PENGGUNAAN MODEL INQUIRI TERBIMBING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA TEMA INDAHNYA KEBERSAMAAN SUBTEMA KEBERSAMAAN DALAM KERAGAMAN

Dewi Anggraeni, 105060023 (2016) PENGGUNAAN MODEL INQUIRI TERBIMBING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA TEMA INDAHNYA KEBERSAMAAN SUBTEMA KEBERSAMAAN DALAM KERAGAMAN. Skripsi(S1) thesis, FKIP UNPAS.

[img] Text
1. COVER DEPAN.docx

Download (178kB)
[img] Text
2. AWAL SKRIPSI.docx

Download (3MB)
[img] Text
3. PEMBUKA SKRIPSI.docx

Download (56kB)
[img] Text
BAB I.docx

Download (74kB)
[img] Text
BAB II.docx

Download (314kB)
[img] Text
BAB III.docx
Restricted to Repository staff only

Download (133kB)
[img] Text
BAB IV.docx
Restricted to Repository staff only

Download (412kB)
[img] Text
BAB V.docx
Restricted to Repository staff only

Download (23kB)
[img] Text
DAFTAR PUSTAKA.docx

Download (27kB)

Abstract

ABSTRAK PENGGUNAAN MODEL INQUIRI TERBIMBING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA TEMA INDAHNYA KEBERSAMAAN SUBTEMA KEBERSAMAAN DALAM KEBERAGAMAN (Penelitian Tindakan Kelas pada Pembelajaran 4 di Kelas IV Sekolah Dasar Negeri Ampel II Kec. Ligung Kab. Majalengka). Oleh Dewi Anggraeni 105060023 Penelitian menggunakan model inquiri terbimbing untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada tema indahnya kebersamaan subtema kebersamaan dalam keberagaman di kelas IV SD Negeri Ampel II dilatarbelakangi dengan siswa kurang termotivasi untuk mengikuti kegiatan pembelajaran, karena siswa merasa jenuh dan bosan untuk mengikuti pembelajaran yang diberikan oleh guru hanyalah metode ceramah dan teori tanpa adanya praktek akibatnya hasil belajar siswa menurun. Hal ini dibuktikan dengan hasil pretest siswa pada siklus I dengan ketuntasan 20,8% dan siklus II dengan ketuntasan 41,6%. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan dalam meningkatkan hasil beajar, aktivitas siswa, serta kreativitas guru dalam mengelola proses pembelajaran yaitu dengan menggunakan model iquiri terbimbing. Penelitian ini menggunakan dua siklus dimana tiap siklusnya terdapat perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi, instrumen yang digunakan untuk mengumpulkn data yaitu lembar observasi, wawancara, angket dan lembar test. Secara keseluruhan hasil penelitian mampu menjawab pertanyaan peneliti dengan menunjukan adanya peningkatan, baik pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran tematik dengan fokus pembelajaran bahasa indonesia dan PPKn, maupun pemahaman belajar siswa. Pembelajaran menggunakan model inquiri terbimbing dapat meningkatkan hasil belajar terhadap materi pembelajaran tematik dengan fokus pembelajaran bahasa indonesia dan PPKn dan sekaligus meningkatkan hasil prestasi belajar siswa. Hasil postest dalam setiap siklus mengalami peningkatan. Ketuntasan belajar siswa pada siklus I dengan presentase 41,6% dan siklus II dengan persentase 91,6%. Dengan demikian, penggunaan model inquiri terbimbing dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada tema indahnya kebersamaan subtema kebersamaan dalam keberagaman. Kata Kunci: Inquiri Terbimbing, Hasil Belajar Siswa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Globalisasi merupakan suatu tatanan kehidupan manusia yang secara khusus memasuki tiga bidang penting dalam kehidupan, yaitu ekonomi, politik dan budaya, yang kemudian menempatkan manusia dan lembaga-lembaganya dalam berbagai tantangan, kesempatan dan peluang. Gelombang globalisasi bidang tersebut akan berdampak terhadap bidang lainnya. Salah satu bidang yang mempunyai dampak besar dari globalisasi adalah bidang pendidikan. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat (1) tentang SISDIKNAS, menjelaskan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam harian kompas yang diunggah di kompas.com, memberikan pendapatnya mengenai pengertian pendidikan. Menurut Mohammad Nuh, “Pendidikan adalah proses panjang dan berkelanjutan untuk mentransformasikan peserta didik menjadi manusia yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu bermanfaat bagi dirinya, bagi sesama, bagi alam semesta, beserta segenap isi dan peradabannya”. http://edukasi.kompas.com/read/2013/03/08/08205286/Kurikulum.2013 Berdasarkan pendapat tersebut, pendidikan diharapkan dapat berperan sebagai berikut: 1) Mempersiapkan siswa untuk memasuki dunia kerja secara layak melalui keterampilan, kepribadian dan pengetahuan yang diperoleh, 2) Mampu berprestasi dalam persaingan global, 3) Bertanggung jawab untuk menghasilkan manusia yang bermartabat dan memiliki harga diri sebagai bangsa, sehingga dapat mensejajarkan diri dengan bangsa lain, 4) Memiliki kemampuan yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, 5) Media perantara yang dapat memunculkan manusia yang memiliki modal intelektual, sosial, dan kredibilitas tinggi terhadap kesejahteraan masyarakat. Undang-undang SISDIKNAS juga memberikan arahan yang jelas dalam memenuhi kebutuhan kompetensi abad ke-21, bahwa tujuan pendidikan harus dicapai salah satunya melalui penerapan kurikulum berbasis kompetensi yang kompetensi lulusannya harus mencakup tiga kompetensi, yakni sikap, pengetahuan, dan keterampilan, sehingga yang dihasilkan adalah manusia seutuhnya. Mengingat pendidikan idealnya merupakan proses sepanjang hayat, maka lulusan atau keluaran dari suatu proses pendidikan tertentu harus dipastikan memiliki kompetensi yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikannya secara mandiri sehingga esensi tujuan pendidikan tercapai. Penyempurnaan kurikulum merupakan upaya pemerintah dalam menghadapi era globalisasi dan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pengertian kurikulum dalam UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 SNP, adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Banyaknya tantangan dalam era globalisasi ini mengharuskan pendidikan lebih tanggap dalam menciptakan siswa yang siap menghadapi tuntutan zaman, sehingga tujuan pendidikan Nasional dapat tercapai dengan baik. UU No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat (2) tentang Sisdiknas menjelaskan, bahwa Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan Nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Pelaksanaan kurikulum selama ini telah menempatkan kurikulum sebagai daftar mata pelajaran. Pendekatan Kurikulum 2013 untuk Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah diubah sesuai dengan kurikulum satuan pendidikan, oleh karena itu dalam Kurikulum 2013 dilakukan penguatan pola pembelajaran menjadi pola pembelajaran terpadu (multidisciplines). Pencapaian kompetensi terpadu menuntut pendekatan pembelajaran tematik ter¬padu, yaitu mempelajari semua mata pelajaran secara terpadu melalui tema-tema kehidupan yang dijumpai siswa sehari-hari. Siswa diajak mengikuti proses pembelajaran transdisipliner yang menem¬patkan kompetensi yang dibelajarkan dikaitkan dengan konteks siswa dan lingkungan. Materi-materi berbagai mata pelajaran dikaitkan satu sama lain sebagai satu kesatuan, membentuk pembelajaran multi¬disipliner dan interdisipliner, agar tidak terjadi ketumpangtindihan dan ketidakselarasan antar materi mata pelajaran. Tujuan Kurikulum 2013 adalah untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Kurikulum 2013 merupakan kurikulum berbasis kompetensi yang di dalamnya dirumuskan secara terpadu kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang harus dikuasai siswa. Kompetensi yang diharapkan dari seorang lulusan SD/MI adalah kemampuan pikir dan tindak yang produktif serta kreatif dalam ranah abstrak dan konkret. Kemampuan berpikir merupakan slah satu kompetensi yang diharapkan dari implementasi kurikulum 2013. Berpikir dapat diartikan suatu proses manipulasi tanggapan-tanggapan yang telah ada dalam diri idividu untuk menanggapi dan memecahkan masalah-masalah baru. Berpikir merupakan proses yang melibatkan akal dan panca indera untuk menghasilkan ide atau pengetahuan baru. Sejumlah keterampilan berpikir banyak berkontribusi dalam pemecahan masalah dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat secara efektif. Piaget berpendapat bahwa: Dimana pun anak seantero dunia ini, akan mengalami empat periode perkembangan berpikir yaitu periode berpikir sensorimotorik (0-2 tahun), periode berpikir preoperasional (2-6 tahun), periode berpikir konkret (6/7-11/12 tahun), dan periode berpikir formal atau abstrak yang berlangsung dari lahir sampai remaja. http://aiiuphiiu07.blogspot.com/2012/11/kemampuan-berpikir.html Anak usia Sekolah Dasar merupakan anak yang berada pada periode berpikir konkret. Anak pada periode ini hanya mampu berpikir dengan logika untuk memecahkan persoalan-persoalan yang sifatnya konkret atau nyata dengan cara mengamati atau melakukan sesuatu yang berkaitan dengan pemecahan persoalan-persoalan itu. Anak hanya mampu menyelesaikan masalah-masalah yang divisualkan, dan sangat sulit bagi anak untuk memahami masalah-masalah yang sifatnya verbal. Proses pertama untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa adalah perlu adanya penguasaan terhadap bagian-bagian yang lebih khusus dari keterampilan berpikir tersebut serta melatihnya di kelas. Menurut Dahlan (2011 dalam Yuliani, 2012 h. 14), beberapa keterampilan berpikir yang harus dikembangkan oleh guru di kelas diantaranya: 1) Mengkaji dan menilai data secara kritis, 2) Merencanakan, 3) merumuskan faktor sebab akibat, 4) Memprediksi dari hasil kegiatan atau peristiwa, 5) Menyarankan apa yang akan ditimbulkan dari suatu peristiwa atau perbuatan, 6) Curah pendapat (brainstoming), 7) Berspekulasi tentang masa depan, 8) Menyarankan berbagai solusi alternatif. Keterampilan berpikir yang diperlukan siswa salah satunya adalah berpikir kritis. Menurut Chance, “Berpikir kritis adalah kemampuan untuk menganalisis fakta, mencetuskan dan menata gagasan, mempertahankan pendapat, membuat perbandingan, menarik kesimpulan, mengevaluasi argumen dan memecahkan masalah”. http://pasca.tp.ac.id/site/pengembangan-kemampuan-berpikir-kritis-dan-kreatif-dalam-pembelajaran Proses pembelajaran saat ini sebagian besar masih berupa kegiatan menambah pengetahuan, kegiatan menghadiri, mendengar, dan mencatat penjelasan guru, serta menjawab secara tertulis soal-soal yang diberikan saat berlangsungnya ujian. Pembelajaran baru diimplementasikan pada tataran proses menyampaikan, memberikan, mentransfer ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuannnya sendiri dengan menggunakan otaknya untuk berpikir. Guru dapat membantu proses ini dengan cara membelajarkan, mendesain informasi menjadi lebih bermakna dan lebih relevan bagi kebutuhan siswa dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide, dan dengan mengajak mereka agar menyadari dan secara sadar menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Permasalahan di kelas saat ini adalah kurangnya keterampilan siswa dalam berpikir kritis. Pembelajaran lebih menekankan kepada belajar informasi dan isi atau materi daripada kemampuan berpikirnya, sehingga saat berhadapan dengan suatu masalah, anak cenderung pasif dan kurang mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan baik. Menumbuhkan keterampilan berpikir kritis pada siswa sekolah dasar memang dimungkinkan, namun tentu saja dengan mempertimbang-kan tahap perkembangannya. Hasil observasi yang dilakukan di SDN Gegerkalong Girang 2 menunjukkan bahwa pada pembelajaran IPA mengenai perubahan wujud benda, siswa kurang dapat berpikir kritis sehingga sulit dalam menyelesaikan masalah mengenai perubahan wujud benda baik secara individu maupun kelompok. Selain itu pada proses pembelajannya hanya 20% siswa yang dapat mengungkapkan gagasannya, sedangkan sebagian besar siswa hanya menerima begitu saja semua materi yang diberikan guru. Siswa juga kurang bersemangat pada pembelajaran Bahasa Indonesia yang mengharuskan siswa menggali informasi mengenai pembelajaran yang akan dipelajari. Hasil wawancara dengan guru kelas, kurangnya motivasi belajar menjadikan siswa malas untuk belajar sehingga proses pembelajaran menjadi terhambat. Menurut Mc.Donald (dalam Suherni, 2009 h. 46), bahwa “Motivasi adalah perubahan dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling dan didahului munculnya tanggapan terhadap suatu tujuan tertentu”. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa motivasi merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai tujuan pembelajaran. Penggunaan model pembelajaran yang konvesional menyebabkan siswa kurang tertarik mengikuti proses pembelajaran. Guru sebagai pelaksana utama pembelajaran harus memahami dan menguasai penerapan model pembelajaran, melakukan perubahan dan melakukan pengembangan keterampilan mengajar. Guru perlu memperhatikan model pembelajaran karena model pembelajaran merupakan kunci terlaksananya proses pembelajaran di kelas. Model pembelajaran dapat dedefinisikan sebagai sebuah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belejar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran, sehingga aktivitas pembelajaran benar-benar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematis. Pemilihan model pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran dan karakteristik setiap kompetensi dasar yang disajikan. Tidak semua model pembelajarn cocok untuk setiap kompetensi dasar. Guru harus memilih dan menentukan model pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan, potensi, minat, bakat, dan kebutuhan siswa yang beragam agar terjadi interaksi optimal antara guru dengan siswa, serta antara siswa dengan siswa. Ada tiga model pembelajaran yang diterpakan pada kurikulum 2013 yaitu model pembelajaran Discovery Learning, model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) dan model pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning). Guru dapat menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) untuk mengatasi permasalahan di atas. Ibrahim dan Nur (2000 dalam Rusman, 2013 h. 241) mengemukakan bahwa: “Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi siswa dalam situasi yang berorientasi pada masalah dunia nyata, termasuk di dalamnya belajar bagaimana belajar”. Penjelasan di atas mengungkapkan bahwa Problem Based Learning adalah metode mengajar yang menggunakan masalah nyata, proses dimana siswa belajar, baik ingatan maupun keterampilan berpikir kritis, dengan fokus pemecahan masalah, kerja kelompok, umpan balik, diskusi, dan laporan akhir. Siswa didorong untuk lebih aktif terlibat dalam materi pelajaran dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Pembelajaran berdasarkan masalah kegunaannya adalah untuk merangsang berpikir dalam situasi yang berorientasi masalah, termasuk di dalamnya belajar bagaimana belajar. Model pembelajaran Problem Based Learning juga dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa, karena dalam pembelajaran dengan menggunakan model Problem Based Learning suasana pembelajaran menjadi lebih hidup dengan diskusi, debat, dan kegiatan yang memunculkan keingintahuan siswa. Menurut Warsono dan Hariyanto (2012 dalam Khuswatun, 2012 h, 19), keunggulan model pembelajaran Problem Based Learning, yaitu: 1) Peserta didik akan terbiasa menghadapi masalah (Problem posing) dan merasa tertantang untuk menyelesaikan masalah, tidak hanya terkait dengan pembelajaran di kelas tetapi juga menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari (real world), 2) Memupuk solidaritas sosial dengan terbiasa berdiskusi dalam kelompok dengan teman-temannya, 3) Semakin mengakrabkan guru dengan peserta didik, 4) Karena ada kemungkinan suatu masalah harus diselesaikan siswa melalui eksperimen, hal ini juga akan membiasakan peserta didik dalam menerapkan metode eksperimen. Hasil penelitian terdahulu mengenai penerapan model pembelajaran Problem Based Learning menunjukkan bahwa Problem Based Learning (PBL) dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa, karena siswa meng-konstruksi pengetahuannya dengan cara membaca, mengamati atau melihat benda, meneliti dengan menyentuhnya secara langsung sendiri dan mendorong siswa menjadi kritis, aktif, kreatif, dan peka terhadap keadaan lingkungan. Siswa juga lebih temotivasi dalam belajar, sehingga lebih memahami konsep yang kemudian akan mempengaruhi peningkatan hasil belajar siswa. Selain itu siswa lebih terampil dalam merespon, lebih antusias, lebih banyak mengajukan pertanyaan, berani mengungkapkan gagasan, mampu memecahkan masalah, juga dapat mengkomunikasikan hasil pengamatannya kepada orang lain. Atas dasar latar belakang masalah sebagaimana telah diutarakan di atas, maka saya memandang penting dan perlu untuk melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Learning untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis dan Motivasi Belajar Siswa Kelas V”. B. Identifikasi Masalah Atas dasar latar belakang masalah sebagaimana telah diutarakan di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Sebagian besar siswa kurang mempunyai keterampilan berpikir kritis yang merupakan tujuan dari kompetensi lulusan dalam kurikulum 2013. 2. Kurangnya motivasi dalam proses pembelajaran, karena model pembelajaran yang digunakan guru merupakan model pembelajaran konvensional yang membosankan. 3. Pembelajaran kurang interaktif. Hal tersebut dikarenakan siswa tidak didorong secara langsung untuk berinteraksi dengan objek yang dipelajari dan berinteraksi dengan teman sebayanya untuk mendiskusikan hasil penyelidikannya. 4. Guru masih mendominasi kegiatan pembelajaran sementara siswa pasif. Hal tersebut dikarenakan guru merupakan satu-satunya sumber pembelajaran, sehingga siswa hanya menerima informasi pembelajaran dari guru. 5. Kurangnya pemahaman guru mengenai model pembelajaran yang tepat dalam mengimplementasikan kurikulum 2013. C. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Atas dasar latar belakang dan identifikasi masalah sebagaimana yang telah diutarakan, maka masalah utama dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Apakah penerapan model pembelajaran Problem Based Learning dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan motivasi belajar siswa kelas V?” Mengingat rumusan masalah utama sebagaimana telah diutarakan di atas masih terlalu luas sehingga belum secara spesifik menunjukkan batas-batas mana yang harus diteliti, maka rumusan masalah utama tersebut kemudian dirinci dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimana keterampilan berpikir kritis dan motivasi belajar siswa sebelum siswa mengikuti proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning. 2. Bagaimana respon siswa selama siswa mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning. 3. Bagaimana aktivitas belajar siswa selama siswa mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning. 4. Bagaimana aktivitas guru selama guru melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning. 5. Bagaimana keterampilan berpikir kritis dan motivasi belajar siswa setelah siswa mengikuti proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning. D. Pembatasan Masalah Memperhatikan hasil identifikasi masalah dan rumusan masalah yang telah diutarakan, diperoleh gambaran dimensi permasalahan yang begitu luas. Namun, menyadari adanya keterbatasan waktu dan kemampuan, maka dalam penelitian ini penulis memandang perlu memberi batasan masalah secara jelas sebagai berikut. 1. Materi pembelajaran yang diterima siswa selama penelitian berlangsung adalah materi pembelajaran Tema 1 Benda-Benda di Lingkungan Sekitar Sub Tema 2 Perubahan Wujud Benda pada kurikulum 2013. 2. Keterampilan berpikir kritis yang diukur yaitu pencapaian indikator berpikir kritis dan aktivitas keterampilan berpikir kritis siswa baik secara individual maupun kelompok. 3. Motivasi belajar siswa yang diukur dilihat dari antusiasme dan aktivitas-aktivitas belajar siswa selama proses pembelajaran. 4. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas V-B SDN Gegerkalong Girang 2 Kelurahan Isola kecamatan Sukasari Kota Bandung. E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan motivasi belajar siswa kelas V dengan menerapkan model pembelajaran Problem Based Learning. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui perencanaan pembelajaran menerapkan model pembelajaran Problem Based Learning untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan motivasi belajar siswa kelas V. 2. Mengetahui pelaksanaan pembelajaran menerapkan model pembelajaran Problem Based Learning untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan motivasi belajar siswa kelas V. 3. Mengetahui peningkatan keterampilan berpikir kritis dan motivasi belajar siswa kelas V dengan menerapkan model pembelajaran Problem Based Learning. F. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Menambah referensi pustaka mengenai penerapan model pembelajaran Problem Based Learning untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan motivasi belajar siswa kelas V. 2. Manfaat Praktis Hasil dari pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: a. Bagi Siswa Hasil penelitian ini dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan motivasi belajar siswa kelas V serta kemampuan memecahkan masalah yang kemudian akan mempengaruhi peningkatkan hasil pembelajaran siswa, sehingga dapat mengaplikasikan setiap pembelajaran pada kehidupan sehari-hari. b. Bagi Guru Guru memperoleh wawasan mengenai model pembelajaran dalam melaksanakan kurikulum 2013, sehingga guru dapat memilih dan menggunakan model pembelajaran yang tepat dalam pembelajaran. c. Bagi Sekolah Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi sekolah untuk meningkatkan pengembangan dan kemajuan sekolah dalam pemahaman mengenai model pembelajaran kurikulum 2013, yaitu penerapan model pembelajaran Problem Based Learning untuk meningkatkan keterampil-an berpikir kritis dan motivasi belajar siswa kelas V. d. Bagi Peneliti Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan khususnya mengenai model pembelajaran pada kurikulum 2013 dan dapat juga dijadikan motivasi agar mampu merancang, memanfaatkan, bahkan menciptakan pembelajaran yang lebih baik serta penggunaan model pembelajaran yang lebih inovatif sebagai alat untuk mengembangkan pola pengetahuan, pemahaman, serta keterampilan. G. Paradigma atau Kerangka Pemikiran Rumusan masalah penelitian yang berhasil diidentifikasi adalah apakah penerapan model pembelajaran Problem Based Learning dapat meningkatkan motivasi dan keterampilan berpikir kritis siswa kelas V. Peneliti memberikan solusi untuk permasalahan yang akan dipecahkan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning. Ibrahim dan Nur (2000 dalam Rusman, 2013 h. 241) mengemukakan bahwa: “Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi siswa dalam situasi yang berorientasi pada masalah dunia nyata, termasuk di dalamnya belajar bagaimana belajar”. Pendapat di atas menjelaskan bahwa model pembelajaran Problem Based Learning dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa, karena model pembelajaran tersebut menyajikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari yang memancing siswa untuk menyelesaikannya. Model pembelajaran Problem Based Learning juga dapat membangkitkan minat siswa karena model pembelajaran Problem Based Learning menciptakan masalah yang menantang untuk semua siswa dengan konteks pekerjaan, sehingga siswa lebih termotivasi untuk belajar. Pengumpulkan data untuk penelitian ini yaitu menggunakan instrumen yang terdiri dari instrumen pembelajaran seperti silabus, RPP, lembar kegiatan kelompok, dan lembar kegiatan siswa. serta digunakan juga instrumen penelitian yaitu lembar observasi guru, lembar observasi aktivitas siswa, lembar tes (pretes dan postes), jurnal siswa dan lembar angket. Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Data hasil penelitian dihitung mengunakan rumus sederhana yang kemudian dianalisis dan disusun laporan dalam bentuk presentase. Adapun analisis kualitatif dari lembar observasi dan jurnal siswa digunakan sebagai penunjang untuk melihat respon terhadap pembelajaran. Atas dasar penjelasan di atas, diharapkan penerapan model pembelajaran Problem Based Learning dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa kelas V sehingga dapat mencapai tujuan kompetensi lulusan pada kurikulum 2013. Bagan 1.1 Paradigma atau Kerangka Pemikiran H. Asumsi Berdasarkan kerangka atau paradigma penelitian sebagaimana yang telah diutarakan, maka beberapa asumsi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kompetensi lulusan kurikulum 2013 mengharuskan setiap lulusannya mempunyai keterampilan berpikir kritis. Model pembelajaran Problem Based Learning menyajikan proses pembelajaran yang dapat mendorong siswa untuk kritis dan dituntut untuk dapat memecahkan masalah, sehingga siswa tidak sekedar tahu tetapi juga dipikirkan. 2. Menurut Sardinam (2001 dalam Suherni, 2009 h. 13), “Motivasi adalah serangkaian usaha untuk menysdiakan kondisi-kondisi tertentu sehingga mau dan ingin melakukan sesuatu” Motivasi dalam belajar sangat penting sebagai pendorong pencapaian prestasi dan pengembangan potensi yang dimiliki. Penerapan model pembelajaran Problem Based Learning dapat meningkatkan motivasi siswa, karena model pembelajaran Problem Based Learning menciptakan masalah yang menantang untuk semua siswa dengan konteks pekerjaan. I. Hipotesis Berdasarkan kerangka atau paradigma penelitian dan asumsi sebagaimana telah dikemukakan, maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah: “Model pembelajaran Problem Based Learning dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan motivasi belajar siswa kelas V” J. Definisi Operasional Untuk menghindari terjadinya salah pengertian terhadap istilah-istilah yang terdapat dalam variabel penelitian ini, maka istilah-istilah tersebut kemudian didefinisikan sebagai berikut: 1. Model Pembelajaran Model dapat diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan. Sedangkan model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajar-an di kelas atau yang lain. (Joyce & Weil, 1980 dalam Rusman, 2013 h. 133) 2. Model Pembelajaran Problem Based Learning Problem Based Learning (PBL) adalah kurikulum dan proses pembelajaran, yang dalam kurikulumnya dirancang masalah-masalah yang nenuntut siswa mendapatkan pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki strategi belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dengan tim. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistematik untuk memecahkan masalah atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam karier dan kehidupan sehari-hari. (Prof Howard Barrowsn dan Kelason dalam Amir, 2013 h. 21) 3. Keterampilan Berpikir Kritis Keterampilan berpikir dapat didefinisikan sebagai proses kognitif yang dipecah ke dalam langkah-langkah nyata yang kemudian digunakan sebagai pedoman berpikir. Sedangkan menurut Norris dan Ennis, (1989 dalam Eliah, 2012 h. 29): “Berpikir kritis adalah pemikiran yang masuk akal dan reflektif yang berfokus untuk memutuskan apa yang mesti dipercaya atau dilakukan”. 4. Motivasi Belajar Motivasi merupakan daya penggerak tingkah laku berupa dorongan dan kekuatan keras dalam diri seseorang untuk mencapai tujuan tertentu. Mc Donald (dalam Suherni, 2009 h. 46), menyatakan bahwa: “Motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling dan didahului degan tanggapan terhadap adanya tujuan”. BAB II KAJIAN TEORI A. Belajar dan Pembelajaran Belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan. Tujuan kegiatan belajar adalah perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut pengetahuan, keterampilan maupun sikap, bahkan meliputi segenap aspek organisme atau pribadi. Menurut Sudjana (1989 dalam Rusman, 2013 h. 1), “Belajar merupakan proses melihat, mengamati, dan memahami sesuatu”. Gagne (dalam Nurcahyani, 2012 h. 10) dalam bukunya The Conditioning of learning mengemukakan bahwa: “Learning is a change in human disposition or capacity, wich persists over a period time, and wich is not simply ascribable to process of growth”, yang artinya belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia setelah belajar secara terus menerus, bukan hanya disebabkan oleh proses pertumbuhan saja. Gagne (dalam Wahyudin, 2010 h. 17) juga menjabarkan mengenai hierarki belajar, bahwa: Terdapat delapan tahap dalam proses belajar yang tiap tahap dibahas sehubungan dengan kondisi-kondisi belajar yang dimulai dari belajar sederhana menuju ke yang lebih kompleks, delapan tahap belajar yaitu: 1) belajar sinyal, 2) belajar stimulus respon, 3) mempertalikan, 4) asosiasi verbal, 5) belajar diskriminasi multipel, 6) belajar konsep, 7) belajar prinsip, dan 8) pemecahan masalah. Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku yang meliputi pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotor), dimana perubahan-perubahan tersebut diperoleh dari pengalaman-pengalaman individu dalam melakukan kegiatan yang bersifat relatif permanen. Perubahan tingkah laku sebagai tujuan dari belajar merupakan hasil yang dicapai setelah pembelajaran. Pembelajaran dapat diartikan sebagai hasil dari memori, kognisi, dan metakognisi yang berpengaruh terhadap pemahaman. Wenger (1998 dalam Huda, 2013 h. 2) mengatakan bahwa: Pembelajaran bukanlah aktivitas, sesuatu yang dilakukan oleh seseorang ketika ia tidak melakukan aktivitas lain. Pembelajaran juga bukan sesuatu yang berhenti dilakukan seseorang. Lebih dari itu, pembelajaran bisa terjadi di mana saja dan pada level yang berbeda-beda, secara individual, kolektif, ataupun sosial. Menurut Gagne (1992 dalam Rusmono 2012 h. 6), “Pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa”. Sedangkan menurut Miarso (2004 dalam Rusmono 2012 h. 6), “Pembelajaran adalah suatu usaha yang disengaja, bertujuan dan terkendali agar orang lain belajar atau terjadi perubahan yang relatif menetap pada diri orang lain”. Usaha ini dapat dilakukan oleh sesorang atau suatu tim yang memiliki suatu kemampuan atau kompetensi dalam merancang dan mengembangkan sumber belajar yang diperlukan. Proses belajar mengajar di sekolah formal menghadirkan siswa dengan beraneka ragam dasar pengalaman dan pengetahuan, oleh karena itu guru harus berupaya untuk mengidentifikasi perbedaan-perbedaan tersebut dengan menciptakan pembelajaran kooperatif, berbasis masalah, dan aspek-aspek lain dari pembelajaran sehari-hari. Guru juga harus menekankan proses pembelajaran yang bersumber dari aktivitas-aktivitas langsung sesuai kebutuhan siswa yang dapat membawa siswa untuk merealisasikan pengetahuan dan pengalaman barunya dalam kehidupan sehari-hari Menurut Reigeluth (1983 dalam Rusmono 2012 h. 7), terdapat tiga hal dalam pembelajaran yaitu: “Kondisi pembelajaran yang mementingkan perhatian pada karakteristik pelajaran, siswa, tujuan dan hambatannya, serta apa saja yang perlu diatasi oleh guru. Selain itu guru juga perlu memperhatikan pengelolaan pembelajaran dan pengelolaan kelas”. Kondisi Pembelajaran Karakteristik Pembelajaran Karakteristik Siswa Tujuan Hambatan Metode Pembelajaran Strategi Pengorganisasian Strategi Penyampaian Pengelolaan Kegiatan Hasil Pembelajaran Efektifitas, efisiensi, dan daya tarik pembelajaran Gambar 2.1 Kerangka Teori Pembelajaran Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah proses mencari pengalaman dan mengembangkannya sebagai kebutuhan hidup manusia, khususnya yang berhubungan dengan upaya perubahan perilaku, sikap, pengetahuan dan pemaknaan terhadap tugas-tugas dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran merupakan proses interaksi antara guru, siswa dan lingkungannya sesuai kebutuhan dan perkembangan siswa dalam mencapai tujuan yang diharapkan, sehingga sebagai penentu keberhasilan pelaksanaan pembelajaran guru harus mengupayakan proses pembelajaran bermakna dengan menerapkan model pembelajaran yang tepat agar siswa dapat mengaplikasikan hasil pembelajarannya dalam kehidupan sehari-hari. B. Model Pembelajaran Kegiatan pembelajaran dilakukan oleh guru dan siswa. Perilaku guru adalah mengajar dan perilaku siswa adalah belajar. Perilaku belajar mengajar tersebut terkait dengan bahan pembelajaran yang berupa nilai-nilai kesusilaan, seni, agama, sikap, dan keterampilan. Hasil penelitian para ahli mengenai kegiatan guru dan siswa yang berkaitan dengan bahan pengajaran adalah model pembelajaran. 1. Pengertian Model Pembelajaran Model dapat diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia mengartikan model sebagai pola atau acuan. Komaruddin (dalam Huzaimah, 2012 h. 10), berpendapat bahwa: “Model dapat diartikan sebagai suatu tipe atau desain”. Model juga dapat dipahami sebagai suatu deskripsi atau analogi yang digunakan untuk membantu proses visualisasi sesuatu yang tidak dapat langsung diamati, sedangkan pembelajaran merupakan terjemahan dari kata Instruction yang dalam bahasa Yunani disebut instructus atau Intruere yang berarti menyampaikan pikiran, maka pembelajaran dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan (proses) yang dilakukan oleh guru dalam menyampaikan pikiran kepada siswa agar terjadi proses belajar pada diri siswa untuk mencapai suatu tujuan. Istilah model pembelajaran sangat dekat dengan pengertian stategi pembelajaran. Meskipun demikian, pengertian model pembelajaran ini dibedakan dari pengertian strategi, pendekatan dan metode pembelajaran. Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas dari pada suatu strategi, metode, dan teknik. Secara sederhana, pendekatan pembelajaran lebih melihat pembelajaran sebagai proses belajar siswa yang sedang berkembang untuk mencapai perkembangannya. Metode lebih berfokus pada proses belajar mengajar untuk bahan ajar dan tujuan pembelajaran tertentu. Sedangkan model pembelajaran lebih melihat pembelajaran sebagai suatu desain yang menggambarkan proses rincian dan penciptaan situasi lingkungan yang memungkinkan siswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan atau perkembangan pada diri siswa. Model pembelajaran pada hakikatnya merupakan kerangka konseptual yang melukiskan arah atau dasar filosofi pembelajaran. Joyce dan Weil (1980 dalam Rusman, 2013 h. 133) berpendapat bahwa “Model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain”. Arends (dalam Huzaimah, 2012 h. 11) menyatakan bahwa “The term teaching model refers to a particular approach to instruction that includes its goals, syntax, environment, and management system.”, yang artinya bahwa model pengajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungannya, dan sistem pengelolaannya. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran merupakan sebuah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran sehingga aktivitas pembelajaran benar-benar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematis. Pemilihan model pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran dan karakteristik setiap kompetensi dasar yang disajikan. Tidak semua model pembelajarn cocok untuk setiap kompetensi dasar. Guru harus memilih dan menentukan mosdel pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan, potensi, minat, bakat, dan kebutuhan peserta didik yang beragam agar terjadi interaksi optimal antara guru dengan siswa, serta antara siswa dengan siswa. 2. Ciri-ciri Model Pembelajaran Model pembelajaran memiliki ciri-ciri, yaitu: 1) Model dirancang untuk melatih partisipasi dalam kelompok secara demokratis, 2) Model pembelajaran mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu, 3) Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas, 4) Memiliki bagian-bagian model, yaitu urutan langkah-langkah pembelajaran (syntax), adanya prinsip-prinsip reaksi, sistem sosial, dan sistem pendukung. Keempat bagian tersebut merupakan pedoman praktis bila guru akan melaksanakan suatu model pembelajaran, 5) Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran meliputi hasil belajar yang dapat diukur dan hasil belajar dalam jangka panjang, dan 6) Membuat persiapan mengajar (desain instruksional) dengan pedoman model pembelajaran yang dipilih. 3. Dasar Pertimbangan Pemilihan Model Pembelajaran Sebelum menentukan model pembelajaran yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran, terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan guru dalam memilih model pembelajaran. Pertama pertimbangan terhadap tujuan yang hendak dicapai, seperti: 1) apakah tujuan pembelajaran yang hendak dicapai berkenaan dengan kompetensi akademik, kepribadian, sosial, dan kompetensi vokasional (domain kognitif, afektif, dan psikomotor), 2) bagaimana kompleksitas tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, dan 3) apakah untuk mencapai tujuan tersebut memerlukan keterampilan akademik atau tidak. Pertimbangan kedua yaitu pertimbangan yang berhubungan dengan bahan atau materi pembelajaran, seperti: 1) apakah materi pelajaran tersebut berupa fakta, konsep, hukum atau teori, 2) apakah untuk mempelajari materi tersebut memerlukan prasyarat atau tidak, dan 3) apakah tersedia bahan atau sumber-sumber yang relevan untuk mempelajari materi tersebut. Pertimbangan ketiga yaitu pertimbangan dari sudut siswa, seperti apakah model pembelajaran tersebut sesuai dengan tingkat kematangan siswa, minat, bakat, kondisi dan gaya belajar siswa. Pertimbangan terakhir yaitu pertimbangan lainnya yang bersifat nonteknis, seperti: 1) apakah untuk mencapai tujuan pembelajaran hanya cukup dengan menggunakan satu model saja, 2) apakah model pembelajaran yang kita tetapkan dianggap satu-satunya model yang dapat digunakan, dan 3) apakah model pembelajaran tersebut memiliki nilai efektivitas atau efisiensi. C. Model Pembelajaran Problem Based Learning Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang siswa untuk belajar. Siswa bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata (real world). Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu metode pembelajaran yang menantang siswa untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. 1. Pengertian Model Pembelajaran Problem Based Learning Problem Based Learning adalah metode mengajar yang menggunakan masalah yang nyata, proses dimana siswa belajar, baik ingatan maupun keterampilan berpikir kritis dengan fokus pemecahan masalah yang nyata, kerja kelompok, umpan balik, diskusi, dan laporan akhir. Menurut Prof Howard dan Kelason (dalam Amir, 2013 h. 21) bahwa: “Problem Based Learning (PBL) adalah kurikulum dan proses pembelajaran”. Kurikulum PBL, dirancang dengan menggunakan masalah-masalah yang menuntut siswa mendapatkan pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki strategi belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dengan tim. Margetson (1994 dalam Rusman, 2013 h. 230) mengemukakan bahwa “Kurikulum PBL membantu untuk meningkatkan perkembangan keterampilan belajar sepanjang hayat dalam pola pikir yang terbuka, reflektif, kritis, dan belajar aktif”. Kurikulum PBL memfasilitasi keberhasilan memecahkan masalah, komunikasi, kerja kelompok, dan keterampilan interpersonal dengan lebih baik dibanding pendekatan lain. Boud dan Feletti (1997 dalam Rusman, 2013 h. 230) mengemukakan bahwa “Pembelajaran berbasis masalah adalah inovasi yang paling signifikan dalam pendidikan”. Terdapat lima strategi dalam menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning, yaitu 1) Permasalahan sebagai kajian, 2) Permasalahan sebagai penjajakan pemahaman, 3) Permasalahan sebagai contoh, 4) Permasalahan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses, dan 5) Permasalahan sebagai stimulus aktivitas autentik. Peran guru sebagai pelatih, siswa sebagai problem solver, dan masalah sebagai tantangan dan motivasi dalam pembelajaran Problem Based Learning dapat digambarkan pada tabel 2.1 berikut. Tabel 2.1 Peran Guru, Siswa dan Masalah dalam Pembelajaran Problem Based Learning Guru sebagai Pelatih Siswa sebagai Problem Solver Masalah sebagai Awal Tantangan dan Motvasi • Asking about thinking (bertanya tentang pemikiran). • Memonitor pembelajaran. • Probbing (menantang siswa untuk berpikir). • Menjaga agar siswa terlibat. • Mengatur dinamika kelompok. • Menjaga berlangsungnya proses. • Siswa aktif . • Terlibat langsung dalam pembelajaran. • Membangun pembelajaran. • Menarik untuk dipecahkan. • Menyediakan kebutuhan yang ada hubungannya dengan pelajaran yang dipelajari. Model pembelajaran Problem Based Learning mengacu pada hal-hal sebagai berikut. a. Kurikulum: PBL tidak seperti pada kurikulum tradisional karena memerlukan suatu strategi sasaran di mana proyek sebagai pusat. b. Responsibility: PBL menekankan responsibility dan answerability siswa ke diri dan kelompoknya. c. Realisme: kegiatan siswa difokuskan pada pekerjaan yang serupa dengan situasi yang sebenarnya. Aktivitas ini mengintegrasikan tugas otentik dan menghasilkan sikap profesional. d. Active-learning: menumbuhkan isu yang berujung pada pertanyaan dan keinginan siswa untuk menemukan jawaban yang relevan sehingga dengan demikian telah terjadi proses pembelajaran yang mandiri. e. Umpan balik: diskusi, presentasi, dan evaluasi terhadap siswa menghasilkan umpan balik yang berharga. Ini mendorong ke arah pembelajaran berdasarkan pengalaman. f. Keterampilan umum: PBL dikembangkan tidak hanya pada keterampilan pokok dan pengetahuan saja, tetapi juga mempunyai pengaruh besar pada keterampilan yang mendasar seperti pemecahan masalah, kerja kelompok, dan self-management. g. Driving Questions: PBL difokuskan pada pertanyaan atau permasalahan yang memicu siswa untuk menyelesaikan permasalahan dengan konsep, prinsip, dan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan pengetahuan siswa. h. Autonomy: proyek menjadikan aktivitas siswa sangat penting. Pembelajaran Problem Based Learning akan membuat pembelajaran lebih bermakna. Siswa akan belajar memecahkan suatu masalah, mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan. Siswa juga mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Pembelajaran Problem Based Learning dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, meumbuhkan inisiatif siswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok. 2. Tahap-tahap Model Pembelajaran Problem Based Learning Proses pembelajaran dengan menggunakan Model pembelajaran Problem Based Learning memiliki lima tahap yaitu orientasi siswa kepada masalah, mengorganisasikan siswa, membimbing penyelidikan individu dan kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya, dan menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Lebih jelas tahapan tersebut dapat dilihat pada tabel 2.2. Tabel 2.2 Tahap-Tahap Model pembelajaran Problem Based Learning Fase-fase Perilaku Guru Fase 1 Orientasi siswa kepada masalah • Menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan. • Memotivasi siswa untuk terlibat aktif dalam pemecahan masalah yang dipilih. Fase 2 Mengorganisasikan siswa Membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Fase 3 Membimbing penyelidikan individu dan kelompok Mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Fase 4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, model dan berbagi tugas dengan teman Fase 5 Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau meminta kelompok presentasi hasil kerja. Fase 1: Mengorientasikan Siswa pada Masalah Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan. Dalam penggunaan PBL, tahapan ini sangat penting dimana guru harus menjelaskan dengan rinci apa yang harus dilakukan oleh siswa, serta dijelaskan bagaimana guru akan mengevaluasi proses pembelajaran. Ada empat hal yang perlu dilakukan dalam proses ini, yaitu: a. Tujuan utama pengajaran tidak untuk mempelajari sejumlah besar informasi baru, tetapi lebih kepada belajar bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadi siswa yang mandiri. b. Permasalahan dan pertanyaan yang diselidiki tidak mempunyai jawaban mutlak “benar”, sebuah masalah yang ruimit atau kompleks mempunyai banyak penyelesaian dan seringkali bertentangan. c. Selama tahap penyelidikan, siswa didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi. d. Selama tahap analisis dan penjelasan, siswa akan didorong untuk menyatakan ide-idenya secara terbuka dan penuh kebebasan. Fase 2: Mengorganisasikan Siswa untuk Belajar Pembelajaran PBL mendorong siswa belajar berkolaborasi. Pemecahan masalah sangat membutuhkan kerjasama dan sharing antar anggota, oleh sebab itu guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok yang kemudian akan memecahkan masalah yang berbeda. Fase 3: Membantu Penyelidikan Mandiri dan Kelompok Penyelidikan adalah inti dari PBL meskipun setiap situasi permasalahan memerlukan teknik penyelidikan yang berbeda, namun pada umumnya tentu milibatkan karakter yang identik yakni pengumpulan data dan eksperimen, berhipotesisdan penjelasan, serta memberikan pemecahan. Pengumpulan dan eksperimentasi merupakan aspek yang sangat penting. Guru pada tahap ini harus mendorong siswa untuk mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen (mental maupun aktual) sampai mereka betul-betul memahami dimensi situasi permasalahan. Tujuannya adalah agar siswa mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri. Fase 4: Mengembangkan dan Menyajikan Hasil Karya Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan artefak (hasil karya) dan pameran. Artefak lebih dari sekedar laporan tertulis, namun bisa suatu video tape (menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan), model (perwujudan secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya), program komputer, dan sajian multimedia. Tentunya kecanggihan artefak sangat dipengaruhi tingkat berpikir siswa. Langkah selanjutnya adalah mempamerkan hasil karyanya dan guru berperan sebagai organisator pemeran, akan lebih baik jika dalam pameran ini melibatkan siswa alainnya, guru-guru, orang tua, dan lainnya yang dapat menjadi “penilai” atau memberikan umpan balik. Fase 5: Analisis dan Evaluasi Proses Pemecahan Masalah Fase ini dimaksudkan untuk membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses mereka sendiri dan katerampilan penyelidikan dan intelektual yang mereka gunakan. Selama fase ini guru meminta siswa untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan belajarnya. 3. Penilaian Pembelajaran Problem Based Learning Penilaian pembelajaran Problem Based Learning merupakan penilaian autentik (authentic assesment) yang dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran. Penilaian dalam pendekatan PBL dilakukan dengan cara evaluasi diri (self-assessment) dan peer-assessment. Self-assessment merupakan penilaian yang dilakukan oleh siswa itu sendiri terhadap usaha-usahanya dan hasil pekerjaannya dengan merujuk pada tujuan yang ingin dicapai (standard) oleh siswa itu sendiri dalam belajar, sedangkan Peer-assessment merupakan penilaian dimana pembelajar berdiskusi untuk memberikan penilaian terhadap upaya dan hasil penyelesaian tugas-tugas yang telah dilakukannya sendiri maupun oleh teman dalam kelompoknya. Penilaian yang relevan dalam PBL antara lain: a. Penilaian kinerja, meminta siswa untuk unjuk kerja atau mendemonstrasikan kemampuan melakukan tugas-tugas tertentu, seperti menulis karangan, melakukan suatu eksperimen, menginterprestasikan jawaban pada suatu masalah, memainkan suatu lagu atau melukis suatu gambar. b. Penilaian portofolio adalah penilaian berkelanjutan yang didasarkan pada kumpulan informasi yang menunjukkan perkembangan kemampuan siswa dalam suatu periode tertentu. Informasi perkembangan siswa dapat berupa hasil karya terbaik siswa selama proses belajar, pekerjaan hasil tes, piagam penghargaan, atau bentuk informasi lain yang terkait kompetensi tertentu dalam suatu mata pelajaran. c. Penilaian potensi belajar yaitu mengukur kemampuan yang dapat ditingkatkan dengan bantuan guru atau teman-temannya yang yang lebih maju. PBL yang memberi tugas-tugas pemecahan masalah memungkinkan siswa untuk mengembangkan dan mengenali potensi kesiapan belajarnya. d. Penilaian kelompok mengurangi kompetisi merugikan yang sering terjadi, misalnya membandingkan siswa dengan temannya. Penilaian dan evaluasi yang sesuai dengan model pembelajaran Problem Based Learning adalah menilai pekerjaan yang dihasilkan oleh siswa sebagai hasil pekerjaan mereka dan mendiskusikan hasil pekerjaan secara bersama-sama. Tahap evaluasi pada proses belajar mengajar PBL terdiri atas tiga hal, yaitu: 1) bagaimana siswa dan evaluator menilai produk (hasil akhir) proses; 2) bagaimana mereka menerapkan tahapan PBM untuk bekerja melalui masalah; 3) bagaimana siswa akan menyampaikan pengetahuan hasil pemecahan masalah atau sebagai bentuk pertanggung jawaban meraka belajar menyampaikan hasil-hasil penilaian atau respon-respon mereka dalam berbagai bentuk yang beragam, misalnya secara lisan atau verbal, laporan tertulis, atau sebagai suatu bentuk penyajian formal lainnya. Sebagian dari evaluasi memfokuskan pada pemecahan masalah oleh siswa maupun dengan cara melakukan proses belajar kolaborasi (bekerja bersama pihak lain). 4. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Problem Based Learning Sebuah model pembelajaran mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan Model Pembelajaran Problem Based Learning menurut Sanjaya (Khuswatun, 2013 h 18), yaitu: 1) Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran. 2) Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan menemukan pengetahuan baru bagi siswa. 3) Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa 4) Pemecahan masalah dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata. 5) Pemecahan masalah dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Pemecahan masalah juga dapat mendorong untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya. 6) Pemecahan masalah dapat memperlihatkan kepada siswa bahwa setiap mata pelajaran pada dasarnya merupakan cara berpikir dan sesuatu yang harus dimengerti siswa, bukan sekedar belajar dari guru atau buku-buku saja. 7) Pemecahan masalah dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa. 8) Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru. 9) Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata. 10) Pemecahan masalah dapat menggambarkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar, sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir. Sedangkan kekurangan Model pembelajaran Problem Based Learning menurut Sanjaya (Khuswatun, 2013 h 18), yaitu: 1) Apabila siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencobanya. 2) Keberhasilan strategi pembelajaran melalui pemecahan masalah membutuhkan waktu cukup untuk persiapan. 3) Tanpa pemahaman mengenai alasan mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka siswa tidak akan belajar apa yang ingin mereka pelajari. Model pembelajaran Problem Based Learning dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Elis Eliah Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar UNPAS tahun 2012 mengenai pendekatan Problem Based Learning (PBL) untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa pada konsep bagian tumbuhan dan fungsinya menunjukkan peningkatan kemampuan berpikir kritis pada siswa. Hasil dari penelitian yang telah dilakukan pada proses pembelajaran dengan menggunakan Pendekatan Problem Based Learning (PBL) dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan hasil belajar siswa, karena siswa mengkonstruksi pengetahuannya dengan cara membaca, mengamati atau melihat benda, meneliti dengan menyentuhnya secara langsung sendiri dan mendorong siswa menjadi kritis, aktif, kreatif, dan peka terhadap keadaan lingkungan. Siswa lebih memahami konsep, hasil pembelajaran mengenai bagian tumbuhan dan fungsinya meningkat, kemudian lebih terampil dalam merespon, lebih antusias, lebih banyak mengajukan pertanyaan, berani mengungkapkan ide dan gagasannya, mampu memecahkan masalah baik secara individu maupun kelompok, dan dapat mengkomunikasikan hasil pengamatannya terhadap orang lain. Penggunaan pendekatan Problem Based Learning (PBL) pada konsep struktur tumbuhan dengan fungsinya, selain dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa juga memberikan imbas positif terhadap hasil belajar siswa. Hal ini dapat ditunjukkan oleh meningkatnya nilai rata-rata yang diperoleh siswa pada setiap siklus. Perolehan nilai rata-rata siklus 1 sebesar 66.06. Pada siklus II perolehan nilai rata-rata 69.39 dan pada siklus III perolehan rata-rata siswa sebesar 80.61. D. Keterampilan Berpikir Kritis Berpikir secara kritis berarti berpikir secara luas dan terbuka dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan hingga mendapatkan suatu fakta dan informasi yang dapat diterima atau ditolak. Seseorang yang berpikir kritis akan mampu menyelesaikan masalah dengan pemikiran yang abstrak lalu menyusunnya dalam metode penyelesaian yang efektif. 1. Hakikat Berpikir Berpikir merupakan kegiatan penggabungan antara persepsi dan unsur-unsur yang ada dalam pikiran untuk menghasilkan pengetahuan. Menurut Jenicek (dalam Patmawati, 2011 h.17), “Keterampilan berpikir dapat didefinisikan sebagai proses dan juga kemampuan untuk memahami konsep, menarapkan, mensintesiskan, mengevaluasi info yang diperoleh”. Seseorang yang berpikir akan mengolah dan mengorganisasikan bagian-bagian dari pengetahuannya, sehingga pengalaman-pengalaman dan pengetahuan yang tidak teratur menjadi tersusun serta dapat dipahami dan dikuasai. Selain itu dalam kegiatan berpikir terjadi kegiatan manipulasi mental karena adana rangsangan dari luar membentuk suatu pemikiran, penalaran, dan keputusan, serta kegiatan untuk memecahkan masalah. Keterampilan berpikir harus ditanamkan pada anak, begitu juga anak usia sekolah dasar. Unsur-unsur keterampilan berpikir yang harus dikuasai siswa yaitu mengamati, melaporkan, mengklarifikasi, memberi label, menyusun dan mengurutkan, menginterpretasi, membuat generalisasi, membuat inferensi, dan memecahkan masalah. Terdapat tiga istilah yang berkaitan dengan keterampilan berpikir, yaitu berpikir tingkat tinggi (high level thinking), berpikir kompleks (complex thinking), dan berpikir kritis (critical thinking). Berpikir tingkat tinggi adalah operasi kognitif yang banyak dibutuhkan pada proses-proses berpikir, dalam taksonomi Bloom berpikir tingkat tinggi meliputi evaluasi, sintesis, dan analisis. Berpikir kompleks adalah proses kognitif yang melibatkan banyak tahapan atau bagian-bagian. Berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan. 2. Hakikat Keterampilan Berpikir Kritis Berpikir kritis dapat diartikan sebagai kemampuan yang sangat essensial untuk kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan. Menurut Dewey (1909), “Berpikir kritis didefinisikan sebagai pertimbangan yang aktif, terus-menerus, dan teliti mengenai suatu keyakinan atau asumsi”. Definisi lainnya dikemukakan oleh Glaser (1941) yaitu, “Berpikir kritis merupakan suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah dan hal yang berada pada jangkauan pengalaman seseorang. http://silviez89.blogspot.com/2013/12/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html Menurut Black dan Ennis (dalam Patmawati, 2011 h.19), “Berpikir kritis adalah kemampuan menggunakan logika”. Logika merupakan cara berpikir untuk mendapatkan pengetahuan yang disertai pengkajian kebenarannya yang efektif berdasarkan pola penalaran tertentu. Wingkel (dalam Patmawati, 2011 h.20) mengungkapkan pendapatnya, bahwa: Kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan untuk mengidentifikasikan dan merumuskan sesuatu problem yang mencakup dan menentukan intinya, menentukan intinya, menentukan kesamaan dan perbedaan, menggali informasi serta data yang relevan, kemampuan untuk mempertimbangkan dan menilai yang meliputi membedakan antara fakta dan pendapat, menemukan asumsi atau pegandaian, memisahkan prasangka dan pengaruh sosial, menimbang konsistensi dalam berpikir, dan menarik kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan akibat yang dapat timbul. Keterampilan berpikir kritis sangat penting dalam pendidikan, karena berpikir kritis mencakup seluruh proses dalam mendapatkan, membandingkan, menganalisis, mengevaluasi, internalisasi, dan bertindak melampaui ilmu pengetahuan dan nilai-nilai. Menurut Perkin (1992), bahwa: Berpikir kritis itu memiliki 4 karakteristik, yakni (1) bertujuan untuk mencapai penilaian yang kritis terhadap apa yang akan kita terima atau apa yang akan kita lakukan dengan alasan logis, (2) memakai standar penilaian sebagai hasil dari berpikir kritis dan membuat keputusan, (3) menerapkan berbagai strategi yang tersusun dan memberikan alasan untuk menentukan dan menerapkan standar, (4) mencari dan menghimpun informasi yang dapat dipercaya untuk dipakai sebagai bukti yang dapat mendukung suatu penilaian. http://pasca.tp.ac.id/site/pengembangan-kemampuan-berpikir-kritis-dan-kreatif-dalam-pembelajaran Unsur dasar dalam berpikir kritis yaitu: 1) Focus, yaitu memfokuskan pertanyaan atau isu yang tersedia untuk membuat sebuah keputusan tentang apa yang diyakini, 2) Reason, yaitu mengetahui alasan yang mendukung atau melawan keputusan yang dibuat berdasarkan situasi dan fakta yang relevan, 3) Inference, yaitu membuat kesimpulan yang beralasan atau menyungguhkan. Bagian penting dari langkah penyimpulan ini adalah mengidentifikasi asumsi dan mencari pemecahan, pertimbangan dari interpretasi akan situasi dan bukti, 4) Situation, yaitu memahami situasi dan selalu menjaga situasi dalam berpikir akan membantu memperjelas pertanyaan dan mengetahui arti istilah-istilah kunci, bagian-bagian yang relevan sebagai pendukung, 5) Clarity, yaitu menjelaskan arti atau istilah-istilah yang digunakan, 6) Overview, yaitu meninjau kembali dan meneliti secara menyeluruh keputusan yang diambil. Tujuan keterampilan berpikir kritis adalah agar dapat menjauhkan seseorang dari keputusan keliru dan tergesa-gesa sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan. Keterampilan berpikir kritis sebenarnya merupakan suatu keterampilan yang dapat dipelajari dan diajarkan baik di sekolah maupun melalui belajar mandiri, yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam pengajaran keterampilan berpikir kritis tersebut harus dilakukan melalui latihan yang sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak. 3. Indikator Keterampilan Berpikir Kritis Kemampuan berpikir kritis dapat membantu siswa dalam membuat keputusan yang tepat berdasarkan usaha yang sangat sistematis, logis, dan mempertimbangkan berbagai sudut pandang, bukan hanya mengajar kemampuan yang perlu dilakukan tetapi juga mengajar sikap, nilai, dan karakter yang menunjang berpikir kritis. Ennis dan Norris (dalam Patmawati, 2011 h.22), mengemukakan bahwa: Kemampuan berpikir kritis dikelompokkan ke dalam lima langkah, yaitu: 1) Memberikan penjelasan dasar/sederhana (elementary clarification), 2) Membangun keterampilan dasar (basic support), 3) Menyimpulkan (interference), 4) Memberikan penjelasan lebih lanjut (advanced clarification), dan 5) Mengatur strategi dan taktik (strategy and tactics). Terdapat 12 indikator kemampuan berpikir kritis yang dikelompokkan menjadi lima aspek kemampuan berpikir kritis. Tabel 2.3 Indikator Keterampilan Berpikir Kritis Menurut R. Ennis No Aspek Kelompok Indikator Sub-Indikator 1. Memberikan penjelasan dasar/sederhana (elementary clarification) Memfokuskan pertanyaan - Mengidentifikasi atau merumuskan Pertanyaan. - Mengidentifikasi atau merumuskan kriteria untuk mempertimbangkan kemungkin-an jawaban - Menjaga kondisi berpikir Menganalisis argumen. - Mengidentifikasi kesimpulan - Mengidentifikasi kalimat-kalimat pertanyaan - Mengidentifikasi kalimat-kalimat bukan pertanyaan - Mengidentifikasi dan menangani ketidaktepatan - Melihat struktur dari suatu argumen - Membuat ringkasan Bertanya dan menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan atau tantangan. - Memberikan penjelasan sederhana (Mengapa?, Apa ide utamamu?, Apa yang anda maksud dengan..?, Apakah yang membuat perbedaan?, Apakah faktanya?, Inikah yang anda katakan..?, dapatkah anda mengatakan beberapa hal itu?) - Menyebutkan contoh (Sebutkan contoh dari?, Sebutkan yang bukan contoh..?) 2. Membangun keterampilan dasar (basic support) Mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak - Mempertimbangkan keahlian - Mempertimbangkan kemenarikan konflik - Mempertimbangkan kesesuaian sumber - Mempertimbangkan reputasi - Mempertimbangkan penggunaan prosedur yang tepat - Mempertimbangkan resiko untuk reputasi - Kemampuan untuk memberikan alasan - Kebiasaan berhati-hati Mengobservasi dan mempertimbangkan laporan observasi. - Melibatkan sedikit dugaan - Menggunakan waktu yang singkat antara observasi dan laporan - Melaporkan hasil observasi - Merekam hasil observasi - Menggunakan bukti-bukti yang benar - Menggunakan akses yang baik - Menggunakan teknologi - Mempertanggungjawabkan hasil observasi 3. Menyimpulkan (interference) Mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi. - Siklus logika-Euler - Mengkondisikan logika - Menyatakan tafsiran Menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi. - Mengemukakan kesimpulan dan hipotesis 1) Mengemukakan hipotesis 2) Merancang eksperimen 3) Menarik kseimpulan sesuai fakta 4) Menarik kesimpulan dari hasil menyelidiki Membuat hasil dan menentukan hasil pertimbangan - Membuat dan menentukan hasil pertimbangan berdasarkan latar belakang fakta-fakta - Membuat dan menentukan hasil pertimbangan berdasarkan akibat - Membuat dan menentukan hasil pertimbangan berdasarkan penerapan fakta - Membuat da menentukan hasil pertimbangan keseimbangan masalah 4. Memberikan penjelasan lebih lanjut (advanced clarification) Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan suatu definisi - Membuat bentuk definisi (sionim, klasifikasi, rentang, ekivalen, operasional, contoh, dan bukan contoh) - Strategi membuat definisi 1) Bertindak dengan memberikan penjelasan lanjut 2) Mengidentifikasi dan menangani kedakbenaran yang disengaja - Membuat isi definisi Mengidentifikasi asumsi-asumsi - Penjelasan bukan pernyataan - Mengkontruksi argumen 5. Mengatur strategi dan taktik (strategy and tactics) Menentukan suatu tindakan - Mengungkap suatu masalah - Memilih kriteria untuk mempertimbangkan solusi yang mungkin - Merumuskan solusi alternative - Menentukan tindakan sementara - Mengulang kembali - Mengamati penerapannya Berinteraksi dengan orang lain - Menggunakan argumen - Menggunakan strategi logika - Menggunakan strategi retorika - Menunjukkan posisi, orasi, atau tulisan E. Motivasi Belajar Siswa Keberhasilan kegiatan belajar mengajar selain dipengaruhi oleh penggunaan model pembelajaran yang tepat juga dipengaruhi oleh motivasi siswa dalam belajar. Motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menjamin kelangsungan dan

Item Type: Thesis (Skripsi(S1))
Subjects: S1-Skripsi
Divisions: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan > PGSD 2014
Depositing User: Iyas -
Date Deposited: 28 Jun 2016 09:33
Last Modified: 28 Jun 2016 09:33
URI: http://repository.unpas.ac.id/id/eprint/5197

Actions (login required)

View Item View Item