi atau membangun kembali pengetahuan yang lama dengan pengetahuan yang baru. Belajar menurut teori konstruktivisme ini bukanlah sebuah kegiatan yang mengharuskan siswa untuk mengumpulkan informasi ataupun fakta, akan tetapi siswa dituntut untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran yang baru. Sehingga belajar merupakan perkembangan bukan sebagai hasil dari perkembangan yang telah ada. Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh pengalaman siswa tentang lingkungannya. Semakin banyak pengalaman siswa tentang lingkungan sekitarnya, maka semakin luas pula pengetahuan yang akan dikonstruksi siswa. Sehingga hasil belajar siswa sangat bergantung pada apa-apa saja yang pernah dialami dan diketahui siswa. Konstruktivisme menurut Bettencourt melandasi pemikirannya bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang given dari alam karena hasil kontak manusia dengan alam, tetapi pengetahuan merupakan hasil konstruksi (bentukan) aktif manusia itu sendiri. Pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan (106) seseorang. Ia membentuk skema, ketegori, konsep dan stuktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan (Suyono&Hariyanto, 2012, h. 105). Pengetahuan berdasarkan teori belajar konstruktivisme bukan merupakan suatu pemberian atau sesuatu yang telah ada. Namun pengetahuan dibangun suatu pemberian atau sesuatu yang telah ada. Namun pengetahuan dibangun sendiri oleh individu saat belajar dan pengetahuan yang dibentuk bukan merupakan tiruan dari pengetahuan yang telah ada sebelumnya. B. Model Pembelajaran 1. Pengertian Model pembelajaran Terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli mengenai pengertian model pembelajaran. Salah satunya akan diuraikan di bawah ini. Menurut Arends, Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial. Model pembelajaran mengacu pada pendekatan pembelajaran yang akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas (Trianto, 2010, h. 51). Joyce & Weil berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain. Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikannya (Rusman, 2011, h. 133). Suatu model pembelajaran sangat diperlukan dalam melaksanakan pembelajaran pada kurikulum 2013. Dikatakan begitu karena aktivitas guru pada pembelajaran kurikulum 2013 lebih sedikit dibandingkan aktivitas siswa. Sehingga guru harus pandai merencanakan pembelajaran sebaik mungkin, agar pembelajaran dapat terlaksana sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Adanya model pembelajaran ini memudahkan guru dalam menyusun langkah-langkah pembelajaran khususnya pembelajaran kurikulum 2013. Terdapat beberapa model pembelajaran yang diterapkan pada pembelajaran kurikulum 2013. Sebagaimana disebutkan dalam buku “Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013” tentang model-model pembelajaran, salah satunya yaitu: Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning), Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning), dan Pembelajaran Berbasis Penemuan (Discovery Learning) 2. Ciri-ciri Model Pembelajaran Model pembelajaran memiliki ciri-ciri tertentu seperti dikemukakan oleh Rusman dalam bukunya yang berjudul “Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru”. Rusman (2011, h. 136) mengemukakan bahwa terdapat beberapa ciri-ciri model pembelajaran di antaranya yaitu: model pembelajaran berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu. Model pembelajaran mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu, misalnya model berfikir induktif dirancang untuk mengembangkan proses berpikir induktif. Model pembelajaran dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas, misalnya model Synectic dirancang untuk memperbaiki kreativitas dalam pelajaran mengarang. Model pembelajaran memiliki bagian-bagian model yang dinamakan: (1) urutan langkah-langkah pembelajaran (syntax); (2) adanya prinsip-prinsip reaksi; (3) sistem sosial; dan (4) sistem pendukung, keempat bagian tersebut merupakan pedoman praktis bila guru akan melaksanakan suatu model pembelajaran. Model pembelajaran memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran. Dampak tersebut meliputi: (1) Dampak pembelajaran, yaitu hasil belajar yang dapat diukur; (2) Dampak pengiring, hasil belajar jangka panjang. Model pembelajaran membuat persiapan mengajar (desain instruksional) dengan pedoman model pembelajaran yang dipilihnya. C. Model Pembelajaran Problem Based Learning 1. Pengertian Problem Based Learning Salah satu model pembelajaran yang diterapkan dalam kurikulum 2013 yaitu model pembelajaran Problem Based Learning. Adapun pengertian dari model pembelajaran Problem Based Learning adalah sebagai berikut. Barrow mendefinisikan Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning/PBL) sebagai “pembelajaran yang diperoleh melalui proses menuju pemahaman akan resolusi suatu masalah. Masalah tersebut dipertemukan pertama-tama dalam proses pembelajaran”. PBL merupakan salah satu bentuk peralihan dari paradigma pengajaran menuju paradigma pembelajaran. Jadi, fokusnya adalah pada pembelajaran siswa dan bukan pada pengajaran guru (Huda, 2014, h. 271). Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning lebih mengutamakan pemberian masalah kepada siswa untuk dipecahkan dalam proses pembelajaran. Sehingga anak tidak dihadapkan terlebih dahulu pada teori yang sudah ada. Adanya masalah ini yang menjadi acuan bagi siswa untuk membangun pengetahuan mereka sendiri. Setelah mereka membangun pengetahuannya sendiri, barulah guru mengimbangi dengan teori yang sudah ada. Masalah yang diberikan kepada siswa tidak terlalu jauh dari kehidupan nyata siswa. Artinya masalah tersebut sering dijumpai siswa dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Lloyd-Jones, Margeston, dan Bligh menyatakan bahwa “Ada tiga elemen dasar yang seharusnya muncul dalam pelaksanaan PBL: menginisiasi pemicu/masalah awal (initiating trigger), meneliti isu-isu yang diidentifikasi sebelumnya, dan memanfaatkan pengetahuan dalam memahami lebih jauh situasi masalah”(Huda, 2014, h. 271-272). Seorang guru harus paham mengenai alur dari pelaksanaan pembelajaran. Seperti halnya dengan penggunaan yang telah mereka pilih dalam pembelajaran. Sehingga pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Tentu saja dalam setiap pelaksanaan pembelajaran terdapat beberapa hal yang diharapkan oleh guru dapat muncul ketika pelaksanaan berlangsung dan sesuai dengan model pembelajaran yang mereka pilih. Adapun dari tiga elemen dasar yang disebutkan di atas merupakan sebuah acuan bagi guru yang melaksanakan pembelajaran dengan model pembelajaran Problem Based Learning. Menurut Abdorrakhman Gintings pengembangan model PBL (2010, h. 210) di antaranya didasari oleh prinsip Enquiry Learning dan teori-teori psikologi belajar dan pembelajaran modern. Prinsip Enquiry Learning yang memandang belajar adalah upaya untuk menemukan sendiri pengetahuan. Teori-teori psikologi belajar dan pembelajaran modern yang menjelaskan bahwa pengetahuan akan lebih diingat dan dikemukakan kembali secara lebih efektif jika belajar dan pembelajaran didasarkan dalam konteks manfaatnya di masa depan. Model pembelajaran Problem Based Learning lebih menekankan agar siswa menemukan dan membangun pengetahuannya sendiri. Sama seperti yang telah disebutkan sebelumnya pada teori belajar konstruktivisme, model pembelajaran Problem Based Learning ini lebih banyak melibatkan keaktifan siswa dibandingkan guru. Guru bukan sebagai sumber pengetahuan akan tetapi hanya sebatas memfasilitasi, membimbing dan mengarahkan siswa dalam menemukan pengetahuannya. Model pembelajaran ini merupakan salah satu model pembelajaran yang diterapkan pada kurikulum 2013. Hal ini dikarenakan pada kurikulum 2013, siswa dituntut aktif dalam pembelajaran dan siswa dituntut untuk membangun pengetahuannya sendiri. 2. Karakteristik Problem Based Learning Terdapat beberapa karakteristik model pembelajaran Problem Based Learning yang dikemukakan oleh Rusman dalam bukunya yang berjudul “Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru” yaitu: Menurut Rusman (2011, h. 232) terdapat 10 karakterisitik pembelajaran berbasis masalah di antaranya: 1) permasalahan menjadi starting point dalam belajar, 2) permasalahan yang diangkat adalah permasalahan yang ada di dunia nyata yang tidak terstruktur, 3) permasalahan membutuhkan perspektif ganda (multiple perspective), 4) permasalahan menantang pengetahuan yang dimiliki oleh siswa, sikap, dan kompetensi yang kemudian membutuhkan identifikasi kebutuhan belajar dan bidang baru dalam belajar, 5) belajar pengarahan diri menjadi hal yang utama, 6) pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam, penggunaannya, dan evaluasi sumber informasi merupakan proses yang esensial dalam PBM, 7) belajar adalah kolaboratif, komunikasi, dan kooperatif, 8) pengembangan keterampilan inquiry dan pemecahan masalah sama pentingnya dengan penguasaan isi pengetahuan untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan, 9) keterbukaan proses dalam PBM meliputi sintesis dan integrasi dari sebuah proses belajar, 10) PBM melibatkan evaluasi dan review pengalaman siswa dan proses belajar. Berdasarkan karakteristik-karakteristik di atas, pembelajaran dengan menggunakan Model Pembelajaran Problem Based Learning lebih mengutamakan masalah dalam melaksanakan pembelajaran. Masalah diberikan lebih awal dibandingkan dengan teori ataupun konsep. Tujuan diberikannya manfaat ini yaitu agar masalah tersebut menjadi pondasi siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri berdasarkan masalah yang telah terjadi di lingkungan sekitarnya. Permasalahan yang diambil diangkat dari dunia nyata yang tidak terstruktur. Hal ini disebabkan permasalahan yang nyata akan mempermudah siswa dalam membangun pengetahuannya sendiri. Kehidupan yang nyata dan dekat dengan lingkungan siswa membuat pembelajaran menjadi bermakna bagi siswa. Siswa tidak perlu terlalu jauh membayangkan permasalahan yang abstrak, dikarenakan masalah yang diberikan merupakan masalah yang terjadi pada kehidupan sehari-hari dan sudah mereka alami. Masalah yang disajikan kepada siswa harus memiliki perspektif ganda (multiple perspective), yaitu sebuah permasalahan tidak hanya memiliki satu jawaban yang pasti, akan tetapi berbagai jawaban dan kemungkinan. Sehingga dari jawaban-jawaban yang dijawab oleh siswa dapat disimpulkan siswa secara bersama-sama. Banyaknya jawaban-jawaban dari siswa tersebut menjadi pondasi-pondasi awal untuk membangun pengetahuan siswa. Masalah yang dihadapkan kepada siswa hendaknya menantang pengetahuan yang dimiliki siswa. Sehingga pengetahuan baru berasal dari pemecahan masalah yang dilakukan siswa dengan pengetahuan awal yang dikuasai siswa. Pengelompokkan siswa dalam pembelajaran dengan model pembelajaran Problem Based Learning akan lebih baik lagi. Dikarenakan pengetahuan awal yang dimiliki siswa sangat beragam. Sehingga pengetahuan baru yang terbentuk dari masalah yang diberikan akan lebih luas lagi. Keterampilan siswa dalam memecahkan masalah sangat diperlukan dalam model pembelajaran ini. Sebab kunci utama dalam pembelajaran dengan model Problem Based Learning adalah masalah. Serta keterampilan siswa dalam menemukan pengetahuannya sendiri sangat diperlukan dalam pembelajaran ini. 3. Identifikasi Pembelajaran Berbasis Masalah Arend mengutip hasil penelitian para ahli antara lain Vanderbilt, krajcik & Czerniak, Slavin dan lain-lain menyimpulkan ada lima gambaran yang umum menjadi identifikasi pembelajaran berbasis masalah, yaitu: dikembangkan dari pertanyaan atau masalah, fokusnya antardisiplin, penyelidikan otentik, mengahasilkan artefak dan adanya kolaborasi (Warsono, 2012, h. 147-148). Pengorganisasian pembelajaran dengan model pembelajaran Problem Based Learning yaitu pada sejumlah pertanyaan atau masalah yang dianggap penting dan bermakna bagi siswa. Sehingga pemilihan masalah dalam pembelajaran disesuaikan dengan kehidupan nyata siswa. Model pembelajaran Problem Based Learning sangat baik diterapkan dalam pembelajaran tematik. Hal ini dikarenakan masalah yang diberikan kepada siswa dapat dipecahkan dari berbagai disiplin ilmu yang ada. Sehingga siswa tidak hanya fokus pada satu disiplin ilmu. Bahkan siswa akan lebih mudah memfokuskan pembelajaran dengan adanya tema pada pembelajaran tematik. Pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan siswa dapat berupa penyelidikan otentik. Artinya menyelidikan masalah yang timbul di kehidupan nyata siswa, sehingga mudah ditemukan penyelesaiannya karena memang terjadi di kehidupan siswa. Hal ini diperlukan agar anak dapat merealisasikan cara penyelesaian masalah dalam kehidupan sehari-hari. Penyelidikan otentik ini dapat dilakukan secara bertahap oleh siswa, mulai dari menganalisis masalah hingga menemukan hasil akhir yang biasanya dilaporkan saat akhir pembelajaran. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh siswa secara berkelompok. Manfaatnya yaitu agar siswa terbiasa bekerja sama dengan siswa yang lain. Sehingga siswa terbiasa untuk bertukar pikiran mengenai pengetahuan yang mereka miliki dengan pengetahuan siswa yang lain. Hasil dari kegiatan menganalisis masalah ini diharapkan siswa dapat menghasilkan artefak, baik berupa laporan, makalah, sebuah video, suatu program komputer, naskah dan lain-lain. 4. Peran Guru dalam Penerapan Model Problem Based Learning Peran guru dalam penerapan model Problem Based Learning tidak kalah penting dari peran siswa dalam pembelajaran berbasis masalah. Walaupun guru hanya berperan lebih sedikit dari peran siswa dalam pembelajaran namun pembelajaran tidak akan berlangsung begitu saja tanpa adanya peran guru di dalamnya. Adapun kewajiban guru menurut Warsono (2012, h. 150) dalam penerapan PBL/PBI antara lain yaitu: Mendefinisikan, merancang dan mempresentasikan masalah dihadapan seluruh siswa. Membantu siswa memahami masalah serta menentukan bersama siswa bagaimana seharusnya masalah semacam itu diamati dan dicermati. Membantu siswa memaknai masalah, cara-cara mereka dalam memecahkan masalah dan membantu menentukan argumen apa yang melandasi pemecahan masalah tersebut. Bersama para siswa menyepakati bentuk-bentuk pengorganisasian laporan. Mengakomodasikan kegiatan presentasi oleh siswa. Melakukan penilaian proses (penilaian otentik) maupun penilaian terhadap produk laporan. Pengenalan siswa terhadap masalah diberikan oleh guru pada awal pembelajaran. Guru mempunyai peran untuk merancang sedemikian rupa tentang masalah yang akan dipecahkan siswa. Tidak hanya sekedar merancang masalah, gurupun harus membantu siswa dalam memahami masalah yang dihadapi siswa. Hal ini dikarenakan kemampuan siswa yang beragam. Sehingga pemahaman siswa dalam menerima masalah dari guru sangat berbeda-beda maka peran guru di sini yaitu mengarahkan pemahaman siswa. Peran guru dalam pembelajaran dengan model ini sama seperti pada model pembelajaran yang lainnya. Dimulai dari perencanaan pembelajaran hingga proses penilaian di dalam kelas. Perbedaannya yaitu dari keaktifan guru dalam pembelajaran lebih sedikit dibandingkan siswa. 5. Tahap-tahap Model Problem Based Learning Terdapat beberapa tahapan yang dapat diterapkan dalam menyelenggarakan belajar dan pembelajaran dengan model PBL. Para guru dapat mengembangkan tahapan yang berbeda sesuai dengan permasalahan yang akan didiskusikan serta kondisi kelas. Adapun tahapan-tahapan yang dikemukakan oleh Abdorrakhman Gintings (2010, h. 213-214) di antaranya yaitu: 1) Mempelajari standar isi dan standar kompetensi siswa dan kurikulum untuk menentukan karakteristik masalah yang sesuai untuk digunakan sebagai bahan belajar dan pembelajaran. 2) Pelajari tingkat pengetahuan siswa untuk mempertimbangkan kompleksitas persoalan yang akan dijadikan bahan belajar dan pembelajaran. 3) Buatlah soal atau tugas yang berisi masalah yang harus dicarikan solusinya oleh siswa atau kelompok siswa dengan merujuk kepada hasil analisis kurikulum dan tingkat kemampuan siswa. 4) Beri pengkondisian awal kepada siswa sebelum diberi tugas masalah untuk dicarikan solusinya. 5) Kegiatan diskusi atau pelaksanaan prosedur pemecahan masalah oleh siswa atau kelompok-kelompok siswa. 6) Menutup kegiatan dengan menyelenggarakan diskusi tentang hasil pemecahan masalah. 7) Guru melakukan penilaian terhadap hasil kegiatan siswa dan memberikan komentar serta pengarahan untuk ditindak lanjuti sebagai kegiatan pengayaan bagi siswa. Tahapan-tahapan yang dapat dilakukan guru dalam pembelajaran dengan model Problem Based Learning khususnya dalam pembelajaran kurikulum 2013 yaitu mempelajari standar isi serta kompetensi inti. Hal ini dilakukan agar guru lebih mudah menentukan karakteristik yang sesuai dengan materi dan pembelajaran yang akan dilaksanakan. Pengetahuan awal yang dimiliki siswa sangat penting diketahui serta dipelajari guru agar mempermudah guru dalam menentukan masalah yang akan dihadapi siswa. Setelah mempelajari kurikulum dan pengetahuan siswa, maka guru akan lebih mudah membuat soal atau pertanyaan yang berkaitan dengan masalah yang akan disajikan. Sehingga soal atau pertanyaan yang dibuat guru sesuai dengan tingkat pengetahuan siswa. Sebelum memberikan masalah kepada siswa, guru dapat melakukan pengkondisian awal dengan memberikan penjelasan-penjelasan yang berkaitan dengan masalah. Abdorrakhman Gintings (2010, h. 214) mengemukakan tentang pengkondisian tersebut yang meliputi: 1) penjelasan tentang langkah-langkah dan pendekatan dalam pemecahan masalah. 2) kegiatan dan hasil yang harus mereka kerjakan berikut kriteria keberhasilannya seperti: waktu, prosedur yang harus ditempuh, ketersediaan data dan fakta, dan ruang lingkup solusi. Selama kegiatan ini berlangsung, guru berperan sebagai fasilitator dan tutor diantaranya dengan memberikan bimbingan dan motivasi kepada siswa, mengingatkan kepada siswa tentang apa yang mereka ketahui dan apa yang belum mereka ketahui, mengingatkan apakah tahapan sudah benar, dan mendorong partisipasi siswa. Kegiatan penutup yang dapat dilakukan guru dalam tahap selanjutnya yaitu melaksanakan diskusi tentang hasil pemecahan masalah yang telah dikerjakan secara berkelompok oleh siswa. Peran guru dalam diskusi ini dapat sebagai moderator yang mengatur jalannya kegiatan diskusi. Kegiatan diskusi ini tidak hanya melaporkan hasil pemecahan masalah saja. Akan tetapi setiap kelompok dapat memberikan masukan dan mengajukan pertanyaan kepada kelompok yang sedang menyajikan hasil pemecahan masalah. Selain sebagai moderator, guru pun bertugas menilai proses serta hasil diskusi yang dilakukan siswa. Sedangkan tahap-tahap model Problem Based Learning yang disebutkan dalam buku “Materi Pelatihan implementasi Kurikulum 2013” di antaranya yaitu sebagai berikut: Fase 1, mengorientasikan siswa pada masalah. Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan. Fase 2, mengorganisasikan siswa untuk belajar. Fase 3, membantu penyelidikan mandiri dan kelompok. Fase 4, mengembangkan dan menyajikan artefak (hasil karya) dan mempamerkannya. Fase 5, analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah. Penguraian tentang tahap-tahap model pembelajaran Problem Based Learning akan peneliti uraikan di bawah ini. Adapun fase 1, mengorientasikan siswa pada masalah. Seperti yang telah peneliti jelaskan sebelumnya. Bahwa kunci dari proses pembelajaran Problem Based Learning adalah masalah. Sehingga dalam penggunaan PBL, tahap pertama ini sangat penting yaitu guru menjelaskan kepada siswa secara rinci tentang pembelajaran yang akan dipelajari serta tujuan pembelajaran yang hendak dicapai siswa setelah pembelajaran berlangsung sampai penilaian yang akan dilakukan guru. Ada empat hal yang perlu dilakukan yang dicantumkan dalam buku “Implementasi kurikulum 2013”, yaitu sebagai berikut; 1) Tujuan utama pengajaran tidak untuk mempelajari sejumlah besar informasi baru, tetapi lebih kepada belajar bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadi siswa yang mandiri. 2) Permasalahan dan pertanyaan yang diselidiki tidak mempunyai jawaban mutlak “benar”, sebuah masalah yang rumit atau kompleks mempunyai banyak penyelesaian dan seringkali bertentangan. 3) Selama tahap penyelidikan, siswa di dorong untuk mengajukan pertanyan dan mencari informasi. 4) Selama tahap analisis dan penjelasan, siswa akan didorong untuk menyatakan ide-idenya secara terbuka dan penuh kebebasan. Fase 2, Mengorganisasikan siswa untuk belajar. Pelaksanaan pada tahap ini yaitu guru membagikan siswa menjadi beberapa kelompok. Tujuan dari pembagian kelompok ini yaitu agar siswa terbiasa belajar berkolaborasi dengan teman-temannya. Adanya pembagian kelompok ini mempermudah siswa dalam pemecahan suatu masalah. Dikarenakan untuk memecahkan suatu masalah itu sangat membutuhkan kerjasama dan sharing antar anggota. Selain untuk bekerja sama, pembagian kelompok ini dilakukan agar setiap kelompok dapat membahas masalah yang beragam. Sehingga pada saat diskusi hasil tugas kelompok tidak menjadi monoton dengan membahas satu masalah saja. Dengan adanya perbedaan tersebut, siswa dapat menerima berbagai informasi dari hasil diskusi dan belajar memberikan tanggapan kepada kelompok lain. Pembagian kelompok pada model pembelajaran ini sangat penting dilakukan agar pembelajaran dapat berlangsung sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah dirancang guru. Seperti yang dilakukan peneliti terdahulu yang berhasil melaksanakan pembelajaran menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dengan membagi siswa menjadi kelompok. Adapun hasil peneliti terdahulu yang dilakukan oleh Evi Nurul Khuswatun NPM. 0902940 (2013) judul Penelitian Tindakan Kelas (PTK) “Pendekatan Problem Based Learning (PBL) untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa pada materi bilangan pecahan” (Penelitian Tindakan Kelas di SDN Inpres Cikahuripan Kelas IV-B Semester II tahun ajaran 2012/2013 Kecamatan lembang kabupaten Bandung Barat) yaitu: Pelaksanaan pendekatan PBL pada materi bilangan pecahan di kelas IV SD, dapat dilakukan dengan langkah-langkah, guru mengajukan permaslahan nyata dan autentik yang berkaitan dengan bilangan pecahan. Kemudian siswa dibagi menjadi beberapa kelompok untuk menyelesaikan lembar permasalahan yang diajukan. Siswa pun melakukan diskusi dan interaksi dengan kelompok untuk menyelesaikan lembar permasalahan melalui proses penyelidikan dengan menggunakan media semi kongkrit. Hingga abstrak. Guru membimbing dan memfasilitasi siswa dalam proses penyelidikan masalah. Fase 3, Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok. Tahap ketiga ini merupakan tugas guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran yaitu membantu siswa dalam penyelidikan. Tahap ini siswa diharuskan melakukan pengumpulan data hingga memberikan pemecahan masalah. Setelah pengumpulan data, siswa dapat melakukan eksperimen atau percobaan untuk menemukan jawaban yang sesuai dengan masalah yang diberikan guru. Sehingga siswa dapat membangun pengetahuan barunya. Kegiatan penyelidikan ini merupakan inti dari model pembelajaran Problem Based Learning. Fase 4, Mengembangkan dan menyajikan artefak (hasil karya) dan mempamerkannya. Fase 4 ini merupakan lanjutan dari fase 3 setelah melakukan kegiatan penyelidikan secara berkelompok. Tahap ini merupakan hasil dari kegiatan penyelidikan yang dilakukan kelompok. Akan lebih baik lagi jika hasil karya kelompok ini disajikan dalam sebuah pameran kelas. Fase 5: Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah. Fase ini merupakan fase akhir yang mengharuskan siswa melakukan analisis dan evaluasi terhadap proses pemecahan masalah, keterampilan penyelidikan selama proses pembelajaran berlangsung dari awal. dimaksudkan untuk membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses mereka sendiri dan keterampilan penyelidikan dan intelektual yang mereka gunakan. Selama fase ini guru membimbing siswa untuk membangun pengetahuan berdasarkan kegiatan yang telah mereka lakukan selama proses pembelajaran. D. Sikap Percaya Diri 1. Pengertian Sikap Terdapat beberapa pengertian sikap yang dikemukakan oleh beberapa ahli di antaranya yaitu: Sikap menurut Zaim Elmubarok (2009, h. 47) adalah suatu bentuk evaluasi perasaan dan kecenderungan potensial untuk bereaksi yang merupakan hasil interaksi antara komponen kognitif, afektif dan konaktif yang saling bereaksi di dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek. Allport mengemukakan bahwa sikap adalah sesuatu kesiapan mental dan saraf yang tersusun melalui pengalaman dan memberikan pengaruh langsung kepada respons individu terhadap semua objek atau situasi yang berhubungan dengan objek itu. Definisi sikap menurut allport ini menunjukkan bahwa sikap itu tidak muncul seketika atau dibawa lahir, tetapi disusun dan dibentuk melalaui pengalaman serta memberikan pengaruh langsung kepada respons seseorang (Djaali, 2013, h. 114). Trow mendefinisikan “Sikap sebagai suatu kesiapan mental atau emosional dalam beberapa jenis tindakan pada situasi yang tepat. Trow lebih menekankan pada kesiapan mental atau emosional seseorang terhadap sesuatu objek”(Djaali, 2013, h. 114). Sikap merupakan suatu kesiapan mental dan saraf manusia dalam melalui kehidupan. Kaitan sikap dengan pembelajaran terlihat dari kesiapan mental siswa dalam memperoleh pengalaman dalam belajar. Sikap pada dasarnya dapat dibentuk melalui proses pembelajaran. Dikarenakan sikap tidak dibawa sejak manusia lahir. Adanya pengalaman dalam kehidupan sehari-hari yang menjadikan sikap seorang manusia terbentuk. Dalam proses pembelajaran di sekolah, sikap seorang siswa dapat terbentuk dengan adanya pembiasaan di dalam kelas. Contohnya dari kebiasaan siswa berdoa sebelum belajar dapat membentuk sikap yang religius. Adapun ciri-ciri sikap yaitu sikap bukan dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan individu dalam hubungan dengan objeknya. Sikap dapat berubah-ubah karena sikap dipelajari. Sikap dapat berdiri sendiri, tetapi mengandung relasi tertentu terhadap suatu objek. Sikap tidak merupakan suatu hal tertentu, tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut. Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi perasaan (Rakhmat dkk, 2006, h. 177-178). Sikap dapat berubah akibat pengaruh dari luar diri manusia. Seperti dipengaruhi hasil dari proses belajar. Selama proses belajar di kelas berlangsung, secara tidak sadar terjadi perubahan tingkah laku pada siswa. Tidak hanya di sekolah perubahan sikap terjadi tetapi juga di lingkungan sekitar siswa. Semua itu terjadi karena adanya pengalaman-pengalaman baru yang dialami siswa baik dari segi kognitif, afektif dan psikomotor. Menurut Davidoff, sikap ternyata dapat berubah dan berkembang karena hasil dari proses belajar, proses sosialisasi arus informasi, pengaruh kebudayaan dan adanya pengalaman-pengalaman baru yang dialami individu. Sedangkan Katz menyebutkan fungsi sikap ada empat, yaitu: 1) Fungsi penyesuaian atau fungsi manfaat, 2) Fungsi pertahanan ego, 3) pernyataan nilai, dan 4) Fungsi pengetahuan (Elmubarok, 2009, h. 50). Fungsi penyesuaian atau fungsi manfaat merupakan suatu usaha yang dilakukan individu untuk lebih mengikuti apa-apa yang diinginkannya dibandingkan dengan apa-apa yang tidak diinginkannya. Sehingga individu akan membentuk sikap positif terhadap apa-apa yang dirasakan individu lebih baik dan membentuk sikap negatif terhadap apa-apa yang dirasakan individu sangat buruk. Fungsi penyesuaian atau fungsi manfaat ini jika dikaitkan dengan pembelajaran yaitu terbentuknya sikap positif siswa terhadap hal-hal yang dianggap siswa baik dan membentuk sikap negatif terhadap hal-hal yang dianggapnya kurang baik dari pengalaman yang dialaminya selama belajar. Fungsi pertahanan ego yaitu merupakan suatu perlindungan yang melindungi individu ketika mendapatkan atau merasakan sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan atau mengancam egonya. Jika dikaitkan dengan pembelajaran fungsi pertahanan ego ini berfungsi pada saat siswa mempertahankan pendapatnya akan suatu hal yang berkaitan dengan pengetahuan. Fungsi pernyataan nilai merupakan suatu keinginan individu untuk memperoleh pengakuan terhadap suatu nilai yang dianutnya. Kaitannya dengan pembelajaran yaitu ketika siswa ingin mendapatkan pengakuan dari teman sekelasnya terhadap sesuatu yang ia miliki. Fungsi pengetahuan yaitu merupakan sebuah keinginan individu dalam mengekspresikan rasa ingin tahunya akan suatu hal yang berkaitan dengan pengalamn belajar. Fungsi sikap ini dalam pembelajaran yaitu adanya keinginan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran dengan terlihatnya rasa ingin tahu siswa terhadap suatu pembelajaran. 2. Pengertian Percaya Diri Sikap yang ingin ditingkatkan dalam penelitian ini yaitu sikap percaya diri. Sikap percaya diri ini merupakan salah satu sikap yang diharapkan muncul dalam setelah siswa melakukan proses pembelajaran dengan kurikulum 2013. Terdapat beberapa pengertian percaya diri, di antaranya: Percaya diri (Self Confidence) adalah meyakinkan pada kemampuan dan penilaian (judgement) diri sendiri dalam melakukan tugas dan memilih pendekatan yang efektif. http://ooowh.blogspot.com/2012/02/pengertian-percaya-diri-cara-membangun.html?m=1 Menurut Naylil Moena (2011, h. 54) sikap percaya diri adalah sikap yang sangat mendukung seseorang agar memiliki kepribadian yang positif. Orang yang mampu menumbuhkan rasa percaya diri sesuai dengan porsinya akan berani melakukan banyak hal, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan kualitas kepribadian kemanusiaannya. Berdasarkan dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sikap percaya diri merupakan kemampuan yang sangat mendukung seseorang untuk memiliki kepribadian yang positif. Adanya kepribadian positif ini tentu saja tidak terbentuk dengan sendirinya. Akan tetapi dengan adanya pengalaman-pengalaman seseorang khususnya dalam belajar yang menyebabkan sikap itu terbentuk. Seperti halnya dalam pembelajaran kurikulum 2013 yang lebih menonjolkan ranah afektif sebelum ranah kognitif. Artinya pembentukan sikap dianggap begitu penting. Tentu saja sikap positif yang lebih utama dibiasakan dalam pembelajaran di sekolah. Dikarenakan dengan adanya sikap akan terbentuknya karakter dan kepribadian seseorang. Menurut Rahmat Mr. Power (Moena, 2011, h. 55-57), seorang motivator psikologis, ada beberapa langkah yang bisa menjadikan seseorang mampu menumbuhkan rasa percaya diri dalam dirinya. Pertama, menjadikan dirinya fleksibel atau lentur dalam bersikap. Kedua, membangun pola pikir percaya diri dalam diri. Ketiga, menjaga rasa percaya diri secara konsisten. Sikap percaya diri terbentuk tidak begitu saja tetapi melalui beberapa proses. Seperti halnya yang disebutkan di atas, bahwa terdapat beberapa langkah yang bisa menjadikan sseorang mampu menumbuhkan rasa percaya diri dalam dirinya. Langkah pertama yaitu menjadikan dirinya fleksibel atau lentur dalam bersikap. Artinya seorang individu harus siap dan membuka pikirannya lebar-lebar untuk menerima perubahan yang hadir pada dirinya yang berkaitan dengan pembentukan sikap percaya diri. Langkah kedua yaitu membangun pola pikir percaya diri dalam diri. Adapun dalam langkah kedua ini cara menerima berbagai masukan yang berkaitan dengan sikap positif yang nantinya dirancang sedemikian mungkin sehingga terbentuk sebuah pola pikir percaya diri. Dalam langkah ini mungkin saja tidak hanya sikap positif yang didapatkan seorang individu. Tetapi tidak dipungkiri sikap negatifpun akan masuk dengan adanya pengaruh dari lingkungan sekitar. Ada baiknya seorang individu lebih pandai lagi memilah sikap mana yang benar-benar layak diterima dan dikembangkan oleh dirinya. Langkah terakhir yaitu menjaga rasa percaya diri secara konsisten. Artinya ketika percaya diri sudah dapat dikembangkan, maka yang harus dilakukan seorang individu yaitu tetap konsisten terhadap sikap percaya diri yang sudah ia dapatkan. Hal ini berarti seorang individu yang sudah percaya diri harus mampu melindungi sikap yang dimilikinya dari pengaruh sikap-sikap negatif yang muncul karena adanya pengaruh dari lingkungan sekitar. Seorang individu harus tetap fokus pada sikap positif yang sudah dibentuknya. Menurut Dorothy Rich terdapat nilai (values), kemampuan (abilities) dan mesin dalam tubuh (inner engines) yang dapat dipelajari oleh anak dan berperanan amat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah dan di masa mendatang. Hal ini ia percaya dapat dipelajari dan diajarkan oleh orangtua maupun sekolah yang dinamakannya Mega skills, meliputi: 1) Percaya diri (confidence), 2) Motivasi (motivation), 3) Usaha (effort), 4) Tanggung jawab (responsibility), 5) Inisiatif (initiative), 6) Kemauan kuat (perseverence), 7) Kasih sayang (caring), 8) Kerjasama (team work), 9) Berpikir logis (common sense), 10) Kemampuan pemecahan masalah (problem solving), serta 11) Berkonsentrasi pada tujuan (focus) (Elmubarok, 2009, h. 109). Berdasarkan pendapat di atas dapat dilihat percaya diri merupakan salah satu kemampuan yang berperan sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah dan di masa mendatang. Artinya jika sikap percaya diri sudah tertanam sejak pendidikan sekolah dasar, maka akan menentukan kesuksesan di masa yang akan datang. Sehingga jelas mengapa dalam kurikulum 2013 lebih mengutamakan pendidikan dari segi afektif atau sikap dibandingkan kognitif atau pengetahuan. E. Prestasi Belajar 1. Pengertian Prestasi Belajar Proses pembelajaran di sekolah salah satunya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa. Prestasi belajar yang didapatkan siswa merupakan hasil belajar yang diperoleh siswa selama proses pembelajaran. Adapun pengertian prestasi belajar yaitu: Menurut M. Syah, “Prestasi belajar adalah perubahan tingkah laku yang dianggap penting yang diharapkan dapat mencerminkan perubahan yang terjadi sebagai hasil belajar siswa, baik yang berdimensi cipta, dan rasa maupun yang berdimensi karsa”(Yarni, 2011, h. 6). Prestasi belajar ini sangat penting untuk melihat sejauh mana kemampuan yang diperoleh siswa sebagai hasil belajar siswa yang diperoleh setelah pembelajaran berlangsung. Berkaitan dengan hasil belajar, adapun pengertian hasil belajar yaitu: Menurut Nana Syaodih (2005, h. 103) hasil belajar atau achievement merupakan realisasi atau pemekaran dari kecakapan-kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki seseorang. Penguasaan hasil belajar oleh seseorang dapat dilihat dari perilakunya, baik perilaku dalam bentuk penguasaan pengetahuan, keterampilan berfikir maupun keterampilan motorik. Hampir sebagian terbesar dari kegiatan atau perilaku yang diperlihatkan seseorang merupakan hasil belajar. Di sekolah hasil belajar ini dapat dilihat dari penguasaan siswa kan mata-mata pelajaran yang ditempuhnya. Hasil belajar siswa tidak hanya dilihat dari ranah kognitifnya saja akan tetapi dari ranah afektif dan psikomotornya juga. Hasil belajar yang diperoleh siswa di sekolah merupakan hasil belajar yang dapat diukur. Artinya meningkat atau turunnya hasil belajar siswa di sekolah terlihat dari nilai yang diperolehnya. 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Prestasi belajar diperoleh siswa dari adanya usaha dan keinginannya untuk belajar. Namun terkadang prestasi belajar ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun sebuah pendapat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar yaitu: Menurut Slameto dan Suryabrata secara garis besarnya faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar dapat dikelompokkan atas faktor internal dan faktor eksternal. Adapun faktor internal yaitu faktor yang menyangkut seluruh pribadi termasuk kondisi fisik maupun mental atau psikis. Faktor internal ini sering disebut faktor instrinsik yang meliputi kondisi fisiologi dan kondisi psikologis yang mencakup minat, kecerdasan, bakat, motivasi, dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang bersumber dari luar diri individu yang bersangkutan. Faktor ini sering disebut dengan faktor ekstrinsik yang meliputi se
Item Type: | Thesis (Skripsi(S1)) |
---|---|
Subjects: | S1-Skripsi |
Divisions: | Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan > PGSD 2014 |
Depositing User: | Iyas - |
Date Deposited: | 23 Jul 2016 16:52 |
Last Modified: | 23 Jul 2016 16:52 |
URI: | http://repository.unpas.ac.id/id/eprint/5946 |
Actions (login required)
View Item |