PENERAPAN METODE ROLE PLAYING UNTUK MENINGKATKAN KEAKTIFAN DAN HASIL BELAJAR IPS PADA MATERI MENGHARGAI JASA DAN PERANAN TOKOH DALAM MEMPROKLAMASIKAN KEMERDEKAAN

HENI SUNAENI, 105060013 (2016) PENERAPAN METODE ROLE PLAYING UNTUK MENINGKATKAN KEAKTIFAN DAN HASIL BELAJAR IPS PADA MATERI MENGHARGAI JASA DAN PERANAN TOKOH DALAM MEMPROKLAMASIKAN KEMERDEKAAN. Skripsi(S1) thesis, FKIP UNPAS.

[img] Text
COVER SKRIPSI.docx

Download (50kB)
[img] Text
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI.docx

Download (17kB)
[img] Text
SURAT PERNYATAAN ASLI SKRIPSI.doc

Download (30kB)
[img] Text
ABSTRAK.docx

Download (18kB)
[img] Text
KATA PENGANTAR.docx

Download (16kB)
[img] Text
UCAPAN TERIMAKASIH.docx

Download (21kB)
[img] Text
DAFTAR ISI.docx

Download (24kB)
[img] Text
BAB I-V.docx

Download (274kB)
[img] Text
BAB V.doc
Restricted to Repository staff only

Download (44kB)
[img] Text
DAFTAR PUSTAKA.docx

Download (26kB)

Abstract

ABSTRAK Berdasarkan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berfikir kritis peserta didik dalam metode Role Playing dalam pembelajaran IPS pada topik permasalah sosial di daerahnya. Penelitian tindakan kelas dilaksanakan di kelas V SD Negeri Singawada II Kecamatan Rajagaluh Kabupaten Majalengka. Penelitian ini dilatar belakangi dengan keadaan peserta didik kelas V yang tidak kritis didalam pembelajaran dikarenakan guru sering menggunakan ceramah konvesional, sedangkan dengan model-model pembelajaran lain khusunya metode Role Playing belum pernah dilaksanakan. Penelitian tindakan kelas dilaksanakan dalam 3 siklus yang tiap siklusya terdiri dari 4 tahap perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Dalam setiap pembelajaran peneliti menerangkan metode pembelajaran Role Playing yang terdiri dari pembentukan kelompok, kemudian masing-masing kelompok diberikan makalah yang harus dipelajari untuk memerankan perannya di depan kelas. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa lembar tes hasil belajar yang terdiri dari dan brupa angket responden peserta didik. pre tes dan postes, lembar observasi, lembar wawancara, angket respon peserta didik, dan juga lembar kerja kelompok. Pengolahan data dan pengumpulan data berdasarkan dari data yang didapatkan pada instrument tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran IPS melalui metode Role Playing (bermain peran) ternyata dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar peserta didik dibandingkan dengan kegiatan pembelajaran sebelum dilaksanakannya penelitian tindakan kelas. Setelah diadakan penelitian tindakan kelas dengan menggunakan metode pembelajaran Role Playing (bermain peran) ada peningkatan yang baik. Siklus I sebesar 29,62%, siklus II sebesar 48,27% dan siklus III 80,00%. Nilai rata-rata yang didapat mengalami peningkatan dari siklus I sebesar 47 (kurang), siklus II sebesar 58 (cukup baik), dan siklus III sebesar 81 (Baik). Kata Kunci : Metode Role Playing (Bermain Peran). Hasil belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang berintikan interaksi antara peserta didik dengan para pendidik serta berbagai sumber pendidikan. Interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber-sumber pendidikan tersebut dapat berlangsung dalam situasi pergaulan (pendidikan), pengajaran, latihan serta bimbingan. Pendidikan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemajuan suatu bangsa yang ada di dunia ini dapat kita lihat bagaimana mereka bisa menghargai, mengembangkan dan mengedepankan sektor ini. Pendidikan merupakan hal yang tidak bisa hilang selama kehidupan manusia masih ada. Pendidikan pada dasarnya sudah ada sejak manusia ada di bumi ini. Pendidikan merupakan proses terus menerus, tidak berhenti. Dengan semakin berkembangnya peradaban manusia, maka masalah dunia pendidikan semakin kompleks, termasuk dalam masalah tujuan pendidikan. Hal ini sesuai dengan perkembangan zaman. Pendidikan IPS sebagai salah satu program studi yang dikembangkan secara kurikuler di persekolahan menjadi salah satu alat fungsional dalam menjembatani proses pencapaian tujuan. Pendidikan yang harus diperhatikan terlebih dahulu adalah pendidikan pada tingkat dasar, karena pada tingkat pendidikan ini dituntut untuk menanamkan konsep yang kuat pada setiap mata pelajaran kepada siswa (Nurdiansyah, 2009:1) Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2005, pasal 1 tentang Standar Nasional Pendidikan ditegaskan: 1. Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi; 3. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang; 4. Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencangkup sikap, pengetahuan dan keterampilan. Dalam peraturan pemerinatahan Nomor 28 Tahun 1990, ayat 1 tentang Pendidikan Dasar ditegaskan : Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan secara pribadi, serta secara bersama-sama dengan masyarakat, warga negara, dan umat manusia lain, serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah. Undang-undang Republik Indonesia nomor 14 Tahun 2005, pasal 1 tentang Guru dan Dosen ditegaskan: 1. Guru adalah pendidik profesional yang mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. 2. Dosen adalah pendidikan profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Pendidikan memegang peranan yang amat penting untuk menjamin kelangsungan suatu Negara terutama dalam pembangunan. Menurut Sudjana (2001) upaya pengembangan pendidikan dalam laju pembangunan merupakan suatu keharusan karena pendidikan perlu mengembangkan dirinya untuk lebih berperan sebagai pendidikan yang mengembangkan SDM dan tatanan kehidupan. Pendidikan yang merupakan hasil budaya masyarakat dan bangsa terus berkembang untuk mencari bentuknya yang paling cocok sesuai dengan perubahan dinamis yang terjadi sebagai perkembangan IPTEK, perubahan-perubahan nilai budaya, dan meningkatnya tuntutan masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup dalam laju pembangunan. Pengembangan pendidikan merupakan bukti adanya daya tanggap pendidikan terhadap peluang dan tantangan yang timbul dari dalam maupun luar system pendidikan itu sendiri. Pelajaraan IPS termasuk kelompok mata pelajaraan ilmu pengetahuan dan Teknologi (PP no. 19. 2005 pasal 7 ayat (3) pasal 70 ayat (2) dan (4), selalu berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Perubahan apa yang terjadi dalam pelajaraan IPS sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia. Dengan perubahan yang terjadi tersebut, berubah pula kurikulum IPS sehingga menyebabkan perubahan pula terhadap jumlah dan isi mata pelajaran IPS tersebut. Hamid Hasan (1988) mengemukakan bahwa konsep kurikulum dapat ditinjau dari empat dimensi yaitu, (1) kurikulum sebagai suatu ide, (2) kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, (3) kurikulum sebagai suatu kegiatan, (4) Kurikulum sebagai suatu hasil. Di dalam proses belajar mengajar, guru harus memiliki strategi, agar siswa dapat belajar secara efektif dan efisien, mengenai pada tujuan yang diharapkan. Salah satu langkah untuk memiliki strategi itu ialah harus menguasai teknik-teknik penyajian, atau biasa disebut metode mengajar. Metode pembelajaran adalah suatu cara atau upaya yang dilakukan oleh para pendidik agar proses belajar-mengajar pada siswa tercapai sesuai dengan tujuan. Metode pembelajaran ini sangat penting di lakukan agar proses belajar mengajar tersebut nampak menyenangkan dan tidak membuat para siswa tersebut suntuk, dan juga para siswa tersebut dapat menangkap ilmu dari tenaga pendidik tersebut dengan mudah. Metode mempunyai andil yang cukup besar dalam kegiatan belajar mengajar. Kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh anak didik, akan ditentukan oleh kerelevansian penggunaan suatu metode yang sesuai dengan tujuan. Itu berarti tujuan pembelajaran akan dapat dicapai dengan penggunaan metode yang tepat, sesuai dengan standar keberhasilan yang terpatri di dalam suatu tujuan. Sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam keaktifan dan hasil belajar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil pencapaian siswa kurang maksimal dan harus diadakan perbaikan dengan suatu metode pembelajaran yang tepat dan menyenangkan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa. Untuk mengatasi permasalahan ini penulis mengajukan suatu tindakan untuk menerapkan metode Role Playing untuk meningkatkan keaktifan, motivasi dan hasil belajar siswa. Proses Role Playing ini memberi contoh kehidupan yang berguna bagi siswa yang berpengaruh pada sikap, nilai dan prestasinya. Dari penjelasan tersebut dapat dijelaskan bahwa penggunaan metode Role Playing penyerapan suatu materi oleh siswa sebesar 90%, dan hal tersebut tentunya membawa dampak positif bagi siswa dalam proses pembelajaran. Siswa akan lebih aktif berekspresi dalam memerankan peran dan ikut terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, guru sebagai pengembang kurikulum dan ujung tombak pelaksanaan pendidikan di lapangan, dituntut memiliki kecakapan dasar profesional kependidikan. Kehandalan guru dalam mengemban tugas profesional kependidikan khususnya dalam program pendidikan IPS, akan menentukan proses dan hasil pembelajaran yang menjadi tujuan mulai dari merencanakan, mengelola dan menilai hingga merefleksi hasil yang dicapai dalam suatu proses berkelanjutan untuk kepentingan perbaikan yang diharapkan sehingga pembelajaran lebih bermakna. Permasalahn yang terdapat di sekolah SD Negeri Singawada II yang akan menjadi tempat penelitian, guru masih menggunakan metode pembelajaraan klasik yaitu ceramah dimana pembelajaraan berpusat pada guru sehingga tidak ada keaktifan dari siswa. Dengan demikian siswa merasa bosan dan cenderung berperilaku yang tidak terkendali seperti mengobrol dengan teman sebangkunya, bermain-main pada saat guru menerangkan. Dengan keadaan kelas seperti itu sulit bagi guru untuk mencapai keberhasilan dalam proses belajar mengajar. Sehingga mempengaruhi keaktifan dan hasil belajar siswa yang relatif rendah dan tidak mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Di SD Negeri Singawada II kelas V pada mata pelajaraan IPS KKM yang ditentukan adalah 6,8 dari 30 siswa masih beberapa siswa yang mendapatkan nilai dibawah KKM. Oleh karena itu, keberhasilan dalam proses belajar mengajar salah satunya dipengaruhi oleh kemampuan guru dalam menggunakan strategi, metode dan teknik belajar serta kurang variatifnya guru dalam mengguakan metode-metode pembelajaraan tersebut yang sesuai dengan materi yang akan disampaikan oleh guru ketika proses belajar mengajar berlangsung. Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk menerapkan metode Role Playing ini untuk meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa pada pembelajaraan IPS di kelas V SD Negeri Singawada II Kecamatan Rajagaluh Kabupaten Majalengka, dengan mengadakan penelitian dengan judul “PENERAPAN METODE ROLE PLAYING UNTUK MENINGKATKAN KEAKTIFAN DAN HASIL BELAJAR IPS PADA MATERI MENGHARGAI JASA DAN PERANAN TOKOH DALAM MEMPROKLAMASIKAN KEMERDEKAAN” (Penelitian Tindakan Kelas Pada Siswa Kelas V SD Negeri Singawada II Kecamatan Rajagaluh Kabupaten Majalengka) B. Identifikasi Masalah Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti pada saat kegiatan pembelajaran dalam mata pelajaran IPS, maka masalah yang ditemukan sebagai berikut : 1. Siswa kurang aktif dalam proses pembelajaran 2. Metode yang digunakan oleh guru di kelas hanya ceramah 3. Guru kurang memberikan motivasi belajar kepada siswa 4. Hasil belajar siswa tidak sesuai dengan pencapaian kompetensi yang ditentukan. C. Rumusann dan Batasanan Masalah 1. Rumusan Masalah Sebagaimana yang telah diuraikan dalam identifikasi masalah di atas, bahwa dalam suatu pembelajaran itu selain diharuskan adanya model pembelajaran agar tujuan dari pembelajaran itu dapat tercapai. Adapun permasalahan yang telah dirumuskan adalah sebagai berikut: a. Bagaimana perencanaan penerapan metode pembelajaraan Role Playing dalam pembelajaraan IPS pada materi menghargai jasa dan peranan tokoh dalam memproklamasikan kemerdekaan agar keaktifan dan hasil belajar siswa kelas V SD Negeri Singawada II meningkat? b. Bagaimana pelaksanaan penerapan metode Role Playing dalam pembelajaran IPS pada materi menghargai jasa dan peranan tokoh dalam memproklamasikan kemerdekaan agar keaktifan dan hasil belajar siswa kelas V SD Negeri Singawada II meningkat? c. Bagaiamana peningkatan hasil belajar siswa kelas V SD Negeri Singawada II dalam pembelajaran IPS pada materi menghargai jasa dan peranan tokoh dalam memproklamasikan kemerdekaan setelah menggunakan metode Role Playing? 2. Batasan Masalah Berdasarkan rumusan masalah di atas maka penulis dapat membatasi masalah sebagai berikut: “ Apakah penggunaan metode Role Playing dalam pembelajaraan IPS pada materi menghargai jasa dan peranan tokoh dalam memproklamasikan kemerdekaan dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa di kelas V SD Negeri Singawada II Kecamatan Rajagaluh Kabupaten Majalengka.” D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan diatas, secara umum tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui sejauh mana penerapan metode pembelajaran Role Playing dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa kelas V SD Negeri Singawada II Kecamatan Rajagaluh Kabupaten Majalengka dalam pembelajaran IPS pada materi menghargai jasa dan peranan tokoh dalam memproklamasikan kemerdekaan. 2. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus yang akan dicapai meliputi: a. Untuk penerapan metode pembelajaraan Role Playing dalam pembelajaraan IPS pada materi menghargai jasa dan peranan tokoh dalam memproklamasikan kemerdekaan agar keaktifan dan hasil belajar siswa kelas V SD Negeri Singawada II meningkat? b. Untuk meningkatkan keaktifan siswa kelas V SD Negeri Singawada II dalam pembelajaraan IPS pada materi menghargai jasa dan peranan tokoh dalam memproklamasikan kemerdekaan dengan menggunakan Role Playing? c. Untuk meningkatan hasil belajar siswa kelas V SD Negeri Singawada II dalam pembelajaraan IPS pada materi menghargai jasa dan peranan tokoh dalam memproklamasikan kemerdekaan dengan menggunakan Role Playing? E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang pendidikan. Terutama dalam meningkatkan pembelajaran yang kreatif untuk membangkitkan keaktifan dan hasil belajar siswa sekolah dasar dengan menggunakan model pembelajaran yang sesuai dengan pembelajaran dan karakteristik peserta didik di sekolah dasar. 2. Manfaat Praktis a. Manfaat Bagi siswa 1) Dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap pembelajaran IPS terutama pada materi menghargai jasa dan peranan tokoh dalam memproklamasikan kemerdekaan. 2) Dapat membuat siswa aktif dalam proses pembelajaran dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berekspresi memerankan tokoh. 3) Dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam memahami materi menghargai jasa dan peranan tokoh dalam memproklamasikan kemerdekaan dengan menggunakan metode Role Playing b. Manfaaat Bagi guru 1) Dapat dijadikan acuan dalam menyusun rencana dan melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan teknik yang sesuai dan dapat memberikan wawasan baru dalam upaya meningkatkan kreatifitas dalam mengajar. 2) Dapat meningkatkan keterampilan guru pada dalam mengelola kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode Role Playing c. Manfaat Bagi Sekolah 1) Sebagai rujukan dalam mengambil sebuah keputusan dalam peraturan sekolah dan meningkatkan fungsi sekolah sebagai tempat untuk pendidikan. 2) Sebagai referensi baru tentang teknik pembelajaran yang dapat diterapkan guna meningkatkan kualitas pembelajaraan IPS d. Manfaat Bagi Peneliti Untuk menambah pengetahuan sebagai bekal dalam dunia pendidikan terutama disekolah dasar dan untuk mengetahui fakta-fakta yang terjadi di dunia pendidikan terutama sekolah dasar. e. Manfaat Bagi PGSD Memberikan bahan pertimbangan dalam pengembangan kegiatan belajar mengajar IPS pada mahasiswa. F. Definisi Operasional 1. Meningkatkan Kata meningkatkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata kerja dengan arti menaikan derajat, taraf, dan sebagainya. Sedangkan menurut Moedjiono seperti yang dikutip Sawiwati, peningkatan adalah sebuah cara atau usaha yag dilakukan untuk mendapat keterampilan atau kemampuan yang lebih baik. Berdasarkan kedua pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam makna kata “meningkatkan” tersirat adanya unsur proses yang bertahap, dari tahap terendah, tahap menengah, dan tahap akhir atau tahap puncak. Sedangkan “meningkatkan” yang penulis maksudkan dalam penelitian ini adalah meningkatkan hasil belajar siswa yang mendapat nilai rendah, ditingkatkan agar hasil belajarnya lebih tinggi atau memuaskan dengan cara meningkatkan keterampilan belajarnya. Wahyono-Saputro.blogspot.com/2011/06/skripsiupaya-guru meningkatkan_21.html?m=1 (di akses tanggal 5 Mei 2014 pukul 19.33) 2. Keaktifan a. Pengertian Keaktifan Secara harfiah keaktifan berasal dari kata aktif yang berarti sibuk, giat (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 17). Aktif mendapat awalan ke- dan –an, sehingga menjadi keaktifan yang mempunyai arti kegiatan atau kesibukan. Jadi, keaktifan belajar adalah kegiatan atau kesibukan peserta didik. Dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah maupun di luar sekolah yang menunjang keberhasilan belajar siswa. Keaktifan tersebut tidak hanya keaktifan jasmani saja, melainkan juga keaktifan rohani. Menurut Sriyono, dkk (1992: 75) keaktifan jasmani dan rohani yang dilakukan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar adalah sebagai berikut: 1) Keaktifan indera; pendengaran, penglihatan, peraba, dan sebagainya. Peserta didik harus dirangsang agar dapat menggunakan alat inderanya sebaik mungkin. Mendikte dan menyuruh mereka menulis sepanjang jam pelajaran akan menjemukan. Demikian pula dengan menerangkan terus tanpa menulis sesuatu di papan tulis. Maka pergantian dari membaca ke menulis, menulis ke menerangkan dan seterunya akan lebih menarik dan menyenangkan 2) Keaktifan akal; akal peserta didik harus aktif atau dikatifkan untuk memecahkan masalah, menimbang, menyusun pendapat dan mengambil keputusan. 3) Keaktifan ingatan; pada saat proses belajar mengajar peserta didik harus aktif menerima bahan pelajaran yang disampaikan oleh guru, dan menyimpannya dalam otak. Kemudian pada suatu saat ia siap dan mampu mengutarakan kembali. 4) Keaktifan emosi dalam hal ini peserta didik hendaklah senantiasa berusaha mencintai pelajarannya, karena dengan mencintai pelajarannya akan menambah hasil belajar peserta didik itu sendiri. Sebenarnya semua proses belajar mengajar peserta didik mengandung unsur keaktifan, tetapi antara peserta didik yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Oleh karena itu, peserta didik harus berpartisipasi aktif secara fisik dan mental dalam kegiatan belajar mengajar. Keaktifan peserta didik dalam proses belajar merupakan upaya peserta didik dalam memperoleh pengalaman belajar, yang mana keaktifan belajar peserta didik dapat ditempuh dengan upaya kegaiatan belajar kelompok maupun belajar secara perseorangan. b. Jenis-Jenis Keaktifan Belajar Perbuatan belajar merupakan perbuatan yang sangat kompleks dan proses yang berlangsung pada otak manusia. Dengan melakukan perbuatan belajar tersebut peserta didik akan menjadi aktif di dalam kegaiatn belajar. Jenis-jenis keaktifan belajar siswa dalam proses belajar sangat beragam. Curiculum Guiding Commite of the Winsconsin Cooperative Educational Program dalam Oemar Hamalik (2009: 20-21) tersedia dalam kutipan http://literaturkti.blogspot.com/2012/09/pengertian-hasil-belajar.html (di akses pada hari selasa tanggal 18 Maret 2014 pukul 10.00 wib). mengklasifikasikan aktivitas peserta didik dalam proses belajar menjadi: 1) Kegiatan penyelidikan: membaca, berwawancara, mendengarkan radio, menonton film, dan alat-alat AVA lainnya; 2) Kegiatan penyajian: laporan, panel and round table discussion, mempertunjukkan visual aid, membuat grafik dan chart; 3) Kegiatan latihan mekanik: digunakan bila kelompok menemui kesulitan sehingga perlu diadakan ulangan dan latiha; 4) Kegiatan apresiasi: mendengarkan musik, membaca, menyaksikan gambar; 5) Kegiatan observasi dan mendengarkan: bentuk alat-alat dari murid sebagai alat bantu belajar; 6) Kegiatan ekspresi kreatif: pekerjaan tangan, menggambar, menulis, bercerita, bermain, membuat sajak, bernyanyi, dan bermain musik, 7) Bekerja dalam kelompok: latihan dalam tata kerja demokratis, pembagian kerja antara kelompok dalam melaksanakan rencana, 8) Percobaan: belajar mencobakan cara-cara menegrjakan sesuatu, kerja laboratorium dengan menekankan perlengkapan yang dapat dibuat oleh peserta didik di samping perlengkapan yang telah tersedia, 9) Kegiatan mengorganisasi dan menilai: diskriminasi, menyeleksi, mengatur dan menilai pekerjaan yang dikerjakan oleh mereka sendiri. Lebih lanjut, Mohammad Ali tersedia dalam kutipan http://literaturkti.blogspot.com/2012/09/pengertian-hasil-belajar.html (di akses pada hari selasa tanggal 18 Maret 2014 pukul 10.00 wib). membagi jenis keaktifan siswa dalam proses belajar ada delapan aktivitas, yaitu: mendengar, melihat, mencium, merasa, meraba, mengolah ide, menyatakan ide, dan melakukan latihan. Secara sederhana kedelapan aktivitas tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Mendengar, dalam proses belajar yang sangat menonjol adalah mendengar dan melihat. Apa yang kita dengar dapat menimbulkan tanggapan dalam ingatan-ingatan, yang turut dalam membentuk jiwa sesorang. 2. Melihat, peserta didik dapat menyerap dan belajar 83% dari penglihatannya. Melihat berhubungan dengan penginderaan terhadap objek nyata, seperti peraga atau demonstrasi. Untuk meningkatkan keaktifan peserta didik dalam belajar melalui proses mendengar dan melihat, sering digunakan alat bantu dengar dan pandang, atau yang sering di kenal dengan istilah alat peraga. 3. Mencium, sebenarnya penginderaan dalam proses belajar bukan hanya mendengar dan melihat, tetapi meliputi penciuman. Seseorang dapat memahami perbedaan objek melalui bau yang dapat dicium. 4. Merasa, yang dapat memberi kesan sebagai dasar terjadinya berbagai bentuk perubahan bentuk tingkah laku bisa juga dirasakan dari benda yang dikecap. 5. Meraba, untuk melengkapi penginderaan, meraba dapat dilakukan untuk membedakan suatu benda dengan yang lainnya. 6. Mengolah ide, dalam mengolah ide peserta didik melakukan proses berpikir atau proses kognisi. Dari keterangan yang disampaikan kepadanya, baik secara lisan maupun secara tulisan, serta dari proses penginderaan yang lain yang kemudian peserta didik mempersepsi dan menanggapinya. Berdasarkan tanggapannya, dimungkinkan terbentuk pengetahuan, pemahaman, kemampuan menerapkan prinsip atau konsep, kemampuan menganalisis, menarik kesimpulan dan menilai. Inilah bentuk-bentuk perubahan tingkah laku kognitif yang dapat dicapai dalam proses belajar mengajar. 7. Menyatakan ide, tercapainya kemampuan melakukan proses berpikir yang kompleks ditunjang oleh kegiatan belajar melalui pernyataan atau mengekspresikan ide. Ekspresi ide ini dapat diwujudkan melalui kegiatan diskusi, melakukan eksperimen, atau melalui proses penemuan melalui kegiatan semacam itu, taraf kemmapuan kognitif yang dicapai lebih baik dan lebih tinggi dibandingkan dengan hanya sekedar melakukan penginderaan, apalagi penginderaan yang dilakukan hanya sekedar mendengar semata-mata. 8. Melakukan latihan, bentuk tingkah laku yang sepatutnya dapat dicapai melalui proses belajar, di samping tingkah laku kognitif, tingkah laku afektif (sikap) dan tingkah laku psikomotorik (keterampilan). Untuk meningkatkan keterampilan tersebut memerlukan latihan-latihan tertentu. Oleh karena itu kegiatan proses belajar yang tujuannya untuk membentuk tingkah laku psikomotorik dapat dicapai dengan melalui latihan-latihan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis kegiatan keaktifan peserta didik dalam proses belajar dapat dikelompokkan menjadi keaktifan jasmani dan keaktifan rohani, di mana bentuk dari kedua jenis keaktifan tersebut sangat beragam, diantaranya adalah: keaktifan panca indera, akal, ingatan, dan emosional. c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kekatifan Belajar Belajar merupakan aktifitas yang berlangsung melalui proses, tentunya tidak terlepas dari pengaruh baik dari dalam individu yang mengalaminya. Keaktifan belajar peserta didik dalam proses kadang-kadang berjalan lancar, kadang-kadang tidak, kadang-kadang dapat cepat menangkap apa yang dipelajari, dan kadang-kadang terasa amat sulit. Berjalannya proses belajar mengajar tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor yang sangat berpengaruh terhadap keaktifan belajar peserta didik. Muhibbin Syah (2012: 146) tersedia dalam kutipan http://literaturkti.blogspot.com/2012/09/pengertian-hasil-belajar.html (di akses pada hari selasa tanggal 18 Maret 2014 pukul 10.00 wib). mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi keaktifan belajar peserta didik dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu faktor internal (faktor dari dalam peserta didik), faktor eksternal (faktor dari luar peserta didik), dan faktor pendekatan belajar (approach to learning). Secara sederhana faktor-faktor yang mempengaruhi keaktifan belajar peserta didik tersebut dapat diuraiakan sebagai berikut: 1. Faktor internal peserta didik, merupakan faktor yang berasal dari dalam diri peserta didik itu sendiri, yang meliputi: a. aspek fisiologis, yaitu kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas peserta didik dalam mengikuti pelajaran. b. aspek psikologis, belajar pada hakikatnya adalah proses psikologis. Oleh karena itu, semua keadaan dan fungsi psikologis tentu saja mempengaruhi belajar seseorang. Adapun faktor psikologis peserta didik yang mempengaruhi keaktifan belajarnya adalah sbegai berikut: (1) inteligensi, tingkat kecerdasan atau inteligensi (IQ) peserta didik tidak dapat diragukan lagi dalam menentukan keaktifan dan keberhasilan belajar peserta didik. Ini bermakna bahwa semakin tinggi tingkat inteligensinya maka semakin besar peluangnya untuk meraih sukses, begitu juga sebaliknya; (2) sikap, adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespon dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif; (3) bakat, adalah potensi atau kecakapan dasar yang dibawa sejak lahir yang berguna untuk mencapai prestasi sampai ke tingkat tertentu sesuai dengan kapasitas masing-masing; (4) minat, adalah kecenderungan atau kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu; dan (5) motivasi, adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Jadi motivasi belajar adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar. 2. Faktor eksternal peserta didik, merupakan faktor dari luar siswa yakni kondisi lingkungan di sekitar siswa. Adapaun yang termasuk dari faktor ekstrenal di anataranya adalah: (a) lingkungan sosial, yang meliputi: para guru, para staf administrasi, dan teman-teman sekelas; serta (b) lingkungan non sosial, yang meliputi: gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga peserta didik dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan peserta didik. 3. Faktor pendekatan belajar, merupakan segala cara atau strategi yang digunakan peserta didik dalam menunjang keefektifan dan efisiensi proses pembelajaran materi tertentu. Hal yang sama dikemukakan oleh Abu Ahmadi (2008: 78) tersedia dalam kutipan http://Abu-Ahmadi.blogeulum.blogspot.com/2013/02/keaktifan-belajar-siswa.html (di akses pada hari rabu tanggal 26 Maret 2014 pukul 09.30 wib) bahwa faktor yang mempengaruhi keaktifan belajar peserta didik diklasifikasikan menjadi dua macam, yakni: (1) faktor intern (faktor dari dalam diri manusia itu sendiri) yang meliputi faktor fisiologis dan psikologi; serta (2) faktor ektern (faktor dari luar manusia) yang meliputi faktor sosial dan non sosial. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keaktifan peserta didik dalam proses belajar adalah faktor internal (faktor dari dalam peserta didik) dan faktor eksternal (faktor dari luar peserta didik). http://blogeulum.blogspot.com/2013/02/keaktifan-belajar-siswa.html ( di akses 26 Maret 2014 Pukul 09.30 Wib) 3. Hasil Belajar Menurut Hamalik (2001:159) bahwa hasil belajar menunjukkan kepada prestasi belajar, sedangkan prestasi belajar itu merupakan indikator adanya derajat perubahan tingkah laku siswa. Menurut Nasution (2006:36) tersedia dalam kutipan http://literaturkti.blogspot.com/2012/09/pengertian-hasil-belajar.html (di akses pada hari selasa tanggal 18 Maret 2014 pukul 10.00 wib). hasil belajar adalah hasil dari suatu interaksi tindak belajar mengajar dan biasanya ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan guru. Sedangkan menurut Dimyati dan Mudjiono (2002:36) hasil belajar adalah hasil yang ditunjukkan dari suatu interaksi tindak belajar dan biasanya ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan guru. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan hasil yang diperoleh siswa setelah terjadinya proses pembelajaran yang ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan oleh guru setiap selesai memberikan materi pelajaran pada satu pokok bahasan. http://literaturkti.blogspot.com/2012/09/pengertian-hasil-belajar.html (di akses 18 Maret 2014 Pukul 10.00 Wib) BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Belajar dan Strategi Pembelajaran 1. Pengertian Belajar Menurur Burton, dalam bukunya “The Guidance of Learning avtivities”, merumuskan pengertian belajar sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya sehingga mereka mampu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam buku Educational Psychology, H.C. Witherington, mengemukakan bahwa belajar adalah suatu perubahan di dalam keperibadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari reaksi berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, keperibadian, atau suatu pengertian. (Aunurahman, 2011:35). Skiner dalam Dimayati dan Mudjiono (2006:9) berpandangan bahwa belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang belajar, maka responnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, pada saat ia tidak belajar maka responnya menurun. Dengan demikian bahwa prinsipnya, belajar adalah perubahan dari diri seseorang sehingga menimbulkan perubahan tingkah laku yang berbeda antara sesudah belajar dan sebelum belajar. 2. Pengertian Strategi Pembelajaran Pada mulanya istilah strategi digunakan dalam dunia militer yang diartikan sebagai cara penggunaan seluruh kekuatan militer untuk memenangkan suatu peperangan. Seseorang yang berperan dalam mengatur strategi, untuk memenangkan peperangan sebelum melakukan suatu tindakan, ia akan menimbang bagaimana kekuatan pasukan yang dimilikinya baik dilihat dari kuantitas maupun kualitas; misalnya kemampuan setiap personal, jumlah dan kekuatan persenjataan, motivasi pasukannya, dan lain sebagainya. Selanjutnya ia juga akan mengumpulkan informasi tentang kekuatan lawan, baik jumlah prajuritnya maupun keadaan persenjataannya. Setelah semuanya diketahui, baru kemudian ia akan menyusun tindakan apa yang harus dilakukannya, baik tentang siasat peperangan yang harus dilakukan, taktik dan teknik peperanagn, maupun waktu yang pas untuk melakukan suatu serangan, dan lain sebagainnya. Dengan demikian dalam menyusun strategi perlu memperhitungkan berbagai faktor, baik ke dalam maupun ke luar. Demikian pula halnya seorag pelatih sepak bola, ia akan menentukan strategi yang dianggapnya tepat untuk memenangkan suatu pertandingan setelah ia memahami segala potensi yang dimiliki tim-nya. Apakah ia akan melakukan strategi menyerang dengan pola 2-3-5 misalnya, atau strategi bertahan dengan pola 5-3-2, semuanya sangat tergantung kepada kondisi tim yang dimilikinya serta kekuatan tim lawan. Dari dua ilustrasi tersebut dapat kita simpulkan, bahwa strategi digunakan untuk memperoleh kesuksesan atau keberhasilan dalam mencapai tujuan. Dalam dunia pendidikan, strategi diartikan sebagai a plan, method, or series of activites designed to achieves a particular educational goal (J. R. David, dalam Wina Sanjaya (2006:126). Jadi, dengan demikian strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang di desain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Ada dua hal yang patut kita cermati dari pengertian di atas, Pertama, strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan (rangkaian kegiatan) termasuk penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya/kekuatan dalam pembelajaran. Ini berarti penyusunan suatu strategi baru sampai pada proses penyusunan rencana kerja belum sampai pada tindakan. Kedua, strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu. Artinya, arah dari semua keputusan penyusunan strategi adalah pencapaian tujuan. Dengan demikian penyusunan langkah-langkah pembelajaran, pemanfaatan berbagai fasilitas dan sumber belajar semuanya diarahkan dalam upaya pencapaian tujuan. Oleh sebab itu, sebelum menentukan strategi, perlu dirumuskan tujuan yang jelas yang dapat diukur keberhasilannya, sebab tujuan adalah rohnya dalam implementasi suatu strategi. Keemp 1995 ( dalam Wina Sanjaya, 2006:126) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Senada dengan pendapat di atas, Dick and Carey 1985 ( dalam Wina Sanjaya, 2006:126) juga menyebutkan bahwa “strategi pembelajaran itu adalah suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa”. B. Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar 1. Pengertian IPS Istilah “Ilmu Pengetahuan Sosial “, disingkat IPS, merupakan nama mata pelajaraan di tingkat sekolah dasar dan menengah atau nama program studi di perguruan tinggi yang identik dengan istilah “social studies” dalam kurikulum persekolahan di negara lain, khususnya negara-negara Barat seperti Australia dan Amerika Serikat. Nama “IPS” yang lebih dikenal social studies di negara lain itu merupakan istilah hasil kesepakatan dari para ahli atau pakar kita di Indonesia dalam Seminar Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu, Solo. IPS dalam mata pelajaraan di persekolahan, pertama kali digunakan dalam Kurikulum 1975. Namun, pengertian IPS di tingkat persekolahan itu sendiri mempunyai perbedaan makna, disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan peserta didik khususnya antara IPS untuk Sekolah Dasar (SD) dengan IPS untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan IPS untuk Sekolah Menengah Atas (SMA). Pengertian IPS di persekolahan tersebut ada yang berarti nama mata pelajaran yang berdiri sendiri, ada yang berarti gabungan (integrated) dari sejumlah mata pelajaran atau disiplin ilmu, dan ada yang berarti program pengajaran. Perbedaan ini dapat pula diidentifikasi dari perbedaan pendekatan yang diterapkan pada masing-masing jenjang persekolahan tersebut. Rumusan tentang pengertian IPS telah banyak dikemukakan oleh para ahli IPS atau social studies. Di sekolah-sekolah Amerika pengajaran IPS dikenal dengan social studies. Jadi, istilah IPS merupakan terjemahan social studies. Dengan demikian IPS dapat diartikan dengan “penelaahan atau kajian tentang masyarakat”. Dalam mengkaji masyarakat, guru dapat melakukan kajian dari berbagai perspektif sosial, seperti kajian melalui pengajaran sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, politik-pemerintahan, dan aspek psikologi sosial yang disederhanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Berikut pengertian IPS yang dikemukakan oleh beberapa ahli pendidikan dan IPS di Indonesia, yaitu: 1) Moeljono Cokrodikardjo mengemukakan bahwa IPS adalah perwujudan dari suatu pendekatan interdisipliner dari ilmu sosial. Ia merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmu sosial yakni sosiologi, antropologi budaya, psikologi, sejarah, geokrafi, ekonomi, ilmu politik dan ekologi manusia, yang diformulasikan untuk tujuan instruksional dengan materi dan tujuan yang disederhanakan agar mudah dipelajari. 2) S. Nasution (2002:123) mendefinisikan IPS sebagai pelajaran yang merupakan fusi atau paduan sejumlah mata pelajaran sosial. Dinyatakan bahwa IPS merupakan bagian kurikulum sekolah yang berhubungan dengan peran manusia dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai subjek sejarah, ekonomi, geografi, sosiologi, antropologi, dan psikologi sosial 3) Tim IKIP Surabaya mengemukakan bahwa IPS merupakan bidang studi yang menghormati, mempelajari, mengolah, dan membahas hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah human relationship hingga benar-benar dapat dipahami dan diperoleh pemecahannya. Penyajiannya harus merupakan bentuk yang terpadu dari berbagai ilmu sosial yang telah terpilih, kemudian disederhanakan sesuai dengan kepentingan sekolah-sekolah. 2. Pengertian Pembelajaran IPS Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar yang meliputi guru dan siswa yang saling bertukar informasi. Pembelajaran IPS yang dilaksanakan baik pada pendidikan dasar maupun pada pendidikan tinggi tidak menekankan pada aspek teoritis keilmuannya, tetapi aspek praktis dalam mempelajari, menelaah, mengkaji gejala, dan masalah sosial masyarakat, yang bobot dan keluasannya disesuaikan dengan jenjang pendidikan masing-masing. Kajian tentang masyarakat dalam IPS dapat dilakukan dalam lingkungan yang terbatas, yaitu lingkungan sekitar sekolah atau siswa dan siswi atau dalam lingkungan yang luas, yaitu lingkungan negara lain, baik yang ada di masa sekarang maupun di masa lampau. Dengan demikian siswa dan siswi yang mempelajari IPS dapat menghayati masa sekarang dengan dibekali pengetahuan tentang masa lampau umat manusia. Dalam kegiatan belajar mengajar IPS membahas manusia dengan lingkungannya dari berbagai sudut ilmu sosial pada masa lampau, sekarang, dan masa mendatang, baik pada lingkungan yang dekat maupun lingkungan yang jauh dari siswa dan siswi. Oleh karena itu, guru IPS harus sungguh-sungguh memahami apa dan bagaimana bidang studi IPS itu. Secara mendasar, pembelajaran IPS berkaitan dengan kehidupan manusia yang melibatkan segala tingkah laku dan kebutuhannya. IPS berkaitan dengan cara manusia memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan untuk memenuhi materi, budaya, dan kejiwaannya, memamfaatkan sumber daya yang ada dipermukaan bumi, mengatur kesejahteraan dan pemerintahannya maupun kebutuhan lainnya dalam rangka mempertahankan kehidupan masyarakat manusia. Singkatnya, IPS mempelajari, menelaah, dan mengkaji sistem kehidupan manusia di permukaan bumi ini dalam konteks sosialnya atau manusia sebagai anggota masyarakat. IPS yang juga dikenal dengan nama social studies adalah kajian mengenai manusia dengan segala aspeknya dalam sistem kehidupan bermasyarakat. IPS mengkaji bagaimana hubungan manusia dengan sesamanya di lingkungan sendiri, dengan tetangga yang dekat sampai jauh. IPS juga mengkaji bagaimana manusia bergerak dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, IPS mengkaji tentang keseluruhan kegiatan manusia. Kompleksitas kehidupan yang akan dihadapi siswa nantinya bukan hanya akibat tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi saja, melainkan juga kompleksitas kemajemukan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, IPS mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan dengan manusia dan juga tindakan-tindakan empatik yang melahirkan pengetahuan tersebut. Sebutan Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai mata pelajaran dalam dunia pendidikan dasar dan menengah di negara kita IPS memiliki kekhasan dibandingkan dengan mata pelajaran lain sebagai pendidikan disiplin ilmu, yakni kajian yang bersifat terpadu (integrated), interdisipliner, multidimensional. Karakteristik ini terlihat dari perkembangan IPS sebagai mata pelajaran di sekolah yang cakupan materinya semakin meluas. Dinamika cakupan semacam itu dapat dipahami mengingat semakin kompleks dan rumitnya permasalahan sosial yang memerlukan kajian secara terintegrasi dari berbagai disiplin ilmu sosial, ilmu pengetahuan alam, teknologi, humaniora, lingkungan, bahkan sistem kepercayaan. Dengan cara demikian pula diharapkan pendidikan IPS terhindar dari sifat ketinggalan zaman, di samping keberadaannya yang diharapkan tetap koheren dengan perkembangan sosial yang terjadi. Pusat Kurikulum mendefinisikan Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai integrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum dan budaya. Ilmu Pengetahuan Sosial dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan suatu pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabang-cabang ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum dan budaya (Pusat Kurikulum, 2006: 5). IPS merupakan seperangkat fakta, peristiwa, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan perilaku dan tindakan manusia untuk membangun dirinya, masyarakat, bangsa, dan lingkungannya berdasarkan pengalaman masa lalu yang bisa dimaknai untuk masa kini, dan antisipasi masa akan datang. Peristiwa fakta, konsep dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial merupakan beberapa hal yang menjadi kajian IPS. Urutan kajian itu menunjukan urutan dari bentuk yang paling kongkrit, yaitu dari peristiwa menuju ketingkatan yang abstrak, yaitu konsep peranan peristiwa dan fakta dalam membangun konsep dan generalisasi. Senada dengan hal itu menurut Sapriya pengetahuan IPS hendaknya mencakup fakta, konsep, dan generalisasi. Fakta yang digunakan terjadi dalam kehidupan siswa, sesuai usia siswa, dan tahapan berfikir siswa. Untuk konsep dasar IPS terutama diambil dari disiplin ilmu-ilmu sosial, yang terkait dengan isu-isu sosial dan tema-tema yang diambil secara multidisiplin. Contoh konsep, multikultural, lingkungan, urbanisasi, perdamaian, dan globalisasi. Sedangkan generalisasi yang merupakan ungkapan pernyataan dari dua atau lebih konsep yang saling terkait digunakan proses pengorganisir dan memaknai fakta dan cara hidup bermasyarakat. 3. Ruang Lingkup Kajian IPS Secara mendasar, pembelajaran IPS berkenaan dengan kehidupan manusia yang melibatkan segala tingkah laku dan kebutuhannya. IPS berkenaan dengan cara manusia memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan untuk memenuhi materi, budaya, dan kejiwaannya; memamfaatkan sumber daya yang ada dipermukaan bumi; mengatur kesejahteraan dan pemerintahannya maupun kebutuhan lainnya dalam rangka mempertahankan kehidupan masyarakat manusia. Singkatnya, IPS mempelajari, menelaah, dan mengkaji sistem kehidupan manusia di permukaan bumi ini dalam konteks sosialnya atau manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan pertimbangan bahwa manusia dalam konteks sosial demikian luas, pengajaran IPS pada jenjang pendidikan harus dibatasi sesuai dengan kemampuan peserta didik tiap jenjang, sehingga ruang lingkup pengajaran IPS pada jenjang pendidikan dasar berbeda dengan jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pada jenjang pendidikan dasar, ruang lingkup pengajaran IPS dibatasi sampai pada gejala dan masalah sosial yang dapat dijangkau pada geografi dan sejarah.Terutama gejala dan masalah sosial kehidupan sehari-hari yang ada di lingkungan sekitar peserta didik MI/SD. Sebagaimana telah dikemukakan di depan, bahwa yang dipelajari IPS adalah manusia sebagai anggota masyarakat dalam konteks sosialnya, ruang lingkup kajian IPS meliputi (a) substansi materi ilmu-ilmu sosial yang bersentuhan dengan masyarakat dan (b) gejala, masalah, dan peristiwa sosial tentang kehidupan masyarakat. Kedua lingkup pengajaran IPS ini harus diajarkan secara terpadu karena pengajaran IPS tidak hanya menyajikan materi-materi yang akan memenuhi ingatan peserta didik tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan sendiri sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Oleh karena itu, pengajaran IPS harus menggali materi-materi yang bersumber pada masyarakat. Dengan kata lain, pengajaran IPS yang melupakan masyarakat atau yang tidak berpijak pada kenyataan di dalam masyarakat tidak akan mencapai tujuannya. 4. Tujuan IPS Sama halnya tujuan dalam bidang-bidang yang lain, tujuan pembelajaran IPS bertumpu pada tujuan yang lebih tinggi. Secara hirarki, tujuan pendidikan nasional pada tatanan operasional dijabarkan dalam tujuan institusional tiap jenis dan jenjang pendidikan. Selanjutnya pencapaian tujuan institusional ini secara praktis dijabarkan dalam tujuan kurikuler atau tujuan mata pelajaran pada setiap bidang studi dalam kurikulum, termasuk bidang studi IPS. Sub bahasan ini dibatasi pada uraian tujuan kurikuler bidang studi IPS. Tujuan kurikuler IPS yang harus dicapai sekurang-kurangnya meliputi hal-hal berikut: a. Membekali peserta didik dengan pengetahuan sosial yang berguna dalam kehidupan masyarakat; b. Membekali peserta didik dengan kemapuan mengidentifikasi, menganalisa dan menyusun alternatif pemecahan masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan di masyarakat; c. Membekali peserta didik dengan kemampuan berkomunikasi dengan sesama warga masyarakat dan dengan berbagai bidang keilmuan serta berbagai keahlian; d. Membekali peserta didik dengan kesadaran, sikap mental yang positif, dan keterampilan terhadap lingkungan hidup yang menjadi bagian kehidupannya yang tidak terpisahkan; dan e. Membekali peserta didik dengan kemampuan mengembangkan pengetahuan dan keilmuan IPS sesuai dengan perkembagan kehidupan, perkembangan masyarakat, dan perkembangan ilmu dan teknologi. C. Pembelajaran IPS di SD Banyak hal yang perlu diketahui anak dalam pembelajaran IPS di SD yaitu diantaranya kenampakan alam dan keragaman sosial budaya, pemanfaatan SDA dalam kegiatan ekonomi, keanekaragaman suku bangsa dan peninggalan sejarah serta masaah sosial di lingkungan setempat dan lain-lain. Untuk memudahkan peserta didik dalam proses belajar mengajar, maka materi pembelajaran harus disajikan secara bervariasi agar peserta didik mampu belajar aktif, kreatif, dan mandiri sesuai dengan yang diharapkan juga pembelajaran lebih ditekankan pada kemampuan hidup (general life skil) dan menggali nilai-nilai budi pekerti. Dalam PBM juga guru mampu mengembangkan minat pesera didik dalam mempelajari dan meningkatkan keterampilan bersosialisasi antara pengetahuan dengan kondisi masyarakat yang sedang berkembang di masyarakat. Melalui pembelajaran IPS akan memberikan dampak terhadap kemampuan berfikir dan bernalar peserta didik ke arah yang lebih baik, sehingga proses pembelajaran dapat bermakna. Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran IPS di SD, menuntut kemampuan guru dalam mengembangkan model pembelajaran yang dapat menunjang dan mendorong siswa untuk berfikir logis, sistematis dan kritis yaitu: 1. Berorientasi pada tujuan yang hendak dicapai 2. Mengetahui dan menguasai konten pembelajaran IPS 3. Dalam proses pembelajaran lebih banyak melibatkan siswa untuk lebih aktif berpartisipasi dalam proses belajar 4. Dalam PBM berusaha mencari dan menemukan sendiri dan memecahkan masalah-masalah yang ada dalam masyarakat 5. Banyak menggunakan alat belajar, sumber belajar dan media belajar yang bervariasi selama pembelajaran yang dapat membantu meningkatkan kualitas perolehan siswa. D. Model Pembelajaraan Role Playing 1. Pengertian Model Menurut Joyce, Weil, dan Calhoun dalam kutipan (Warsono, 2013:172). dalam publikasi terakhirnya (2009:24) mendeskripsikan model pembelajaran antara lain “Model pembelajaran adalah suatu deskripsi dari lingkungan pembelajaran, termasuk perilaku kita sebagai guru di mana model itu diterapkan. Model-model semacam ini banyak kegunannya, mulai dari perencanaan pembelajaran dan perencanaan kurikuum sampai perancangan bahan-bahan pembelajaran, termasuk program-program multimedia.” (Warsono, 2013:172) Adapun Richard I. Arends (1997:7) dalam kutipan (Warsono, 2013:172). memberikan makna model pembelajaran sebagai berikut, “The term of teaching models refers to a particular approach to insruction that includes its goals, syntax, environment, anda management system.” Jadi menurut Arends, model pembelajaran mengacu kepada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungannya, dan sistem manajemennya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Eggen dan Kauchak bahwa model pembelajaran memberikan kerangka dan arah bagi guru untuk mengajar. Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas dari pada strategi, metode atau prosedur. Model pengajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi, metode atau prosedur. Ciri-ciri tersebut adalah : (Kardi dan Nur, 2000:9) a. Rasional teoritik logis yang disusun para pencipta atau pengembannya b. Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai) c. Tingkah laku pengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil d. Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai 2. Pengertian Pembelajaraan Role Playing Dalam buku Pembelajaran Kontekstual (Komalasari : 2010) Model Pembelajaran Role Playing adalah suatu tipe Model pembelajaran Pelayanan (Sercvice Learning). Model pembelajaran ini adalah suatu model penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan murid. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan murid dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benada mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal ini bergantung kepada apa yang di perankan. Sedangkan Shaftel, dalam buku yang berjudul “Role Playing for Social Studies”, yang dibahas kembali oleh Sumantri dan Permana (1998/1999) menyarankan 9 langkah penerapan Role Playing di dalam pembelajaran, yaitu: Fase Pertama, membangkitkan semangat keomok, memperkenalkan siswa dengan masalah sehingga mereka mengenalnya sebagai suatu bidang yang harus dipelajari. Fase kedua, pemiliihan peserta dimana guru dan siswa menggambarkan berbagai karakter/bagaimana rasanya, dan apa yang ungkin mereka kemukakan. Fase ketiga, menetukan arena panggung, para pemain peran membuat garis besar skenario, tetapi tidak mempersiapkan dialog khusus. Fase keempat, mempersiapkan pengamat. Fase kelima, pelaksanaan kegiatan. Fase ke enam, berdiskusi dan mengevaluasi, apakah masalahnya penting, dan apakah peserta dan pengamat terlibat secara emosional dan intelektual. Fase ke tujuh, melakukan lagi permainan. Fase ke delapan, dilakukan lagi diskusi dan evaluasi. Fase ke sembilan, berbagai pengalaman dan melakukan generalisasi. Selain itu, Role Playing sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain. Metode Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Adanya metode pembelajaran Role Playing Dalam buku Metode Pembelajaran menurut George Shafel (2008:25) didasarkan pada: pertama, dibuat berdasarkan asumsi bahwa sangatlah mungkin menciptakan analogi otentik kedalam situasi permasalahan kehidupan nyata. Kedua, bahwa bermain peran dapat mendorong siswa mengekspresikan perasaannya dan bahkan melepaskan perasaannya. Ketiga, bahwa proses psikologis melibatkan sikap, niali dan keyakinan (belief) kita serta mengarahkan pada kesadaran melalui keterlibatan spontan yang disertai analisis . model pembelajaran ini dipelopori oleh George Shafel. Metode pembelajaran Role Playing atau bermain peran ini merupakan pembelajaran yang lebih menekankan pada permainan gerak dan siswa biasanya di latih untuk memahami, memperagakan setiap peran – peran yang di perankannya untuk selanjutnya biasanya siswa di tugaskan untuk memberikan penilaian baik kekurangan atau kelebihan dari peran yang dimainkan ataupun juga jalan cerita yang di perankannya. Selain penialaian terhadap peran, penilaaian terhadap jalan cerita dalam Role Playing tersebut biasanya di jadikan bahan refleksi dalam model pembelajaran Role Playing misalnya menentukan apa isi dari cerita tersebut, hikmah yang di dapat dalam ceritanya dan lain- lain. Menurut Miftahul A’la (2011:49) dalam bukunya Quantum Teaching metode pembelajaran Role Playing (bermain peran) adalah merupakan cara penguasaan bahan–bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan yang dimiliki oleh setiap siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankan memerankan sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini umumnya dilakukan lebih dari satu orang, itu bergantung kepada apa yang di perankan. Nama lain dari pembelajaran Role Playing ini adalah Sosiodrama. Sosiodrama (Role Playing) oleh Syaiful (2011:213) berasal dari kata Sosio dan drama. Sosio berarti sosial menunjuk pada objeknya yaitu masyarakat menunjukan pada kegiatan–kegiatan sosial, dan drama berarti mempertunjukan, mempertontonkan atau memperlihatkan. Jadi sosiodrama adalah metode mengajar yang dalam pelaksanaannya peserta didik mendapat tugas dari guru untuk mendramatisasikan suatu situasi sosial yang mengandung suatu problem, agar peserta didik dapat memecahkan suatu masalah yang muncul dari suatu situasi sosial. Sosiodrama dan Role Playing dapat dikatakan sama artinya dan dalam proses pemakaiannya sering disilih gantikan. Sosiodrama pada dasarnya mendramatisasikan tingkah laku dalam hubungannya dengan masalah sosial. Menurut Wina Sanjaya (2006:161) metode Role Playing ini merupakan sebagian dari simulasi yang diarahkan untuk mengkreasikan peristiwa- peristiwa aktual atau kejadian- kejadian yang mungkin muncul pada masa mendatang. Tujuan dari metode pembelajaran bermain peran ini menurut Oemar Hamalik (2001:198) disesuaikan dengan jenis belajar, diantaranya sebagai berikut : 1. Belajar dengan berbuat. Para siswa melakukan peranan tertrentu sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Tujuannya adalah untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan interaktif atau keterampilan-keterampilan reaktif. 2. Belajar melalui peniruan (imitasi). Para siswa pengamat drama menyamakan diri dengan pelaku (aktor) dan tingkah laku mereka. 3. Belajar melalui balikan. Para pengamat mengomentari (menanggapi) perilaku para pemain atau pemegang peeran yang telah ditampilkan. Tujuannya adalah untuk mngembangkan prosedur-prosedur kognitif dan prinsip-prinsip yang mendasari perilaku keterampilan yang telah didramatisasikan. 4. Belajar melalui pemgkajian, penilaian dan pengulangan. Para peserta dapat memperbaiki keterampilan-keterampilan mereka dengan mengulanginya dalam penampilan berikutnya. Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa metode Role Playing adalah cara bermain peran yang ditekankan pada setiap individu dengan berbagai figure penghayatan dan perasaan. Metode Role Playing dapat diterapkan pada mata pelajaraan IPS pokok bahasan peranan tokoh-tokoh ataupun masa-masa kerajaan. Melalui metode Role Playing ini dapat melibatkan tiga aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Aspek kognitif meliputi pemecahan masalah, aspek afektif meliputi sikap, mengembangkan tokoh yang mereka perankan, aspek psikomotor saat melakukan Role Playing 3. Karakteristik, Prinsip, Prosedur dan pola pembelajaran Role Playing Pada (http://ras-eko.blogspot.com) Bermain peran pada prinsipnya merupakan pembelajaran untuk ‘menghadirkan’ peran-peran yang ada dalam dunia nyata ke dalam suatu ‘pertunjukan peran’ di dalam kelas/pertemuan, yang kemudian dijadikan sebagai bahan refleksi agar peserta memberikan penilaian terhadap. Misalnya: menilai keunggulan maupun kelemahan masing-masing peran tersebut, dan kemudian memberikan saran/ alternatif pendapat bagi pengembangan peran-peran tersebut. Pembelajaran ini lebih menekankan terhadap masalah yang diangkat dalam ‘pertunjukan’, dan bukan pada kemampuan pemain dalam melakukan permainan peran. Langkah–langkah atau prosedur dalam pelaksanaan model pembelajaran Role Playing ini adalah : 1. Guru menyusun/menyiapkan skenario yang akan ditampilkan 2. Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario dua hari atau beberapa hari sebelum KBM (kegiatan belajar mengajar) guna mempersiapkan peran yang terdapat dalam skenario tersebut. 3. Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya 5 orang atau sesuai dengan kebutuhan. 4. Memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai dalam materi tersebut. 5. Memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah dipersiapkan sebelumnya. 6. Masing-masing siswa duduk di kelompoknya, masing-masing sambil memperhatikan mengamati skenario yang sedang diperagakan. 7. Setelah selesai dipentaskan, masing-masing siswa diberikan kertas sebagai lembar kerja untuk membahas skenario tersebut. Misalnya menilai peran yang dilakonkan, mencari kelemahan dan kelebihan dari peran tersebut atau pun alur/ jalan ceritanya. 8. Masing-masing kelompok menyampaikan hasil dan kesimpulannya. 9. Guru memberikan kesimpulan secara umum atau menjgevalusi seluruh kegiatan. 10. Evaluasi/ refleksi. 11. Penutup Tahapan pembelajaran Role Playing atau bermain peran seperti yang penulis kutip dari Shaftel dan Shaftel, (dalam E. Mulyasa, 2007) meliputi : 1. Menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik; 2. Memilih peran; 3. Menyusun tahap-tahap peran; 4. Menyiapkan pengamat; 5. Tahap pemeranan; 6. Diskusi dan evaluasi tahap ; 7. Pemeranan ulang; dan 8. Diskusi dan evaluasi tahap ii; dan 9. Membagi pengalaman dan pengambilan keputusan. Berdasarkan tahapan tersebut, terlihat bahwa terdapat dua tahap pemeranan dalam Role Playing. Namun, tahapan ini masih dapat dimodifikasi. Dua diantara kemungkinan modifikasi yang dapat digunakan adalah: 1. Role playing dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil, sehingga untuk sub materi pertama dapat diperankan oleh kelompok pertama, untuk sub materi kedua dapat diperankan oleh kelompok kedua, dan seterusnya. Hal ini berarti Role Playing dengan modifikasi seperti ini, hanya terdapat satu tahapan pemeranan untuk setiap kelompok. 2. Role Playing dilakukan oleh sekelompok pemeran yang telah dibentuk bersama oleh guru dan siswa. Tahapan pemeranan untuk sub-sub materi yang akan dipelajari dapat sepenuhnya diperankan oleh pemeran yang ditunjuk atau satu sub materi diperankan oleh pemeran yang ditunjuk sebagai contoh dan sub materi yang lain diperankan oleh kelompok pemeran yang lain yang telah disusun oleh siswa sendiri. 4. Tujuan dan Manfaat Model Pembelajaraan Role Playing Menurut Zuhaerini (dalam Santoso, 2011), Tujuan model ini digunakan apabila pelajaran dimaksudkan untuk: 1. Menerangkan suatu peristiwa yang di dalamnya menyangkut orang banyak, dan berdasarkan pertimbangan di daktik lebih baik di dramatisasikan dari pada di ceritakan, karena akan lebih jelas dan dapat dihayati oleh anak; 2. Melatih anak-anak agar mereka mampu menyelesaikan masalah-masalah sosial-psikologis; 3. Melatih anak-anak agar mereka dapat bergaul dan memberi kemungkinan bagi pemahaman terhadap orang lain beserta masalahnya. Sementara itu, Davies (dalam Sadali) mengemukakan bahwa penggunaan Role Playing dapat membantu siswa dalam mencapai tujuan-tujuan afektif. Bobby DePorter (Santoso: 2011) mengatakan manfaat yang dapat diambil dari Role Playing adalah: 1. Role Playing dapat memberikan semacam hidden practise yaitu murid tanpa sadar menggunakan ungkapan-ungkapan terhadap materi yang telah dan sedang mereka pelajari; 2. Role Playing melibatkan jumlah murid yang cukup banyak, cocok untuk kelas besar; 3. Role Playing dapat memberikan kepada murid kesenangan karena Role Playing pada dasarnya adalah permainan. Dengan bermain murid akan merasa senang karena bermain adalah dunia siswa. Di sisi lain, Sadali dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ada empat asumsi yang mendasari model mengajar ini yang kedudukannya sejajar dengan model-model mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut ialah: 1), secara implisit bermain peran mendukung suatu situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menekankan dimensi “di sini dan kini” (here and now) sebagai isi pengajaran. 2), bermain peran memberikan kemungkinan kepada para siswa untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya yang tak dapat mereka kenali tanpa bercermin kepada orang lain.3), model ini mengasumsikan bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf kesadaran untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. 4) model mengajar ini mengasumsikan bahwa proses-proses psikologis yang tersembunyi (covert) berupa sikap-sikap nilai-nilai, perasaan-perasaan dan sistem keyakinan dapat diangkat ke taraf kesadaran melalui kombinasi pemeranan secara spontan dan analisisnya. 5. Kelemahan dan Kelebihan Model Pembelajaran Role Playing Setiap metode pembelajaran tidak ada yang sempurna, karena masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihannya tersendiri. Oleh karena itu peran pendidik penting dalam menyesuaikan metode mana yang sesuai untuk di terapkan dalam menyampaikan materi tertentu. Adapun kelemahan dan kelebihan dari metode pembelajaran Role Playing ini diantaranya adalah : Kelebihan Metode Pembelajaran Role Playing: 1. Melibatkan seluruh siswa berpartisipasi, mempunyai kesempatan untuk memajukan kemampuannya dalam bekerja sama. 2. Siswa juga dapat belajar menggunakan bahasa dengan baik dan benar. 3. Siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh. 4. Permainan merupakan penemuan yang mudah dan dapat digunakan dalam situasi dan waktu yang berbeda. 5. Guru dapat mengevaluasi pengalaman siswa melalui pengamatan pada waktu melakukan permainan. 6. Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa. Disamping merupakan pengaman yang menyenangkan yang saling untuk dilupakan. 7. Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias. 8. Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi. 9. Dapat menghayati peristiwa yang berlangsung dengan mudah, dan dapat memetik butir-butir hikmah yang terkandung di dalamnya dengan penghayatan siswa sendiri. 10. Dimungkinkan dapat meningkatkan kemampuan profesional siswa, dan dapat menumbuhkan / membuka kesempatan bagi lapangan kerja. Selain itu menurut Miftahul A’la (2011:93) metode pembelajaran Role Playing selain memiliki kelebihan yaitu melibatkan seluruh siswa dapat berpartisipasi dan mempunyai kesempatan untuk memajukan kemampuannya dalam kerja sama, kelebihan lainnya yaitu guru dapat mengevaluasi pemahaman tiap siswa melalui pengamatan pada waktu melakukan permainan. Permainan merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak. Kelemahan Metode Pembelajaran Role Playing 1. Metode bermain peranan memerlukan waktu yang relatif panjang/banyak. 2. Memerlukan kreativitas dan daya kreasi yang tinggi dari pihak guru maupun murid. Dan ini tidak semua guru memilikinya. 3. Kebanyakan siswa yang ditunjuk sebagai pemeran merasa malu untuk memerlukan suatu adegan tertentu. 4. Apabila pelaksanaan sosiodrama dan bermain peran mengalami kegagalan, bukan saja dapat memberi kesan kurang baik, tetapi sekaligus berarti tujuan pengajaran tidak tercapai. 5. Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui metode ini. 6. Sebagian besar anak yang tidak ikut drama mereka menjadi kurang aktif. 7. Memerlukan tempat yag cukup luas, jika tempat bermain sempit menyebabkan gerak para pemain kurang bebas. 8. Kelas lain sering terganggu oleh suara pemain dan penonton yang kadang-kadang bertepuk tangan. Menurut Syaiful Sagala (2011:214) ada beberapa cara untuk mengatasi kelemahan – kelemahan pada metode pembelajaran sosio drama atau Role Playing ini diantaranya: 1. Guru harus menerangkan kepada siswa, untuk dapat memecahkan masalah hubungan sosial yang aktual ada di masyarakat. 2. Guru harus dapat memilih masalah yang urgent sehingga menarik minat anak. Ia dapat menjelaskan dengan baik dan menarik, sehingga menarik minat anak. 3. Agar siswa memahami peristiwanya maka guru harus bisa menceritakan sambil mengatur adegan pertama. 4. Bobot atau luasnya bahan pelajaran yang akan di dramakan harus sesuai dengan waktu yang tersedia. E. Jasa Dan Peranan Tokoh Di Sekitar Proklamasi Indonesia 1. Perumusan Dasar Negara Untuk membuktikan bahwa Jepang bersungguh-sungguh memperhatikan keinginan bangsa Indonesia untuk merdeka, dibentuklah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dalam bahasa Jepangnya disebut Dokuritsu Junbi Cosakai. BPUPKI diketuai oleh dr. Rajiman Wedyodiningrat, dibantu oleh dua ketua muda yakni Icibangase, seorang Jepang dan R. Surono orang Indonesia. Tugas pokoknya melakukan penyelidikan terhadap usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia. BPUPKI dalam melaksanakan tugasnya telah berhasil mengadakan 2 kali. Sidang itu yang dilakukan pada 2 tahap, yaitu sebagai berikut : b. Sidang Pertama (29 Mei- 1 Juni 1945) Dasar negara merupakan pembahasan pokok dalam sidang pertama ini. Muhammad Yamin, Prof.Dr.Soepomo, dan Ir.Soekarno adalah tokoh Indonesia yang mendapat kesempatan menyampaikan pendapatnya. Pada saat itu, seluruh anggota hanya diminta untuk mendengarkan tentang pandangan umum pembentukan dasar negara. Setelah itu, sidang memasuki masa istirahat selama 1 bulan. Sebelum masa reses itu dilaksanakan, BPUPKI membentuk panitia kecil. Panitia kecil itu diket

Item Type: Thesis (Skripsi(S1))
Subjects: S1-Skripsi
Divisions: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan > PGSD 2014
Depositing User: Iyas -
Date Deposited: 25 Jul 2016 16:00
Last Modified: 25 Jul 2016 16:00
URI: http://repository.unpas.ac.id/id/eprint/6479

Actions (login required)

View Item View Item