PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP KEBERAGAMAN BUDAYA BANGSA PADA PEMBELAJARAN TEMATIK

HANA PRATIWI KUSUMANINGRUM, 105060197 (2016) PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP KEBERAGAMAN BUDAYA BANGSA PADA PEMBELAJARAN TEMATIK. Skripsi(S1) thesis, FKIP UNPAS.

[img] Text
COVER.docx

Download (38kB)
[img] Text
LEMBAR PENGESAHAN.docx

Download (12kB)
[img] Text
MOTTO.docx

Download (38kB)
[img] Text
LEMBAR PERNYATAAN.docx

Download (9kB)
[img] Text
ABSTRAK.docx

Download (13kB)
[img] Text
KATA PENGANTAR OK.docx

Download (40kB)
[img] Text
Ucapan Terimakasih.docx

Download (17kB)
[img] Text
DAFTAR ISI.docx

Download (25kB)
[img] Text
BAB I.docx

Download (33kB)
[img] Text
BAB II..docx

Download (1MB)
[img] Text
BAB III.docx
Restricted to Repository staff only

Download (71kB)
[img] Text
BAB IV..docx
Restricted to Repository staff only

Download (178kB)
[img] Text
BAB V.docx
Restricted to Repository staff only

Download (18kB)
[img] Text
DAFTAR ISI BAB II.docx

Download (17kB)
[img] Text
DAFTAR PUSTAKA.docx

Download (13kB)
[img] Text
BIODATA.docx

Download (43kB)

Abstract

HANA PRATIWI KUSUMANINGRUM 105060197 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa kelas IV pada konsep keberagaman budaya dengan menerapkan model pembelajaran discovery learning di SDN Asmi Bandung. Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Peneliti bekerjasama dengan guru kelas. Peneliti sebagai guru yang melaksanakan kegiatan pembelajaran sedangkan guru kelas sebagai observer. PTK ini terdiri dari dua siklus, setiap siklus dilakukan dalam satu kali pertemuan. Kriteria keberhasilan dalam penelitian ini terbagi ke dalam dua jenis, yaitu keberhasilan proses dan keberhasilan hasil. Keberhasilan proses yaitu jika perencanaan pembelajaran (RPP) dan pelaksanaan pembelajaran mencapai persentase sebesar 80% yaitu sedangkan keberhasilan hasil jika pemahaman keseluruhan siswa mencapai persentase sebesar dari jumlah siswa kelas IV yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM=2,66). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menerapkan model pembelajaran discovery learning pada pembelajaran Tematik dapat meningkat pemahaman konsep keberagaman budaya di kelas IV. Hal ini ditunjukkan dengan hasil peningkatan pemahaman konsep dan hasil afektif pembelajaran pada setiap siklusnya. Peningkatan hasil pemahaman konsep keseluruhan adalah sebagai berikut: Hasil LKK siklus I sebesar 80%, siklus II 100%, Hasil kognitif proses siklus I 71,88%, siklus II 96,88%. Adapun hasil afektif pembelajaran adalah sebagai berikut: siklus I sebesar 72%, siklus II sebesar 94%. Berdasarkan analisis data tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran discovery learning pada pembelajaran Tematik dapat meningkatkan pemahaman konsep keberagaman budaya di kelas IV. Kata Kunci: Model Pembelajaran Discovery Learning, Pembelajaran Tematik, Pemahaman Konsep. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan bagi sebagian besar orang, berarti berusaha membimbing anak untuk menyerupai untuk orang dewasa, sebaliknya Jean Piaget (1896: 1). Pendidikan berarti menghasilkan, mencipta, sekalipun tidak banyak, sekalipun suatu penciptaan dibatasi oleh perbandingan dengan penciptaan yang lain. Menurut Jean Piaget pendidikan sebagai penghubung dua sisi, disatu sisi individu yang sedang tumbuh dan disisi lain nilai sosial, intelektual, dan moral yang menjadi tanggung jawab pendidik untuk mendorong individu tersebut. Menurut UU No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 Butir 1 menyatakan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Sejalan dengan pengertian pendidikan. Sesuai dengan kebijakan perubahan kurikulum, pada saat ini yang diperlukan adalah kurikulum pendidikan yang berbasis karakter, dalam arti kurikulum itu sendiri memiliki karakter, dan sekaligus diorientasikan bagi pembentukan karakter peserta didik. Perbaikan kurikulum merupakan bagian tak terpisahkan dari kurikulum itu sendiri. Bahwa suatu kurikulum yang berlaku harus secara terus-menerus dilakukan peningkatan dengan mengadopsi kebutuhan yang berkembang dalam masyarakat dan kebutuhan peserta didik. Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang berbasis kompetensi sekaligus berbasis karakter, yang dapat membekali peserta didik dengan berbagai sikap dan kemamluan yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tuntutan teknologi. Oleh karena itu, merupakan langkah yang positif ketika pemerintah (Mendikbud) merevitalisasi pendidikan karakter dalam seluruh jenis dan jenjang pendidikan, termasuk dalam pengembangan kurikum 2013. Kurikulum 2013 pada pendidikan karakter, terutama pada tingkat dasar, yang akan menjadi fondasi bagi tingkat berikutnya. Standar proses adalah kriteria mengenai pelaksanaan pembelajaran pada suatu satuan pendidikan untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan. Perubahan-perubahan orientasi perkembangan tuntutan zaman, menghendaki perubahan strategi, model menuntut adanya perubahan sistem pembelajaran. Disesuaikan dengan tuntutan kurikulum 2013. Sesuai dengan peraturan No. 18 1A pedoman umum pembelajaran yang mengatur tentang model pembelajaran yang digunakan pada kurikulum 2013, yaitu: (1) Project Based Learnig; (2) Problem Based Learning; (3) Discovery Learning; (4) Inquiry Learning. Sebelum melaksanakan penerapan model pembelajaran, terlebih dahulu penulis mengidentifikasi adanya suatu masalah. Adapun masalah tersebut antara lain: Pertama, tingkat penguasaan siswa terhadap materi pelajaran sangat rendah; Kedua, guru belum menggunakan alat peraga, padahal materi mendeskripsikan kebudayaan bangsa Ketiga, siswa masih pasif karena dalam proses pembelajaran masih di dominasi dengan metode ceramah; Keempat, siswa kurang dilibatkan langsung dalam proses pembelajaran; Kelima, guru terlalu cepat dalam penyampaian materi mendeskripsikan hubungan antara Keberagaaman Budaya sehingga siswa kurang memahami tentang konsep keberagaman budaya dan keenam, kurangnya bimbingan orang tua. Pemahaman merupakan terjemahan dari istilah understanding yang diartikan sebagai penyerapan arti suatu materi yang dipelajarai. Seorang siswa dapat dikatakan memahami suatu konsep, apabila siswa tersebut dapat menjelaskan kembali mengenai hal-hal yang diajarkan dengan bahasanya sendiri. Pengertian pemahaman menurut Ruseffendi (2006: 221) adalah “memahami sesuatu yang berarti mengerti tentang suatu materi yang diajarkan, kemampuan mengerti pada tahap ini misalnya mampu mengubah informasi ke dalam bentuk pararel yang bermakna, memberikan interprestasi”. Sedangkan pengertian konsep menurut Ruseffendi (2006: 165) adalah “ide abstrak yang memungkinkan kita mengelompokkan benda-benda (objek) ke dalam contoh dan non contoh”. Lebih lanjut Depdiknas (2003: 2) mengungkapkan bahwa Pemahaman konsep merupakan salah satu kecakapan atau kemahiran yang diharapkan dapat tercapai dalam pembelajaran tematik yaitu dengan menunjukkan pemahaman konsep keberagaman budaya yang dipelajarinya, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep secara luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalahan. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa pemahaman konsep adalah salah satu kemahiran atau kemampuan menangkap tentang suatu materi yang diajarkan kedalam bentuk lain yang mudah dipahami, untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah rangkaiana kata, Untuk mengatasi permasalahan dalam pembelajaran tematik dan untuk meningkatkan pemahaman konsep Keberagaman Budaya maka perlu desain pembelajaran yang inovatif melalui penerapan model pembelajaran Discovery Learning untuk meningkatkan pemahaman konsep Keberagaman Budaya secara umum model pembelajaran ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih aktif dalam pembelajaran baik secara kognitif, afektif maupun psikomotorik karena siswa tidak hanya sekedar menerima informasi dari guru tetapi siswa sendiri yang menemukan keberagaman budaya yang merupakan salah satu materi yang terdapat dalam Kurikulum 2013 melalui suatu pengamatan langsung yang dilakukan oleh siswa. Guru hanya ditempatkan sebagai fasilitator yang memberikan arahan yang sudah dipelajari. Meningkatkan pemahaman belajar dengan menggunakan Discovery Learning mudah dihapal, di ingat, dan mudah ditransfer karena siswa mengamati, menemukan, memecahkan dan menyimpulkan sendiri dari apa yang mereka amati. Penulis memilih model pembelajaran Discovery Learning dikarenakan dalam proses pembelajaran banyak siswa yang mengeluh bahwa mereka tidak bisa berkonsentrasi dengan baik sehingga tidak bisa memahami materi yang disampaikan, ada beberapa alasan siswa tidak bisa berkonsentrasi diantaranya: (1) Mengeluh gurunya membosankan, karena setiap hari metode yang digunakan cenderung ceramah. (2) Mengeluh tidak tertarik pada materi pelajaran yang disampaikan, dalam hal tema Indahnya Kebersamaan (3) Mengeluh masalah dalam keluarga. (4) Mengeluh capek dan ngantuk, karena pembelajaran yang monoton. Berdasarkan beberapa keluhan siswa sulit berkonsentrasi tersebut di atas penulis termotivasi untuk bisa memikat para siswa menemukan kembali untuk bisa berkonsentrasi dalam proses pembelajarannya. Yaitu: pertama, dalam proses pembelajaran guru mencoba menghilangkan verbalisme pada siswa dengan cara dalam proses kegiatan belajar guru tidak harus selalu belajar didalam kelas melainkan bisa di halaman sekolah, di lingkungan sekolah disesuaikan dengan materi pelajarannya serta mengupayakan menggunakan alat media pembelajaran yang bisa memikat konsentrasi siswa. Kedua, disaat proses pembelajaran, siswa diberi kesempatan untuk mengungkapkan ide/gagasan dalam pikirannya. Supaya siswa merasa bahwa dalam proses pembelajaran dirinya ikut berperan aktif dan merasakan mendapat suatu perhatian, sehingga siswa dapat berkonsentrasi dalam pembelajaran dan bisa menghilangkan permasalahan yang sedang dirasakan siswa. Ketiga, dalam penyampaian materi pembelajaran guru tidak monoton dalam hal berbicara, perlu dikolaborasikn dengan bahasa sehari-hari atau bisa menggunakan bahasa yang mudah dipahami anak. Dan keempat, dalam proses pembelajaran guru berusaha untuk melayani siswa, diantaranya guru memfasilitasi diri dengan memberikan pujian, dan selalu bersikap ramah serta memberikan suatu kebebasan untuk berkreasi. Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, terlihat bahwa siswa kelas IV SDN Asmi Bandung kurang memahami konsep keberagaman budaya. Pemahaman konsep adalah kemampuan siswa yang berupa penugasan sejumlah materi pelajaran di mana siswa tidak hanya mengetahui mengingat sejumlah konsep yang dipelajari tetapi mampu mengungkapkan kembali dalam bentuk lain yang mudah dimengerti, memberikan interprestasi data, dan mampu mengaplikasikan konsep yang sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Purwanto dalam Gitanisari (2008: 11) mengungkapkan bahwa pemahaman konsep adalah tingkat kemampuan siswa yang mengharapkan siswa mampu memahami konsep, situasi, dan fakta yang diketahui, serta dapat menjelaskan dengan kata-kata sendiri sesuai sesuai denngan pengetahuan yang dimilikinya dengan tidak mengubah artinya. Menurut Suprijono (2011: 25), “Pemahaman konsep yaitu tindakan memahami kategori atau konsep-konsep yang sudah ada sebelumnya”. Sedangkan menurut Bloom dalam Vestari (2009: 16), “Pemahaman konsep adalah kemampuan menangkap pengertian-pengertian seperti mampu mengungkap suatu materi yang disajikan ke dalam bentuk yang lebih dipahami, mampu memberikan interprestasi, dan mampu mengaplikasikannya”. Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep adalah menguasai sesuatu hal dengan pikiran sendiri untuk dapat menjelaskan apa yang telah dipelajari dengan kalimatnya sendiri. Siswa tidak hanya dapat mengingat dan menghafal informasi yang telah diperolehnya saja tetapi dapat memahami informasi tersebut dengan benar. Dengan demikian, pemahaman konsep keberagaman budaya dapat diartikan sebagai kemampuan siswa dalam menguasai konsep-konsep keberagaman budaya sehingga melahirkan produk pengetahuan meliputi, prinsip, hukum, dan teori. Siswa tidak hanya menghapal tetapi juga mampu menggunakan kata-katanya sendiri untuk mengungkapkan konse-konsep dalam pembelajaran tematik. Kilpatrick dalam Dasari (2002: 71) menyatakan bahwa indikator ketercapaian pemahaman konsep, yaitu sebagai berikut: (1) Kemampuan menyatakan ulang konsep yang dipelajari; (2) Kemampuan mengklasifikasi objek-objek berdasarkan dipenuhi atau tidaknya persyaratan yang membentuk konsep tersebut; (3) Kemampuan menerapkan konsep; (4) Kemampuan memberikan contoh dan noncontoh dari konsep yang dipelajari; (5) Kemampuan menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi; (6) Kemampuan mengaitkan berbagai konsep (internal dan eksternal); (7) kemampuan mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup suatu konsep. Berdasarkan pemaparan di atas untuk meningkatkan pemahaman konsep, penulis menggunakan model pembelajaran Discovery Learning. Adapun Keunggulan penggunaan Model Discovery Learning yaitu (1) dapat diterapkan disemua mata pelajaran dan segala jenjang pendidikan. (2) Model pembelajaran Discovery Learning bisa menumbuhkan kegairahan belajar siswa, karena Model Discovery Learning merupakan cara menarik perhatian siswa untuk berkonsentrasi terhadap mata pelajaran yang diterimanya. (3) Model Discovery Learning sangat berdampak positif bagi siswa untuk membiasakan siswa terfokus terhadap suatu permasalahan yang tengah berlangsung, baik permasalahan disekolah dalam hal belajar maupun dalam keidupan di masyarakat dalam hal lingkungan tempat tinggal siswa. (4) Model Discovery Learning melatih pribadi siswa untuk fokus terhadap materi pembelajaran yang tengah mereka hadapi, serta dapat mengesampingkan permasalahan yang ada pada diri anak. Usia siswa di sekolah dasar berkisar 6-12 tahun. Masa ini merupakan masa sekolah. Pada masa ini anak sudah matang untuk sekolah ataupun belajar. Seperti yang dikemukakan Nasution (dalam Sugiarti, 2010: 43) bahwa “usia sekolah adalah masa matang untuk belajar, maupun masa matang untuk sekolah”. Berdasarkan karakateristik tersebut penulis menggunakan Model Discovery Learning karena sesuai dengan karakteristik peserta didik. Menurut pendapat Richard (Djamarah, 2006: 20), “Discovery Learning adalah suatu cara mengajar yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental dimana siswa dibimbing untuk berusaha mensintesis, menemukan, tau menyimpulkan prinsip dasar dari materi yang dipelajari”. Atas dasar latar belakang di atas, maka penulis memandang penting dan perlu untuk mengadakan penelitian dengan judul penerapan Model Discovery Learning untuk meningkatkan pemahaman konsep Kebudayaan Bangsa di Kelas IV SD Negeri Asmi Bandung. B. Identifikasi Masalah Atas dasar latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Sebagian besar siswa belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) Tingkat penguasaan siswa terhadap materi pelajaran rendah. Hal tersebut dikarenakan siswa tidak diajak langsung untuk melakukan pengamatan/ penyelidikan langsung atas obyek materi pembelajaran. 2. Pembelajaran tidak interaktif. Hal tersebut dikarenakan proses pembelajaran berpusat pada guru dan siswa cenderung pasif. 3. Tidak pernah dilakukannya pembelajaran diskusi kelompok. C. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang akan diteliti sebagai berikut: 1. Rumusan Masalah Atas dasar latar belakang dan identifikasi masalah sebagaimana telah diutarakan di atas, maka masalah utama dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Apakah penerapan model Discovery Learning dapat meningkatkan pemahaman konsep Keberagaman Budaya dalam pembelajaran Tematik?” 2. Pertanyaan Penelitian Mengingat rumusan masalah utama sebagaimana telah diutarakan di atas masih terlalu luas sehingga belum secara spesifik menunjukkan batas-batas mana yang harus diteliti, maka rumusan masalah utama tersebut kemudian dirinci dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut: a. Bagaimana prestasi belajar siswa sebelum siswa mengikuti proses pembelajaran dengan menggunakan model Discovery Learning dalam pembelajaran Tematik untuk meningkatakan pemahaman konsep keberagaman budaya? b. Bagaimana respon siswa selama siswa mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model Discovery Learning dalam pembelajaran Tematik untuk meningkatakan pemahaman konsep keberagaman budaya? c. Bagaimana aktivitas belajar dengan menggunakan model Discovery Learning dalam pembelajaran Tematik untuk meningkatakan pemahaman konsep keberagaman budaya? d. Bagaimana aktivitas guru selama guru melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan model Discovery Learning dalam pembelajaran Tematik untuk meningkatakan pemahaman konsep keberagaman budaya? e. Bagaimana prestasi belajar siswa setelah siswa mengikuti proses pembelajaran dengan menggunakan model Discovery Learning dalam pembelajaran Tematik untuk meningkatkan konsep keberagaman budaya? D. Pembatasan Masalah Memperhatikan hasil diidentifikasi masalah, rumusan masalah dan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah diutarakan, diperoleh gambaran dimensi permasalahan yang begitu luas. Namun, menyadari adanya keterbatasan waktu dan kemampuan, maka dalam penelitian ini penulis memandang perlu memberi batasan masalah secara jelas sebagai berikut: 1. Dari beberapa tema dan subtema yang ada pada pembelajaran tematik, dalam penelitian ini hanya mengkaji atau menelaah pembelajaran tema 1 Indahnya Kebersamaan dan Sub Tema 1 Keberagaman Budaya Bangsaku. 2. Penelitian ini menggunakan model pembelajaran Discovery Learning. 3. Rendahnya pemahaman konsep siswa pada pembelajaran tematik. 4. Obyek dalam penelitian ini hanya meneliti pada siswa SD kelas IV di SD Negeri Asmi Kecamatan Regol Kabupaten Bandung. E. Tujuan Penelitian Tujuan umum dalam penelitian ini yaitu menerapkan model Discovery Learning pada pembelajaran Tematik untuk meningkatkan pemahaman konsep Keberagaman Budaya. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Memperbaiki Proses Kegiatan Belajar Mengajar pada pembelajaran Tematik. 2. Melaksanakan pembelajaran dengan menerapkan model Discovery Learning pada pembelajaran Tematik. 3. Meningkatkan Pemahaman Konsep Belajar. F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian tindakan kelas ini diharapkan siswa dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi beberapa pihak. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Memberikan wawasan keilmuan terutama dalam model Discovery Learning pada pembelajaran Tematik. Pembelajaran tidak hanya mementingkan hasil belajaranya saja tetapi proses belajarnya. Selain itu, dapat dijadikan referensi ilmiah dengan tujuan untuk mengembangkan model pembelajaran khususnya dalam meningkatkan pemahaman konsep pada pembelajaran Tematik. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Siswa Meningkatkan pemahaman siswa, dapat melatih siswa untuk bekerjasama dan bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan, serta siswa dituntut lebih aktif dalam pembelajaran baik secara kognitif, afektif maupun psikomotorik karena siswa tidak hanya sekedar menerima informasi dari guru tetapi siswa sendiri yang menemukan. b. Bagi Guru Meningkatkan wawasan dan pengetahuan tentang penerapan model mengajar sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu model pembelajaran alternatif dalam rangka meningkatkan kuliatas pembelajaran. c. Bagi Sekolah Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sehingga dapat pula meningkatkan citra sekolah. d. Bagi Peneliti Selanjutnya Dapat digunakan sebagai bahan rujukan yang dapat memberikan manfaat dalam memperkuat landasan teori yang dibutuhkan dalam penelitiannya baik dengan materi yang sama maupun berbeda. G. Kerangka Pemikiran Pada pembelajaran Tematik memiliki beberapa tujuan yang penting. yang salah satunya adalah bertujuan untuk lebih bergairah dalam belajar, karena mereka dapat berkomunikasi dalam situasi yang nyata seperti bertanya, bercerita, menulis sekaligus mempelajari mata pelajaran lainnya dalam satu tema. Dengan kata lain bahwa siswa tidak hanya sekedar hafal mengenai konsep yang diajarkan guru, tetapi siswa lebih dapat mencari tahu dengan sendirinya untuk dapat memecahkan suatu permasalahan dalam konsep pembelajaran tersebut. Menurut pendapat Richard (Djamarah, 2006: 20), “Discovery Learning adalah suatu cara mengajar yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental dimana siswa dibimbing untuk berusaha mensintesis, menemukan, atau menyimpulan prinsip dasar dari materi yang dipelajari”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Sugiarti, 2010: 24) paham berarti mengerti dengan tepat, sedangkan konsep berarti suatu rancangan. Sehingga pemahaman konsep adalah pengertian yang benar tentang suatu rancangan atau ide abstrak. Menurut Suprijono (2011: 25), “Pemahaman konsep yaitu tindakan memahami kategori atau konsep-konsep yang sudah ada sebelumnya”. Sedangkan menurut Bloom dalam Vestari (2009: 16), “Pemahaman konsep adalah kemampuan menangkap pengertian-pengertian seperti mampu mengungkap suatu materi yang disajikan ke dalam bentuk yang lebih dipahami, mampu memberikan interprestasi, dan mampu mengaplikasikannya”. Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep adalah menguasai sesuatu hal dengan pikiran sendiri untuk dapat menjelaskan apa yang telah dipelajari dengan kalimatnya sendiri. Siswa tidak hanya dapat mengingat dan menghafal informasi yang telah diperolehnya saja tetapi dapat memahami informasi tersebut dengan benar. Dengan demikian, pemahaman konsep keberagaman budaya dapat diartikan sebagai kemampuan siswa dalam menguasai konsep-konsep keberagaman budaya sehingga melahirkan produk pengetahuan meliputi, prinsip, hukum, dan teori. Siswa tidak hanya menghapal tetapi juga mampu menggunakan kata-katanya sendiri untuk mengungkapkan konse-konsep dalam pembelajaran tematik. Pemahaman konsep siswa yang maksimal dalam pembelajaran tematik di kelas memerlukan dukungan dari semua komponen yang ada. Oleh karena itu, diterapkan model Discovery Learning sebagai salah satu cara dalam meningkatkan pemahaman konsep siswa. Secara sistematis, dari pemikiran penulis tersebut diatas, maka penulis membuat diagram berikut: Gambar 1.1 Kerangka berpikir Model Pembelajaran Discovery Learning untuk meningkatkan Pemahaman Konsep Siswa pada Tema Indahnya Kebersamaan Subtema Keberagaman Budaya Bangsa H. Asumsi Berdasarkan kerangka atau paradigma penelitian sebagaimana diutarakan di atas, maka beberapa asumsi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Menurut Bruner (Baharudin, 2007: 129) dalam Discovery Learning siswa belajar melalui aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk mempunyai pengalaman-pengalaman tersebut untuk menemukan prinsip-prinsip bagi diri mereka sendiri. Sehingga siswa didorong untuk belajar dengan diri mereka sendiri. b. Menurut Anderson dkk. (2010: 105), siswa dikatakan memahami jika mampu mengkonstruksi makna dari pesan-pesan pembelajaran, baik yang bersifat lisan, tulisan ataupun grafis, yang menghubungkan pengetahuan yang baru diterimanya dengan skema-skema dan kerangka kognitif yang telah ada. I. Hipotesis Berdasarkan kerangka atau paradigma penelitian dan asumsi sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah: “Penerapan model Discovery Learning dapat meningkatkan pemahaman konsep keberagaman budaya pada pembelajatan tematik”. J. Definisi Operasional Definisi operasional adalah definisi yang memberikan penjelasan atas suatu variabel dalam bentuk yang dapat di ukur. Untuk mengatasi ketidak jelasan makna dan perbedaan pemahaman. Mengenai istilan yang digunakan dalam judul penelitian ini, maka istilah tersebut perlu dijelaskan. Definisi operasional dan istilah yang digunakan dalam judul penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Discovery Learning adalah suatu cara mengajar yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental dimana siswa dibimbing untuk berusaha mensintesis, menemukan, atau menyimpulkan prinsip dasar dari materi yang sedang dipelajari. (Djamarah, 2006: 20) b. Pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola utnuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan. (Sagala, 2006: 61) c. Tematik adalah sebagai berkenaan dengan tema dan tema sendiri berarti pokok pikiran, dasar cerita (yang dipercakapan, dipakai sebagai dasar mengarang, mengubah sajak, dan sebagainya). (Menurut Kamus Besar Indonesia) d. Pemahaman konsep adalah kemampuan siswa yang berupa penugasan sejumlah materi pelajaran, dimana siswa tidak sekedar mengetahui atau mengingat sejumlah konsep yang dipelajari, tetapi mampu mengungkapkan kembali dalam bentuk lain yang mudah dimengerti, memberikan interprestasi dan mampu mengaplikasi konsep yang sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya. (Patria, 2007: 21) BAB II KAJIAN TEORI A. Hakikat Belajar dan Pembelajaran 1. Pengertian Konsep Belajar Belajar merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan dengan tujuan dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit (tersembunyi). Teori-teori yang dikembangkan dalam komponen ini meliputi antara lain teori tentang tujuan pendidikan, orginisasi kurikulum, isi kurikulum, dan modul-modul pengembangan kurikulum. Kegiatan atau tingkah laku belajar terdiri dari kegiatan psikhis dan fisis yang saling bekerjasama secara terpadu dan komprehensif integral. Sejalan dengan itu, belajar dapat difahami sebagai berusaha atau berlatih supaya mendapat suatu kepandaian. Dalam implementasinya, belajar adalah kegiatan individu memperoleh pengetahuan, perilaku dan keterampilan dengan cara mengolah bahan belajar. para ahli psikologi dan guru-guru pada umumnya memandang belajar sebagai kelakuan yang berubah, pandangan ini memisahkan pengertian yang tegas antara pengertian proses belajar dengan kegiatan yang semata-mata bersifat hafalan. Untuk menangkap isi dan pesan belajar, maka dalam belajar tersebut individu menggunakan kemampuan pada ranah-ranah: (a) kognitif yaitu kemampuan yang berkenaan dengan pengetahuan, penalaran atau pikiran terdiri dari kategori pengetahuan, pemahaman, penerapan, analysis, sintesis dan evaluasi; (b) afektif yaitu kemampuan yang mengutamakan perasaan, emosi, dan reaksi-reaksi yang berbeda dengan penalaran yang terdiri dari kategori penerimaan, partisipasi, penilaian/penentuan sikap, organisasi, dan pembentukan pola hidup; dan (c) psikomotorik yaitu kemampuan yang mengutamakan keterampilan jasmani terdiri dari persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, penyesuian pola gerakan, dan kreatifitas. Orang dapat mengamati tingkah laku orang telah belajar setelah membandingkan sebelum belajar. Akibat belajar dari ketiga ranah ini akan makin bertambah baik. Arthur T. Jersild menyatakan bahwa belajar “modification of behavior through experience and training yaitu perubahan atau membawa akibat perubahan tingkah laku dalam pendidikan karena pengalaman dan latihan atau karena mengalami latihan”. Perhatian utama dalam belajar adalah perilaku verbal dari manusia, yaitu kemampuan manusia untuk menangkap informasi mengenai ilmu pengetahuan yang diterimanya dalam belajar, untuk lebih memahami pengertian belajar berikut ini dikemukakan secara ringkas pengertian dan makna belajar menurut pandangan para ahli pendidikan dan psikologi. a. Belajar Menurut Pandangan Skinner Belajar menurut pandangan Skinner (Majid, 2013: 119) adalah “suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progressif”. Belajar juga dipahami sebagai suatu perilaku, pada saat orang belajar, maka responsnya menjadi lebih baik. Sebaliknya bila ia tidak belajar, maka responsnya menurun. Jadi belajar ialah suatu perubahan dalam kemungkinan atau peluang terjadinya respons. Seorang anak belajar sungguh-sungguh dengan demikian pada waktu ulangan siswa tersebut dapat menjawab semua soal dengan benar. Atas hasil belajarnya yang baik itu dia mendapatkan nilai yang baik, karena mendapatkan nilai yang baik ini, maka anak akan belajar lebih giat lagi. Nilai tersebut dapat merupakan “operant conditioning” atau penguatan (reinforcement). Menurut Skiner dalam belajar ditemukan hal-hal berikut: “(1) kesempatan terjadinya peristiwa yang menimbulkan respons belajar; (2) respons si pelajar; dan (3) konsekwensi yang bersifat menggunakan respons tersebut, baik konsekwensinya sebagai hadiah maupun teguran atau hukuman”. Dalam menerapkan teori Skinner, guru perlu memperhatikan dua hal yang penting yaitu: “(1) pemilihn stimulus yang diskriminatif; dan (2) penggunaan penguatan. Teori ini menekankan apakah guru akan meminta respons ranah kognitif atau afektif”. b. Belajar Menurut Pandangan Robert M. Gagne Belajar adalah suatu proses yang kompleks, sejalan dengan itu menurut Robert M. Gagne (1970) belajar merupakan kegiatan yang kompleks, dan hasil belajar berupa kapabilitas, timbulnya kapabilitas disebabkan: (1) stimulasi yang berasal dari lingkungan; dan (2) proses kognitif yang dilakukan oleh pelajar. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Dengan demikian dapat ditegaskan, belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sikap stimulasi lingkungan, melewati pengolahan informasi, dan menjadi kapabilitas baru. Belajar terjadi bila ada hasilnya yang dapat diperlihatkan, anak-anak demikian juga orang dewasa dapat membuat kembali kata-kata yang telah pernah didengar atau dipelajarinya. Seseorang dapat mengingat gambar yang pernah dilihatnya, mengingat kata-kata yang baru dipelajarinya, atau mengingat bagaimana cara memecahkan hitungan. Menyatakan kembali apa yang dipelajari lebih sukar daripada sekedar mengenal sesuatu kembali. Gagne (1970) mengemukakan bahwa belajar adalah perubahan yang terjadi salam kemampuan manusia yang terjadi setelah belajar secara terus menerus, bukan hanya disebabkan oleh proses pertumbuhan saja. Menurut Gagne belajar terdiri dari tiga komponen penting yakni kondisi eksternal yaitu stimulus dari lingkungan dalam acara belajar, kondisi internal yang menggambarkan keadaan internal dan proses kognitif siswa, dan hasil belajar yang menggambarkan informasi verbal, keterampilan intelek, keterampilan motorik, sikap, dan siasat kognitif. Menurut Gagne ada tiga tahap dalam belajar yaitu (1) persiapan intuk belajar dengan melakukan tindakan mengarahkan perhatian, pengharapan, dan mendapatkan kembali informasi; (2) pemerolehan dan unjuk perbuatan (performansi) digunakan untuk persepsi selektif, sandi semantik, pembangkitan kembali, respon, dan penguatan; (3) alih belajar yaitu pengisyaratan untuk membangkitkan dan memberlakukan secara umum (Dimyati 1999: 12). Tabel 2.1 Hubugan antara Fase Belajar dan Acara Pembelajaran Pemberian Aspek Belajar Fase Belajar Acara Pembelajaran Persiapan untuk belajar 1. Mengarahkan perhatian 2. Ekspektansi 3. Retrival (informasi dan keterampilan yang relevan untuk memori kerja) Menarik perhatian siswa dengan kejadian yang tidak seperti biasanya, pertanyaan atau perubahan stimulus. Memberitahu siswa mengenai tujuan belajar. Merangsang siswa agar mengingat kembali hasil belajar (apa yang telah dipelajari) sebelumnya. Pemerolehan dan unjuk perbuatan 4. Persepsi selektifatas sifat stimulus 5. Sandi simantik 6. Retrival dan respons 7. Penguatan Menyiapkan stimulus yang jelas sifatnya. Memberikan bimbingan belajar. Memunculkan perbuatan siswa. Memberikan balikan informatif Retrival dan alih belajar 8. Pengisyaratan 9. Pemberlakuan secara umum Menilai perbuatan siswa. Meningkatkan retensi dan alih belajar Adaptasi dari Bell Gredler, 1991: 210, dan Gagne, Briggs Wager, 19988: 182 dalam Dimyati (1996: 13) Robert M. Gagne mengemukakan delapan tipe belajar yang membentuk suatu hierarki dari paling sederhana sampai paling kompleks yakni: (1) belajar tanda-tanda (Signal Learning); (2) belajar hubungan stimulus-respons (Stimulus Response-Learning); (3) belajar menguasai rantai atau rangkaian hal (Chaining Learning); (4) belajar hubungan verbal atau asosiasi verbal (Verbal Association); (5) belajar membedakan atau diskriminasi (Discrimination Learning); (6) belajar konsep-konsep (Concept Learning); (7) belajar aturan atau hukum-hukum (Rule Learning); dan (8) belajar memecahkan masalah (Problem Solving). 2. Makna dan Ciri Belajar Secara singkat dari berbagai pandangan oleh Syamsudin Makmun (2003: 159) dapat dirangkumkan bahwa yang dimaksud dengan perubahan dalam konteks belajar itu dapat bersifat fungsional atau struktural, material, dan behavioral, serta keseluruhan pribadi (Gestalt atau sekurang-kurangnya multidimensional). Pendapat ini sejalan dengan pendapat Hilgard dan Bower (1981) yang mengemukakan bahwa belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang relatif permanen dan yang merupakan hasil proses pembelajaran bukan disebabkan oleh adanya proses kedewasaan. Dalam pengkondisian klasikal proses asasi yang tercakup di dalamnya adalah pengulangan berpasangan yaitu yang dipasangkan dari suatu perangsang yang dikondisioning (yang harus dipelajari), dan satu perangsang yang tidak dikondisionir atau dipersyaratkan (berkenaan dengan penguatan). Untuk memahami konsep belajar lebih mendalam berikut ini dikemukakan pendapat beberapa ahli yang diintrodusir oleh Dimyati dan Mudjiono (1999: 9-16) berikut ini. Tabel 2.2 Ciri-ciri Umum Pendidikan, Belajar, dan Perkembangan Unsur-unsur Pendidikan Belajar Perkembangan 1. Pelaku Guru sebagai pelaku mendidik dan siswa yang terdidik. Siswa yang bertindak belajar atau pelajar. Siswa yang mengalami perubahan. 2. Tujuan Membantu siswa untuk menjadi pribadi yang utuh. Memperoleh hasil belajar dan pengalaman hidup. Memperoleh perubahan mental. 3. Proses Proses interaksi sebagai faktor eksternal belajar. Internal pada diri pembelajar. Internal pada diri pembelajar. 4. Tempat Lembaga pendidikan sekolah dan luar sekolah Sembarang tempat Sembarang tempat 5. Lama waktu Sepanjang hayat dan sesuai jenjang lembaga. Sepanjang hayat Sepanjang hayat 6. Syarat terjadi Guru memiliki kewibawaan pendidikan. Motivasi belajar kuat. Kemauan mengubah diri 7. Ukuran keberhasilan terbentuk pribadi terpelajar. Dapat memecahkan masalah. Terjadinya perubahan positif. 8. Faedah Bagi masyarakat mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagi pebelajar mempertinggi martabat pribadi. Bagi pebelajar memperbaiki kemajuan mental. 9. Hasil Pribadi sebagai pembangun yang produktif dan kreatif. Hasil belajar sebagai dampak pengajaran dan pengiring. Kemajuan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Adaptasi dari Monks, Knokers, Siti Rahayu (1989), Biggs dan Telfer (1987), dan Winkel tahun 1991 dalam Dimyati dan Mudjiono (1999: 8) Dari pembahasan tersebut ditegaskan bahwa siri khas belajar adalah perubahan, yaitu belajar menghasilkan perubahan perilaku dalam diri peserta didik. Belajar mengasilkan perubahan perilaku yang secara relatif tetap dalam berpikir, merasa, dan melakukan pada diri peserta didik. Perubahan tersebut terjadi sebagai hasil latihan, pengalaman, dan pengembangan yang hasilnya tidak dapat diamati secara langsung. 3. Prinsip-prinsip Belajar Ansubel yang dikutif Djadjurin(1980: 9) menyatakan, ada lima prinsip utama belajar yang harus dilaksanakan, yaitu: (1) subsumption, yaitu proses penggabungan ide atau pengalaman baru terhadap pola ide-ide yang telah lalu yang telah dimiliki; (2) organizer, yaitu ide baru yang telah dicoba digabungkan dengan pola ide-ide lama di atas, dicoba diintegrasikan sehingga menjadi suatu kesatuan pengalaman. Dengan prinsip ini dimaksudkan agar pengalaman yang diperoleh itu bukan sederetan pengalaman yang satu dengan yang lainnya terlepas dan hilang kembali; (3) progressive differentiation, yaitu bahwa dalam belajar suatu keseluruhan secara umum harus terlebih dahulu muncul sebelum sampai kepada suatu bagian yang lebih spesifik; (4) concolidation, yaitu sesuatu pelajaran harus terlebih dahulu dikuasai sebelum sampai ke pelajaran berikutnya, jika pelajaran tersebut menjadi dasar atau prasyarat untuk pelajaran berikutnya; (5) integrative reconciliation, yaitu ide atau pelajaran baru yang dipelajari itu harus dihubungkan dengan ide-ide atau pelajaran yang telah dipelajari terdahulu. Prinsip ini hampir sama dengan prinsip sumsumption, hanya dalam prinsip integrative reconciliation menyangkut pelajaran yang lebih luas, umpamanya antara unit pelajaran yang satu dengan yang lainnya. 4. Tujuan Belajar Belajar pada hakekatnya merupakan proses kegiatan secara berkelanjutan dalam rangka perubahan perilaku peserta didik secara konstruktif. Hal ini sejalan dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yang menyatakan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan akhlak mulia, serta ketermpilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa, dan negara. 5. Faktor yang Mempengaruhi Belajar Keberhasilan dalam belajar sangat dipengaruhi oleh berfungsinya secara integratif dari setiap faktor pendukungnya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar, antara lain: (a) Peserta didik dengan sejumlah latar belakangnya, yang mencakup: tingkat kecerdasan (intelligent quoien), bakat (aptitude), sikap (atittude), minat (interest), motivasi (motivation), keyakinan (belirf), kesadaran (consciousness), kedisiplinan (discipline), tanggung jawab (responsibility). (b) Pengajar yang profesional memiliki: kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi personal, kompetensi profesional, kualifikasi pendidikan yang memadai, kesejahteraan yang memadai. (c) Atmosfer pembelajaran partisipatif dan interaksi yang dimanisfestasikan dengan adanya komunikasi timbal balik dan multi arah (multiple communication) secara aktif, kreatif, efektif, inovatif, dan menyenangkan yaitu: komunikasi antara guru dengan peserta didik, komunikasi antara peserta didik dengan peserta didik, komunikasi kontekstual dan integratif antara guru, peserta didik, dan lingkungannya. (d) Sarana prasarana yang menunjang proses pembelajaran, sehingga peserta didik merasa betah dan bergairah (enthuse) untuk belajar, yang mencakup: lahan tanah (antara lain kebun sekolah, halaman, dan lapangan olahraga), bangunan (antara lain ruangan kantor, kelas, laboratorium, perpustakaan, dan ruang aktivitas ekstrakurikuler), dan perlengkapan (antara lain alat tulis kantor, media pembelajaran baik elektronik maupun manual). (e) kurikulum sebagai kerangka dasar atau arahan, khusus mengenai perubahan perilaku (behavior change) peserta didik secara integral baik yang berkaitan dengan kognitif, afektif, maupun psikomotor. (f) lingkungan agama, sosial, budaya, politik, ekonomi, ilmu, dan teknologi, serta lingkungan alam sekitar, yang mendukung terlaksananya proses pembelajaran secara aktif, kreatif, efektif, inovatif, dan menyenangkan. Lingkungan ini merupakan faktor peluang (opportunity) untuk terjadinya belajar kontekstual (contextual learning). (g) atmosfer kepemimpinan pembelajaran yang sehat, partisifatif, demokratis, dan situasional yang dapat membangun kebahagiaan intelektual (intelectual happiness), kebahagiaan emosional (emotional happines), kebahagiaan dalam merekayasa ancaman menjadi peluang (adversity happines), dan kebahagiaan spiritual (spiritual happines). (h) pembiayaan yang memadai, baik biaya rutin (recurrent budget) maupun biaya pembangunan (capital budget) yang datangnya dari pihak pemerintah, orang tua maupun stakeholder lainnya sehingga sekolah mampu melangkah maju dari sebagai pengguna dana (cost) menjadi penggali dana (revenue) 6. Makna Pembelajaran Secara sederhana, istilah pembelajaran (instuction) bemakna sebagai “upaya untuk membelajarkan seseorang atau kelompok orang melalui berbagai upaya (effort) dan berbagai strategi, metode dan pendekatan ke arah pencapaian tujuan yang telah direncanakan”. Pembelajaran dapat pula dipandang sebagai kegiatan guru secara perprogram dalam desain instruksional untuk membuat siswa belajar secara aktif yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Beberapa ahli mengemukakan tentang pengertian pembelajaran, diantaranya: “Pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tigkah laku tertentu. Pembelajaran merupakan subjek khusus dari pendidikan (Corey, 1986)”. “Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, prosedur yang saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan pembeljaran (Oemar Hamalik)”. Sedangkan pembelajaran menurut (Gagne dan Brigga, 1997) adalah “Pembelajaran adalah rangkaian peristiwa (events) yang memengaruhi pembelajaran sehingga proes belajar dapat berlangsung dengan mudah”. Sardiman (2005) dalam bukunya yang berjudul Interaksi dan Motivasi dalam Belajar Mengajar menyebutkan istilah pembelajaran dengan interaksi edukatif. Menurut beliau, yang dianggap interaksi edukatif adalah yang dilakukan secara sadar dan mempunyai tujuan untuk mendidik dalam rangka mengantarkan peserta didik ke arah kedewasaannya. Pembelajaran merupakan proses yang berfungsi membimbing para peserta didik di dalam kehidupannya, perkembangannya yang harus dijalani. Paparan di atas mengilustrasikan bahwa belajar merupakan proses internal siswa, dan pembelajaran merupakan kondisi eksternal belajar. Dari segi guru, belajar merupakan akibat tindakan pembelajaran. Untuk lebih jelas mengenai pembelajaran dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut ini. Tabel 2.3 Konsep dan Sudut Pandang Pembelajaran Konsep Sudut Pandang Belajar (Learning) Mengajar (Teaching) Pembelajaran (Intruction) Peserta didik/Pembelajar Pendidik/Pengajar Interaksi antara peserta didik, pendidik, dan atau media/sumber belajar. 7. Aktivitas Belajar Proses aktivitas pembelajaran harus melibatkan seluruh aspek psikofisis peserta didik, baik jasmani maupun rohani sehingga akselerasi perubahan perilkunya terjadi yang dapat terjadi secara cepat, tepat, mudah, dan benar baik berkaitan dengan aspek kognitif, afektif maupun psikomotor. Dierich yang dikutif Hamalik (1980: 288-209) menyatakan, aktivitas belajar dibagi ke dalam delapan kelompok, yaitu sebagai berikut: (1) kegiatan-kegiatan visual yaitu membaca, melihat gambar-gambar, mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran, dan mengamati orang lain bekeja atau bermain. (2) kegiatan-kegiatan lisan (oral), yaitu mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, berwawancara, diskusi dan interupsi. (3) kegiatan-kegiatan mendengarkan yaitu mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu permainan, atau mendengarkan radio. (4) kegiatan-kegiatan menulis yaitu menulis cerita, menulis laporan, memeriksa karangan, bahan-bahan copy, membuat outline atau rangkuman, dan mengerjakan tes serta mengisi angket. (5) kegiatan-kegiatan menggambar, membuat grafik, chart, diagram, peta, dan pola. (6) kegiatan-kegiatan metrik yaitu melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan, serta menari dan berkebun. B. Model Pembelajaran 1. Pengertian Model Pembelajaran Secara umum istilah “model” diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan. Dalam pengertian lain, model juga diartikan sebagai barang atau benda tiruan dari benda yang sesungguhnya, seperti “globe” yang merupakan model dari bumi tempat kita hidup. Dalam istilah selanjutnya, istilah model digunakan untuk menunjukkan pengertian yang pertama sebagai konseptual. Atas dasar pemikiran tersebut, maka yang dimaksud dengan “model belajar mengajar” adalah kerangka konseptual dan prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pengajaran, serta para guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar. Dengan demikian, aktivitas belajar mengajar benar-benar merupakan kegiatan bertujuan yang tersusun secara sistematis. Model pembelajaran cenderung preskriptif, dan relatif sulit dibedakan dengan strategi pembelajaran. An intructional strategy is a method for delivering instruction that is intended to help students achieve a learning objective (Burden & Byrd, 1999: 85). Model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas dari pada strategi, metode, atau prosedur pembelajaran. Istilah model pembelajaran mempunyai 4 ciri khusus yang tidak dipunyai oleh strategi atau metode pembelajaran, yakni: (a) rasional teoritis logis yang disusun oleh pendidik; (b) tujuan pembelajaran yang akan dicapai; (c) Langkah-langkah mengajar yang diperlukan agar model pembelajaran dapat dilaksanakan secara optimal; (d) lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat dicapai. Dewey dalam Joyce dan Weil (1986) mendefinisikan bahwa: Model pembelajaran sebagai “a plan or pattern that we can use to design face to face teaching in the classroom or tutorial setting and to shapee intructional material” (suatu rencana atau pola yang dapat kita gunakan untuk merancang tatap muka di kelas, atau pembelajaran tambahan di luar kelas dan untuk menajamkan materi pengajaran). Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa: (a) Model pembelajaran merupakan kerangka dasar pembelajaran yang dapat diisi oleh beragam muatan mata pelajaran, sesuai dengan karakteristik kerrangka dasarnya; (b) Model pembelajaran dapat muncul dalam beragam bentuk dan variasinya sesuai dengan landasan filosofis dan pedagogis yang melatar belakanginya. Arends (1997) menyatakan “the term teaching model refers to a particular approach to intruction that includes its goals, syntax, environment, and management system” (istilah model pengajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungan, dan sistem pengelolaannya). Dengan demikian, maka model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas daripada pendekatan, strategi, metode atau prosedur. Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas, atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum,dan lain-lain (Joyce, 1992). Selanjutnya Joyce mengatakan bahwa setiap model pembelajaran mengarah kepada desain pembelajaran untuk membantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang membedakan dengan stragtegi, metode, atau prosedur (Kardi dan Nur, 2000). Ciri-ciri tersebut ialah: (a) Rasional teoretis logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya; (b) Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana peserta didik belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai); (c) Tingkah laku pembelajaran yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil; (d). Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai. 2. Jenis Model Pembelajaran Bruce Joyce dan Marsha Weil dalam Dedi Supriawan dan A.Benyamin Surasega (1990) mengetengahkan 4 (empat) kelompok model pembelajaran, yaitu: 1) model interaksi sosial; 2) model pengolahan informasi; 3) model personal-humanistik; dan 4) model modifikasi tingkah laku. Kendati demikian, sering kali penggunaan istilah model pembelajaran tersebut diidentikkan dengan strategi pembelajaran. Keempat model pembelajaran tersebut dapat dilihat pada uraian berikut: a. Model Interaksi Sosial Model interaksi sosial pada hakikatnya bertolak dari pemikiran pentingnya hubungan pribadi (interpersonal relationship) dan hubungan sosial, atau hubungan individu dengan lingkungan sosialnya. Dalam konteks ini proses belajar pada hakikatnya adalah mengadakan hubungan sosial dalam pengertian peserta didik berinteraksi dengan peserta didik lain dan berinteraksi dengan kelompoknya langkah yang ditempuh guru dalam model ini adalah: (1) guru mengemukakan masalah dalam bentuk situasi sosial sosial kepada peserta didik; (2) peserta didik dengan bimbingan guru menelusuri berbagai macam masalah yang terdapat dalam situassi tersebut; (3) peserta didik diberi tugas atau permasalahan yang berkenaan dengan situasi tersebut untuk dipecahkan, dianalisis, dan dikerjakan; (4) dalam memecahkan masalah belajar tersebut peserta didik diminta untuk mendiskusikannya; (5) peserta didik membuat kesimpulan dari hasil diskusinya; dan (6) membahas kembali hasil-hasil kegiatannya Model interaksi sosial dapat digunakan antara lain dengan menggunakan metode sosiodrama atau bermain peran (role playing). Keterlibatan peserta didik dalam melakukan kegiatan belajar cukup tinggi, terutama dalam bentuk partisipasi dalam kelompoknya, partisipasi ini mengabarkan adanya interaksi sosial diantara sesama peserta didik dalam kelompok tersebut. Oleh karena itu, model interaksi sosial boleh dikatakan berorientasi pada peserta didik dengan mengembangkan sikap demokratis, artinya sesama mereka mampu saling menghargai, meskipun mereka memiliki perbedaan. Penggunaan rumpun model interaksi sosial ini menitiberatkan pada pengembangan kemampuan kerjasama dari peserta didik. Model pembelajaran rumpun interaksi sosial didasarkan pada dua asumsi pokok, yaitu: (1) masalah-masalah sosial diidentifikasi dan dipecahkan atas dasar dan melalui kesepakatan-kesepakatan yang diperoleh di dalam dan dengan menggunakan proses-proses sosial; (b) proses sosial yang demokratis perlu dikembangkan untuk melakukan perbaikan masyarakat dalam arti seluas-luasnya secara build-in dan terus menerus. Dalam rumpun model interaksi sosial ini terdapat 5 model pembelajaran, yaitu: (a) Investigasi kelompok (group investigation); (b) Bermain peran (role playing); (c) Penelitian yurisprudensial ( jurisprudential inquiry); (d) Latihan laboratoris (laboratory training); (e) Penelitian ilmu sosial. b. Model Proses Informasi Teori belajar yang oleh Gagne (1988) disebut dengan Information Processing Learning Theory. Teori ini merupakan gambaran atau model dari kegiatan di dalam otak manusia di saat memproses suatu informasi. Karenanya teori belajar tadi disebut juga Information Processing Model (Model Pemrosesan Informasi) oleh Lefrancois. Menurut Gagne, dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi yang kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi, terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Menurut Gagne, tahapan proses pembelajaran tersebut meliputi delapan fase, yaitu: (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) generalisasi; (6) perlakuan; dan (7) umpan balik. Model-model pembelajaran yang termasuk dalam rumpun ini bertolak dari prinsip-prinsip pengolahan informasi oleh manusia dengan memperbuat dorongan-dorongan internal (datang dari dalam diri) untuk memahami dunia dengan cara menggali dan mengorganisasikan data, merasakan adanya masalah dan mengupayakan jalan keluarnya, serta pengembangan bahasa untuk mengungkapkannya. Kelompok model ini menekankan peserta didik agar memilih kemampuan untuk memproses informasi sehingga peserta didik yang berhasil dalam belajar adalah yang memiliki kemampuan dalam memproses informasi. Dalam rumpun pembelajaran ini terdapat 7 model pembelajaran, yaitu: a. Pencapaian konsep (concept attainment); b. Berpikir induktif (inductive thinking); c. Latihan penelitian (inquiry training); d. Pemandu awal (advance organizer); e. Memorisasi (memorization); f. Pengembangan intelek (developing intelect); g. Penelitian ilmiah (scientic inquiry). c. Model Personal Rumpun model personal bertolak dari pandangan kedirian self-hood dari individu. Proses pendidikan sengaja diusahakan yang memungkinkan seseorang dapat memahami diri sendiri dengan baik, sanggup memikul tanggung jawab untuk pendidikan, dan lebih kreatif untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Penggunaan model-model pembelajaran dalam rumpun personal ini lebih memusatkan perhatian pada pandangan perseorangan dan berusaha menggalakan kemandirian yang produktif sehingga manusia menjadi semakin sadar diri dan bertanggung jawab atas tujuannya. Menurut Carel Roger, manusia dilahirkan dengan potensi menuju/ mengejar kesempurnaan. Jadi pembelajaran merupakan naluri manusia. Bahan pembelajaran yang bermakna dan selaras dengan tujuan pembelajaran akan mendorong peserta didik ikut aktif dalam proses pembelajaran, dan dianggapnya sebagai pembelajaran yang berkesan. Apabila bahan pembelajaran menimbulkan perubahan struktur data atau menjadi ancaman dan kerisauan peserta didik, maka hal ini akan menjadikan sikapnya menentang pembelajaran. Apabila peserta didik mengambil inisiatif dan melibatkan diri sepenuhnya dalam aktivitas pembelajaran, makahasil yang diperoleh akan sangat berkesan. Penilaian yang dilakukan atas dasar pemikiran refleksi peserta didik lebih baik daripada penilaian yang dilakukan oleh orang lain. Dalam rumpun model personal ini terdapat 4 model pembelajaran, yaitu: (1) Pengajaran tanpa arahan (non directive teaching); (2) Model sinektik (synectics model); (3) Latihan kesadaran (awareness training); (4) Pertemuan kelas (classroom meeting) d. Model Sistem Perilaku (behavior) Model behavior menekankan pada perubahan perilaku yang tampak dari pesera didik, sehingga konsisten dengan konsep dirinya. Sebagai bagian dari teori stimulus-respons, model behaviorial menekankan bahwa tugas-tugas yang harus diberikan dalam suatu rangkaian kecil, berurutan, dan mengandung perilaku tertentu. Model ini bertitik tolak dari teori belajar behavioristik, yaitu bertujuan mengembangkan sistem yang efisien untuk mengurutkan tugas-tugas belajar dan membentuk tingkah laku dengan cara memanipulasi penguatan (reinforcement). Model ini lebih menekankan pada aspek perubahan perilaku psikologis dan perilaku yang tidak dapat diamati. Karakteristik model ini adalah penjabaran tugas-tugas yang harus dipelajari peserta didik lebih efisien dan berurutan. Ada empat fase dalam model modifikasi tingkah laku ini, yaitu: (1) Fase mesin pengajaran; (2) Penggunaan media; (3) Pengajaran berprogram (linier dan branching); (4) Operant conditioning dan operant reinforcement. Implementasi dari model modifikasi tingkah laku ini adalah meningkatkan ketelitian pengucapan pada anak: guru selalu perhatian terhadap tingkah laku belajar peserta didik; modifikasi tingkah laku peserta didik yang kemampuan belajarnya rendah dengan reward sebagai reinforcement pendukung; penerapan prinsip pembelajaran individual dalam pembelajaran klasikal. Rumpun model sistem perilaku mementingkan penciptaan sistem lingkungan belajar yang memungkinkan manipulasi penguatan tingkah laku (reinforcement) secara efektif, sehingga terbentuk pola tingkah laku yang dikehendaki. Model ini memusatkan perhatian pada perilaku yang terobsevasi serta metode dan tugas yang diberikan dalam rangka mengkomunikasikan keberhasilan. Dalam rumpun model sistem perilaku ini terdapat 5 model pembelajaran, yaitu: (1) Belajar tuntas (mastery learning); (2) Pembelajaran langsung (direct intruction); c) Belajar kontrol diri (learning self control); (3) Latihan pengembangan keterampilan dan konsep (training for skill and concept development); (4) Latihan assertif (assertive training) 3. Dasar Pertimbangan Pemilihan Model Pembelajaran Sebelum menentukan model pembelajaran yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan guru dalam memilihnya, yaitu: (1) Pertimbangan terhadap tujuan yang hendak dicapai; (2) Pertimbangan yang berhubungan dengan bahan atau materi pembelajaran; (3) Pertimbangan dari sudut pesera didik atau siswa; (4) Pertimbangan lainnya yang bersifat nonteknis. C. Model Pembelajaran Discovery Learning 1. Pengertian Model Pembelajaran Discovery Learning Model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Apabila antara pendekatan, strategi, metode, teknik dan bahkan taktik pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah apa yang disebut dengan model pembelajaran. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Kegiatan belajar-mengajar hendaknya tidak hanya didominasi oleh guru (Teacher Dominated Learning) tetapi harus melibatkan siswa (Student Dominated Learning). Maksudnya pembelajaran harus melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sehingga mereka dapat menemukan sendiri pengetahuan. Pembelajaran seperti ini disebut pembelajaran dengan penemuan Discovery Learning. Richard (Djamarah, 2006: 20) mengemukakan bahwa “Discovery Learning adalah suatu cara mengajar yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental dimana siswa dibimbing untuk berusaha mensintesis, menemukan, atau menyimpulkan prinsip dasar dari materi yang sedang dipelajari”. Menurut Bell (1978) belajar penemuan adalah belajar yang terjadi sebagia hasil dari siswa memanipulasi, membuat struktur dan mentransformasikan informasi sedemikian sehingga ia menemukan informasi baru. Dalam belajar penemuan, siswa dapat membuat perkiraan (conjucture), merumuskan suatu hipotesis dan menemukan kebenaran dengan menggunakan prose induktif atau proses dedukatif, melakukan observasi dan membuat ekstrapolasi. Wilcolx (Nur, 2000) mengatakan bahwa dalam pembelajaran penemuan, siswa didorong untuk belajar aktif melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Dalam Discovery Learning siswa belajar melalui aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk mempunyai pengalaman-pengalaman tersebut untuk menemukan prinsip-prinsip bagi diri mereka sendiri. Sehingga Discovery Learning yaitu “siswa didorong untuk belajar dengan diri mereka sendiri” Bruner (Bharudin, 2007: 129). Sund (Roestiyah, 2008: 20) berpendapat bahwa Discovery Learning adalah “proses mental dimana siswa mengasimilasi suatu konsep atau suatu prinsip”. Yang dimaksud dengan proses mental tersebut antara lain ialah mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya, suatu konsep misalnya: Konsep Energi, sedangkan yang dimaksud dengan prinsip antara lain. Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Discovery Learning merupakan pembelajaran yang memberikan pengalaman langsung kepada siswa melalui praktek atau percobaan sehingga siswa akan menemukan sendiri informasi yang sedang di ajarkan dan dapat menarik suatu kesimpulan dari informasi tersebut. Sehingga pemahaman satu konsep informasi akan bertahan kama dikarenakan siswa yang menemukan sendiri informasi tersebut. Proses pembelajaran dalam Discovery Learning, siswa didorong untuk berfikir sendiri sehingga dapat ”menemukan” prinsip umum berdasarkan bahan atau data yang telah disediakan oleh guru. Siswa dihadapkan pada situasi diman siswa bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan. Guru bertindak sebagai petunjuk jalan, ia membantu siswa agar mempergunakan ide, konsep, dan keterampilan yang sudah mereka pelajari sebelumnya untuk mendapatkan pengetahuan yang baru. Pengajuan pertanyaan yang tepat oleh guru akan merangsang kreativitas siswa dan membantu mereka dalam “menemukan” pengetahuan baru. Pengetahuan yang baru akan melekat lebih lama apabila siswa dilibatkan secara langsung dalam proses pemahaman ‘mengkonstruksi’ sendiri konsep atau pengetahuan tersebut. Pembelajaran Discovery Learning, dapat menantang siswa untuk merasakan terlibat atau berpartisipasi dalam aktivitas pembelajaran. Peranan guru hanyalah sebagai fasilitator dan pembimbing atau pemimpin pengajaran yang demokratis, sehingga diharapkan siswa lebih banyak melakukan kegiatan sendiri atau dalam bentuk kelompok memecahkan masalah atas bimbingan guru. 2. Tahapan Pembelajaran Discovery Learning Menurut Sujana (Djuanda, 2009: 114-115) ada delapan tahapan yang harus ditempuh dalam model Discovery Learning. Secara terperinci pelaksanaan pembelajaran dari kedelapan tahapan tersebut dapat dillihat dari tabel berikut: Tabel 2.4 Tahapan Pembelajaran Discovery Learning No Tahap Kegiatan Guru dan Siswa 1. Tahap 1 (observasi untuk menemukan masalah) Guru menyajikan peristiwa-peristiwa atau fenomena-fenomena yang memungkinkan siswa menemukan masalah. 2. Tahap 2 (merumuskan masalah) Siswa dibimbing untuk merumuskan masalah berdasarkan peristiwa atau fenomena yang disajikan. 3. Tahap 3 (mengajukan hipotesis) Siswa dibimbing untuk merumuskan hipotesis terhadap masalah yang telah dirumuskan 4. Tahap 4 (merencanakan pemecahan masalah melalui percobaan atau cara lain) Siswa dibimbing untuk merencanakan percobaan guna memecahkan masalah serta untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan. 5. Tahap 5 (melaksanakan) Siswa melakukan percobaan dengan bantuan guru. 6. Tahap 6 (melaksanakan pengamatan dan pengumpulan data) Siswa dibantu guru melakukan pengamatan terhadap hal-hal yang terjadi selama percobaan. 7. Tahap 7 (analisis data) Siswa menganalisis data hasil percobaan untuk menemukan konsep dengan bantuan guru. 8. Tahap 8 (menarik kesimpulan atas percobaan yang terlah dilakukan atau penemuan) Siswa menarik kesimpulan berdasarkan data yang diperoleh serta menemukan sendiri konsep menemukan yang ia tanamkan. 3. Peranan Guru dalam Pembelajaran Discovery Learning Dahar (1989) mengemukakan beberapa peranan guru dalam pembelajaran dengan penemuan, yakni sebagai berikut: (a) Merencanakan pelajaran sedemikian rupa sehingga pelajaran itu terpusat pada masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki para siswa; (b) Menyajikan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para siswa untuk memecahkan masalah. Sudah seharusnya materi pelajaran itu dapat mengarah pada pemecahan masalah yang aktif dan belajar penemuan, misalnya dengan menggunakan fakta-fakta yang berlawanan. (c) Guru juga harus memperhatikan cara penyajian yang enaktif, ikonik, dan simbolik; (d) Bila siswa memecahkan masalah di laboratorium atau secara teoritis, guru hendaknya berperan sebagai seorang pembimbing atau tutor. Guru hendaknya jangan mengungkapkan terlebuh dahulu prinsip atau aturan yang akan dipelajari, tetapi ia hendaknya memberikan saran-saran bilamana diperlukan. Sebagai tutor, guru sebaiknya memberikan umpan balik pada waktu yang tepat; (e) Menilai hasil belajar merupakan suatu masalah dalam belajar penemuan. Secara garis besar tujuan belajar penemuan ialah mempelajari generalisasi-generalisasi dengan menemukan generalisai-generalisasi itu. 4. Kelebihan Model Pembelajaran Discovery Learning Berlyne (Amien, 1998) mengatakan bahwa: Belajar penemuan mempunyai beberapa keuntungan, model pembelajaran ini mengacu pada keingintahuan siswa, memotivasi mereka untuk melanjutkan pekerjaannya hingga mereka menemukan jawabannya. Siswa juga belajar memecahkan masalah secara mandiri dan keterampilan berpikir kritis karena mereka harus menganalisis dan menangani informasi. Pembelajaran penemuan dibedakan menjadi dua, yaitu pembelajaran penemuan bebas (free discovery learning) atau disebut open ended discovery dan pembelajaran penemuan terbimbing (guided discovery learning). Keuntungan yang didapatkan siswa dengan belajar menggunakan pendekatan penemuan terbimbing (Carin & Sund, 1989: 95-96) sebagai berikut: (a) Mengembangkan potensi intelektual. Menurut Bruner, throught guided discovery, a student slowly leaner how to organize and crazy out the investigations. Melalui penemuan terbimbing, siswa yang lambat belajar akan menngetahui bagaimana menyusun dan melakukan penyelidikan. Lebih lanjut dikatakan, one ot the greatest payoffs of the guided discovery approach is that it aids better memory retention. Salah satu keuntungan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan penemuan terbimbing adalah materi yang dipelajari lebih lama membekas karena siswa dilibatkan dalam proses menemukannya; (b) Mengubah siswa dari memiliki motivasi dari luar (extrinsic motivation) menjadi motivasi dalm diri sendiri (intrinsic motivation). Penemuan terbimbing membantu siswa untuk lebih mandiri, bisa mengarahkan diri sendiri, dan bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri. Siswa akan memotivasi diri sendiri jika belajar dengan penemuan terbimbing; (c) Siswa akan belajar bagaimana belajar (learning how to learn). Anak-anak dapat dilibatkan secara aktif dengan mendengarkan, berbicara, membaca, melihat, dan berpikir.

Item Type: Thesis (Skripsi(S1))
Subjects: S1-Skripsi
Divisions: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan > PGSD 2014
Depositing User: Iyas -
Date Deposited: 12 Jul 2016 03:29
Last Modified: 12 Jul 2016 03:29
URI: http://repository.unpas.ac.id/id/eprint/5527

Actions (login required)

View Item View Item