FERRY NURHAKIM, 105060117 (2016) PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN RASA INGIN TAHU DALAM MENYEBUTKAN JENIS – JENIS PEKERJAAN. Skripsi(S1) thesis, FKIP UNPAS.
Text
COVER SKRIPSI.doc Download (114kB) |
|
Text
lembar pengesahan fery.doc Download (31kB) |
|
Text
Motto dan persembahan.docx Download (19kB) |
|
Text
KATA PENGANTAR.doc Download (129kB) |
|
Text
DAFTAR ISI.doc Download (77kB) |
|
Text
BAB I.doc Download (68kB) |
|
Text
BAB II.doc Download (208kB) |
|
Text
BAB III.doc Restricted to Repository staff only Download (364kB) |
|
Text
bab IV.doc Restricted to Repository staff only Download (683kB) |
|
Text
BAB V.doc Restricted to Repository staff only Download (44kB) |
|
Text
DAFTAR PUSTAKA.doc Download (30kB) |
|
Text
Riwayat Hidup fery.doc Download (99kB) |
Abstract
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kondisi pendidikan saat ini sedang mendapat sorotan dari berbagai pihak yang mengindentifikasikan bahwa dari segi kualitas masih tergolong rendah. Dengan demikian maka munculah gagasan-gagasan yang mengarah terhadap usaha peningkatan mutu pendidikan, sehingga keluarlah seperangkat kebijakan pemerintah yang berpihak terhadap dunia pendidikan . Kebijakan pemerintah salah satunya yaitu adanya perubahan dari KTSP ke kurikulum 2013. Latar belakang perlunya perubahan Kurikulum menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh bahwa ditengah perubahan zaman, sistem pendidikan di Indonesia juga harus selalu ikut menyesuaikan. Pengembangan kurikulum 2013 diharapkan dapat menjadi jawaban untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia hadapi perubahan dunia. Pengembangan kurikulum 2013 sudah melalui proses panjang dan ditelaah sehingga saatnya disampaikan ke publik agar dapat bisa memberi pandangan lebih sempurna. Basis perubahan kurikulum 2013 terdiri dari dua komponen, yakni pendidikan dan kebudayaan. Kedua elemen tersebut harus menjadi landasan agar generasi muda dapat menjadi bangsa yang cerdas dengan berpengetahuan dan berbudaya serta mampu mengkolaborasikannya. Orientasi pengembangan Kurikulum 2013 adalah tercapainya kompetensi yang berimbang antara sikap, keterampilan, dan pengetahuan, disamping cara pembelajarannya yang holistik dan menyenangkan. Perubahan yang paling berdasar adalah nantinya pendidikan akan berbasis science dan tidak berbasis hafalan lagi. Pada Kurikulum 2013 untuk SD, terjadi perubahan dari 10 mata pelajaran menjadi hanya enam, keenam mata pelajaran itu adalah Matematika, Bahasa Indonesia, Agama, Pendidikan Jasmani, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, dan Kesenian. Sedangkan IPA dan IPS menjadi tematik di pelajaran-pelajaran lain. Adapun dari sisi jam pelajaran, kurikulum baru ini akan menambah panjangnya jam pelajaran. Untuk SD kelas 1 dari 26 jam per minggu menjadi 30 jam. Untuk kelas 2 SD dari 27 jam menjadi 32 jam. Sedangkan untuk kelas 3 SD dari 28 jam menjadi 34 jam, sementara kelas 4, 5, 6 SD dari 32 menjadi 36 jam per minggu. Lembaga pendidikan dalam hal ini memiliki peranan yang paling dominan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, guru sebagai perangkat pelaksana terdepan di institusi pendidikan dituntut untuk dapat melaksanakan tugasnya secara profesional dalam mengatasi permasalahan pengelolaan pembelajaran di kelasnya. Guru yang profesional harus memiliki sejumlah kompetensi, kompetensi yang dimaksud adalah sebagai berikut, yaitu : “kompetensi professional” artinya memiliki pengetahuan yang kuat, “kompetensi personal” artinya memiliki sikap kepribadian yang mantap, “kompetensi social” artinya menunjukkan kemampuan berkomunikasi sosial baik dengan murid-muridnya maupun dengan sesama rekan guru dan kepala sekolah bahkan dengan masyarakat luas, serta “kemampuan untuk memberikan pelayanan. Dalam pelaksanaan pembelajaran guru seringkali dihadapkan dengan berbagai permasalahan. Masalah yang muncul dapat disebabkan beberapa faktor, diantaranya adalah situasi kelas yang kurang kondusif seperti yang dirasakan oleh kelas IV SDN Cibadak 02. Masalah yang paling utama adalah masalah pembelajaran, dimana perolehan hasil belajar siswa di akhir pembelajaran tidak sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah direncanakan di awal pembelajaran. Masalah pembelajaran yang sedang dihadapi oleh penulis muncul ketika siswa melakukan proses pembelajaran tentang keberagaman budaya bangsaku. Pada pelaksanaannya masih banyak siswa yang belum dapat memahami tentang keberagaman budaya bangsaku. Hal itu terbukti ketika guru akan mengajukan pertanyaan, siswa berkata,”Saya tidak mengerti pak.” Selain itu terdapat siswa yang banyak mengobrol dengan teman sebangkunya dibandingkan dengan mendengarkan cerita temannya yang di depan, jadi proses pembelajaran yang ingin dicapai menjadi terlambat karena kurang efektifnya dalam proses pembelajaran itu. Berdasarkan hasil observasi terhadap siswa kelas IV SDN Cibadak 02 Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung telah ditetapkan KKM nya adalah 65 Namun dari 31 siswa yang ada, hanya 10 siswa yang mendapat nilai ≥ 65. Hal ini terbukti ketika peneliti bertanya mengenai konsep keberagaman budaya bangsaku kepada siswa, sangat sedikit sekali siswa yang mengetahui tentang keberagaman budaya. Adapun yang mengerti tetapi terkesan belum menguasai materi dan kurang memahami konsepnya. Fakta tersebut menjadikan pembelajaran dapat dikatakan tidak berhasil, sehingga perlu diadakan Penelitian Tindakan Kelas untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Menurut pengalaman pribadi dan hasil observasi yang dilakukan, bahwa proses belajar mengajar dengan menggunaan metode yang tepat masih jarang, penyajiannya masih kurang menarik, guru masih mendominasi, sehingga kurang adanya interaksi yang baik dengan siswa. Para guru belum sepenuhnya melaksanakan proses mengajar secara kreatif, metode hanya berkisar antara ceramah, diskusi, tanya jawab, dan penugasan. Guru belum mampu memanfaatkan peluang yang terdapat dalam Kurikulum Satuan Pendidikan, yang memberikan keleluasan guru dalam mengelola kelas. Berangkat dari permasalahan tersebut, penulis mencoba dan berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan hasil belajar siswa kelas IV SDN Cibadak 02 tentang keberagaman budaya bangsaku dengan melaksanakan perbaikan pembelajaran melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK). B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka data awal permasalahan yang muncul dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kurangnya motivasi belajar siswa. 2. Penggunaan model dan media pembelajaran yang kurang optimal bahkan kurangnya ketersediaan media. 3. Rendahnya kemampuan siswa tentang selalu berhemat energi. 4. Konsentrasi siswa terganggu karena keadaan kelas tidak kondusif. Sehubungan dengan latar belakang masalah tersebut, maka guru di SDN Cibadak 02 berhadapan dengan masalah belum menghasilkan pembelajaran yang efektif. Hal itu ditunjukkan oleh kenyataan bahwa waktu belajar siswa banyak terbuang. Keaktifan dan kekreatifan siswa dalam belajar sangat rendah serta hasil belajar siswa yang kurang memuaskan. Hal ini terjadi karena metode mengajar guru selalu pada metode ceramah yang bersumber hanya pada buku panduan sehingga siswa dapat lebih cepat jenuh dalam proses belajar mengajar. Bukan hanya keaktifan dan hasil belajar saja yang rendah tetapi cara siswa memperoleh pengetahuan pun selalu bersumber pada guru (teacher center) seharusnya siswa bisa mencari informasi sendiri, mengidentifikasi masalah serta mendapatkan hasil jawaban oleh sendiri, guru hanya sebagai mediator, motivator dan fasilitator (student center). Dari hasil observasi di SDN Cibadak 02 terlihat pada saat hasil evaluasi siswa hasil nilai yang diperoleh siswa kurang dari nilai rata-rata. C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka batasan dan rumusan masalah secara umum adalah: “Apakah dengan melalui penerapan model pembelajaran inquiry dapat meningkatkan pengetahuan siswa tentang selalu berhemat energi pada siswa kelas IV SDN Cibadak 02 Baleendah terjadi peningkatan? Batasan dan Rumusan masalah secara khusus adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana rencana pembelajaran model pembelajaran inquiry untuk meningkatkan rasa ingin tahu siswa? 2. Bagaimana pelaksanaan penerapan model pembelajaran inquiry untuk meningkatkan rasa ingin tahu siswa? 3. Apakah dengan penerapan model pembelajaran inquiry dapat meningkatkan rasa ingin tahu siswa? D. Tujuan Penelitian Berdasarkan batasan dan rumusan masalah, maka tujuan penelitian secara umum yaitu : “Meningkatkan sikap rasa ingin tahu dalam menyebutkan jenis-jenis pekerjaan kelas IV SDN Cibadak 02 Baleendah”. Tujuan Penelitian secara khusus : 1. Untuk mengetahui perencanaan penerapan model pembelajaran inquiry akan meningkatkan rasa ingin tahu siswa. 2. Untuk mengetahui pelaksanaan penerapan model pembelajaran inquiry akan meningkatkan rasa ingin tahu siswa. 3. Untuk mengetahui sikap rasa ingin tahu siswa dari penerapan model pembelajaran inquiry. E. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam dunia pendidikan berupa gambaran mengenai sebuah teori yang menyatakan bahwa pengetahuan dan hasil belajar siswa tentang berhemat energi dapat dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran inquiry. dengan cara sebagai berikut : 1. Berupaya terus menerus agar menemukan solusi pembelajaran yang berkualitas. 2. Menemukan alternatif solusi untuk memperbaiki kelemahan atau meningkatkan kualitas pembelajaran yang dilakukan berdasarkan penelitian tindakan kelas. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan sebagai berikut : 1. Bagi siswa kelas IV SDN Cibadak 02 Baleendah, akan terdorong untuk meningkatan pengetahuan dan hasil belajar tentang keberagaman budaya bangsaku melalui penerapan model pembelajaran inquiry. 2. Bagi guru pengajar kelas IV dalam keterampilan berkomunikasi dan mencari informasi dapat meningkatkan profesionalnya dalam proses pembelajaran dengan bahan pelajarannya. 3. Bagi sekolah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi berharga bagi kepala sekolah, untuk mengambil kebijakan yang tepat dalam kegiatan pengajaran dengan memanfaatkan model pembelajaran, guna menciptakan kondisi pembelajaran yang kondusif, efektif dan efesien bagi para guru-guru di Sekolah Dasar. F. Definisi Operasional Untuk memudahkan dalam memahami penelitian yang dilakukan, maka berikut ini dijelaskan beberapa penjelasan istilah yang berhubungan dengan judul penelitian ini. 1. Metode Inquiri Inquiri adalah salah satu asas dalam pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) sebagai pendekatan pembelajaran utama. Inquiri artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Sanjaya,Wina (2006: 193) menyatakan: Inquiri menekankan pada proses mencari dan menemukan. Materi pelajaran tidak diberikan secara langsung. Peran siswa dalam pendekatan ini adalah mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran; sedangkan guru berperan sebagai fasilitastor dan pembimbing siswa untuk belajar. Inquiri (menemukan) merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hanya hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi juga hasil dari menemukan sendiiri. Metode Pembelajaran Inquiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah. Menurut Suryosubroto (2002:192), metode inkuiri adalah suatu metode dimana dalam proses pembelajaran guru memperkenankan siswanya menemukan sendiri informasi yang secara konvensional biasa diberitahukan atau diceramahkan saja. Selanjutnya Nafilah juga menjelaskan (2009:2), metode inkuiri adalah cara penyajian pelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan informasi dengan aktif tanpa bantuan guru. 2. Pengetahuan Menurut Soekidjo Notoadmodjo (2003), Pengetahuan ialah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu : indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. 3. Peningkatan Hasil belajar Peningkatan berasal dari kata tingkat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (2001:1197) tingkat berarti “susunan yang berlapis-lapis” bisa juga berarti “tinggi rendah martabat”. Meningkatkan artinya membuat lebih tinggi dari kedudukan semula. Ani Tri, (2004:4), hasil merupakan sesuatu yang diakibatkan (dibuat, dijadikan) oleh suatu usaha. Setiap proses belajar yang dilaksanakan oleh peserta didik akan menghasilkan hasil belajar. Di dalam proses pembelajaran, guru sebagai pengajar sekaligus pendidik memegang peranan dan tanggung jawab yang besar dalam rangka membantu meningkatkan keberhasilan peserta didik dipengaruhi oleh kualitas pengajaran dan faktor intern dari siswa itu sendiri. Dalam setiap mengikuti proses pembelajaran di sekolah sudah pasti setiap peserta didik mengharapkan mendapatkan hasil belajar yang baik, sebab hasil belajar yang baik dapat membantu peserta didik dalam mencapai tujuannya. Hasil belajar yang baik hanya dicapai melalui proses belajar yang baik pula. Jika proses belajar tidak optimal sangat sulit diharapkan terjadinya hasil belajar yang baik. Menurut Hamalik (2001:159) bahwa hasil belajar menunjukkan kepada prestasi belajar, sedangkan prestasi belajar itu merupakan indikator adanya derajat perubahan tingkah laku siswa. Menurut Nasution (2006:36) hasil belajar adalah hasil dari suatu interaksi tindak belajar mengajar dan biasanya ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan guru. Sedangkan menurut Dimyati dan Mudjiono (2002:36) hasil belajar adalah hasil yang ditunjukkan dari suatu interaksi tindak belajar dan biasanya ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan guru. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan hasil yang diperoleh siswa setelah terjadinya proses pembelajaran yang ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan oleh guru setiap selesai memberikan materi pelajaran pada satu pokok bahasan. BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Teori 1. Kebijakan Pemerintah Dalam dunia pendidikan kita sering kali terjadi perubahan kurikulum. Perubahan ini dimaksudkan untuk menjadikan Negara ini memiliki generasi yang unggul. Untuk memajukan sebuah Negara tentu harus mempersiapkan bekal kepada generasi muda sebuah program pendidikan yang bermakna. Menurut Halamik (2007: 3-4), kebijakan umum dalam pembangunan kurikulum harus sejalan dengan visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional yang dituangkan dalam kebijakan peningkatan angka partisipasi, mutu, relevansi, dan efisiensi pendidikan. a. Pengertian Kurikulum Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Berdasarkan pengertian tersebut, ada dua dimensi kurikulum, yang pertama adalah rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, sedangkan yang kedua adalah cara yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran. Kurikulum 2013 yang diberlakukan mulai tahun ajaran 2013/2014 memenuhi kedua dimensi tersebut. Menurut Abdul Majid dalam bukunya Implementasi Kurikulum 2013 (2014:1), kurikulum adalah merupakan program pendidikan yang disediakan oleh lembaga pendidikan (sekolah) bagi siswa. Dalam program pendidikan tersebut terdapat kegiatan belajar yang sesuai dengan karakteristik siswa, pada masa ini kurikulum 2013 digunakan pada tahun ajaran 2013/2014 sudah sesuai dengan kebutuhan siswa dengan masa perkembangannya. b. Rasional Pengembangan Kurikulum Menurut Abdul Majid dalam bukunya Implementasi Kurikulum 2013 (2014:37), pengembangan kurikulum 2013 diorientasi terjadinya peningkatan dan keseimbangan antara kompetensi sikap (attitude), keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge). Sejalan dengan UU No. 20 Tahun 2003 sebagaimana tersurat dalam pasal 35: kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencangkup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standard nasional yang telah disepakati. Hal ini sejalan pula dengan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencangkup kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan secara terpadu. Menurut Permendikbud No 67 Tahun 2013 mengemukakan bahwa kurikulum 20013 dikembangkan berdasarkan faktor-faktor sebagai berikut: 1) Tantangan Internal Tantangan internal antara lain terkait dengan kondisi pendidikan dikaitkan dengan tuntutan pendidikan yang mengacu kepada 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan yang meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Tantangan internal lainnya terkait dengan perkembangan penduduk Indonesia dilihat dari pertumbuhan penduduk usia produktif. Saat ini jumlah penduduk Indonesia usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dari usia tidak produktif (anak-anak berusia 0-14 tahun dan orang tua berusia 65 tahun ke atas). Jumlah penduduk usia produktif ini akan mencapai puncaknya pada tahun 2020-2035 pada saat angkanya mencapai 70%. Oleh sebab itu tantangan besar yang dihadapi adalah bagaimana mengupayakan agar sumberdaya manusia usia produktif yang melimpah ini dapat ditransformasikan menjadi sumberdaya manusia yang memiliki kompetensi dan keterampilan melalui pendidikan agar tidak menjadi beban. 2) Tantangan Eksternal Tantangan eksternal antara lain terkait dengan arus globalisasi dan berbagai isu yang terkait dengan masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi dan informasi, kebangkitan industri kreatif dan budaya, dan perkembangan pendidikan di tingkat internasional. Arus globalisasi akan menggeser pola hidup masyarakat dari agraris dan perniagaan tradisional menjadi masyarakat industri dan perdagangan modern seperti dapat terlihat di World Trade Organization (WTO), Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) Community, Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), dan ASEAN Free Trade Area (AFTA). Tantangan eksternal juga terkait dengan pergeseran kekuatan ekonomi dunia, pengaruh dan imbas teknosains serta mutu, investasi, dan transformasi bidang pendidikan. Keikutsertaan Indonesia di dalam studi International Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Program for International Student Assessment (PISA) sejak tahun 1999 juga menunjukkan bahwa capaian anak-anak Indonesia tidak menggembirakan dalam beberapa kali laporan yang dikeluarkan TIMSS dan PISA. Hal ini disebabkan antara lain banyaknya materi uji yang ditanyakan di TIMSS dan PISA tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia. 3) Penyempurnaan Pola Pikir Kurikulum 2013 dikembangkan dengan penyempurnaan pola pikir sebagai berikut: (a) Pola pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran berpusat pada peserta didik. Peserta didik harus memiliki pilihan-pilihan terhadap materi yang dipelajari untuk memiliki kompetensi yang sama; (b) Pola pembelajaran satu arah (interaksi guru-peserta didik) menjadi pembelajaran interaktif (interaktif guru-peserta didik-masyarakat-lingkungan alam, sumber/ media lainnya); (c) Pola pembelajaran terisolasi menjadi pembelajaran secara jejaring (peserta didik dapat menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja yang dapat dihubungi serta diperoleh melalui internet); (d) Pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran aktif-mencari (pembelajaran siswa aktif mencari semakin diperkuat dengan model pembelajaran pendekatan sains); (e) Pola belajar sendiri menjadi belajar kelompok (berbasis tim); (f) Pola pembelajaran alat tunggal menjadi pembelajaran berbasis alat multimedia; (g) Pola pembelajaran berbasis massal menjadi kebutuhan pelanggan (users) dengan memperkuat pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik; (h) Pola pembelajaran ilmu pengetahuan tunggal (monodiscipline) menjadi pembelajaran ilmu pengetahuan jamak (multidisciplines); dan (i) Pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran kritis. 4) Penguatan Tata Kelola Kurikulum Pelaksanaan kurikulum selama ini telah menempatkan kurikulum sebagai daftar matapelajaran. Pendekatan Kurikulum 2013 untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah diubah sesuai dengan kurikulum satuan pendidikan. Oleh karena itu dalam Kurikulum 2013 dilakukan penguatan tata kelola sebagai berikut: (a) Tata kerja guru yang bersifat individual diubah menjadi tata kerja yang bersifat kolaboratif; (b) Penguatan manajeman sekolah melalui penguatan kemampuan manajemen kepala sekolah sebagai pimpinan kependidikan (educational leader); dan (c) Penguatan sarana dan prasarana untuk kepentingan manajemen dan proses pembelajaran. 5) Penguatan Materi Penguatan materi dilakukan dengan cara pendalaman dan perluasan materi yang relevan bagi peserta didik. Berdasarkan pendapat para ahli dan ketetapan undang-undang diatas, bahwa dapat ditarik kesimpulan bahwa kurikulum 2013 telah sesuai dengan karakteristik siswa dan capaian kelulusan yang diharapkan bahwa tidak hanya aspek pengetahuan yang harus dicapai tetapi aspek sikap dan keterampilan harus dimasukan dalam pencapaian sebuah kelulusan. b. Karakteristik Kurikulum 2013 Menurut Kemendikbud (2012: 82) Kurikulum 2013 dirancang dengan karakteristik sebagai berikut: 1) Mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap spiritual dan sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan intelektual dan psikomotorik; 2) Sekolah merupakan bagian dari masyarakat yang memberikan pengalaman belajar terencana dimana peserta didik menerapkan apa yang dipelajari di sekolah ke masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai sumber belajar; 3) Mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan serta menerapkannya dalam berbagai situasi di sekolah dan masyarakat; 4) Memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai sikap, pengetahuan, dan keterampilan; 5) Kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih lanjut dalam kompetensi dasar matapelajaran; 6) Kompetensi inti kelas menjadi unsur pengorganisasi (organizing elements) kompetensi dasar, dimana semua kompetensi dasar dan proses pembelajaran dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam kompetensi inti; 7) Kompetensi dasar dikembangkan didasarkan pada prinsip akumulatif, saling memperkuat (reinforced) dan memperkaya (enriched) antarmatapelajaran dan jenjang pendidikan (organisasi horizontal dan vertikal). c. Tujuan Kurikulum 2013 Menurut Permendikbud NO 67 Tahun 2013, Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. d. Kerangka Dasar Kurikulum 2013 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 213 tentang kerangka dasar dan struktur kurikulum Sekolah Dasar/Madrasah Abtidaiyah. Dikemukakan 3 Landasan yang membangun Kerangka Dasar Kurikulum, yaitu: 1) Landasan Filosofis Landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum menentukan kualitas peserta didik yang akan dicapai kurikulum, sumber dan isi dari kurikulum, proses pembelajaran, posisi peserta didik, penilaian hasil belajar, hubungan peserta didik dengan masyarakat dan lingkungan alam sekitarnya. Kurikulum 2013 dikembangkan dengan landasan filosofis yang memberikan dasar bagi pengembangan seluruh potensi peserta didik menjadi manusia Indonesia berkualitas yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional. 2) Landasan Teoritis Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori “pendidikan berdasarkan standar” (standart-based education), dan teori kurikulum berbasis kompetensi (competency-based curriculum). Pendidikan berdasarkan standar menetapkan adanya standar nasional sebagai kualitas minimal warga negara. 3) Landasan Yuridis Kurikulum 2013, adalah : (a) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; (c) Undang-undang Nomor 17 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan jangka Panjang Nasioal, beserta segala ketentuan yang dituangkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional; dan (d) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan d. Struktur Kurikulum Struktur Kurikulum menggambarkan konseptualisasi konten kurikulum dalam bentuk kompetensi inti, kompetensi dasar, mata pelajaran, posisi konten/mata pelajaran dalam kurikulum, distribusi konten/mata pelajaran dalam semester atau tahun, beban belajar untuk mata pelajaran dan beban belajar per minggu untuk setiap siswa. Menurut Ibnu Majid dalam buku Implementasi Kurikulum 2013 (2014 : 47), mengemukakan bahwa : Struktur kurikulum menggambarkan konseptualisasi konten kurikulum dalam bentuk mata pelajaran, posisi konten/mata pelajaran dalam kurikulum, distribusi konten/mata pelajaran dalam semester atau tahun, beban belajar untuk mata pelajaran dan beban belajar per minggu untuk setiap siswa. Struktur kurikulum adalah juga merupakan aplikasi konsep pengorganisasian konten dalam system belajar dan pengorganisasian beban belajar dalam system pembelajaran. Pengorganisasian konten dalam system belajar yang digunakan untuk kurikulum yang akan dating adalah system semester sedangkan pengorganisasian beban belajar dalam system pembelajaran berdasarkan jam pelajaran per semester. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 67 Tahun 2013, struktur kurikulum 2013 adalh sebagi berikut: 1) Kompetensi Inti Kompetensi inti dirancang seiring dengan meningkatnya usia peserta didik pada kelas tertentu. Melalui kompetensi inti, integrasi vertikal berbagai kompetensi dasar pada kelas yang berbeda dapat dijaga. Rumusan kompetensi inti menggunakan notasi sebagai berikut: (a) Kompetensi Inti-1 (KI-1) untuk kompetensi inti sikap spiritual; (b) Kompetensi Inti-2 (KI-2) untuk kompetensi inti sikap sosial; (c) Kompetensi Inti-3 (KI-3) untuk kompetensi inti pengetahuan; dan (d) Kompetensi Inti-4 (KI-4) untuk kompetensi inti keterampilan. 2) Mata Pelajaran Berdasarkan kompetensi inti disusun matapelajaran dan alokasi waktu yang sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan. Susunan mata pelajaran dan alokasi waktu untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah sebagaimana tabel berikut. Tabel 2.1: Mata pelajaran Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah Sumber Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 67 Tahun 2013 Mata Pelajaran Alokasi Waktu Perminggu I II III IV V VI Kelompok A 1 Pendidikan Agama dan Budi Pekerti 4 4 4 4 4 4 2 Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 5 5 6 5 5 5 3 Bahasa Indonesia 8 9 10 7 7 7 4 Matematika 5 6 6 6 6 6 5 Ilmu Pengetahuan Alam - - - 3 3 3 6 Ilmu Pengetahuan Sosial - - - 3 3 3 Kelompok B 1 Seni Budaya dan Prakarya 4 4 4 4 4 4 2 Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan 4 4 4 4 4 4 JUMLAH ALOKASI WAKTU PERMINGGU 30 32 34 36 36 36 3) Beban Mengajar Beban belajar merupakan keseluruhan kegiatan yang harus diikuti peserta didik dalam satu minggu, satu semester, dan satu tahun pembelajaran. (a) Beban belajar di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah dinyatakan dalam jam pembelajaran per minggu. (1) Beban belajar satu minggu Kelas I adalah 30 jam pembelajaran. (2) Beban belajar satu minggu Kelas II adalah 32 jam pembelajaran. (3) Beban belajar satu minggu Kelas III adalah 34 jam pembelajaran. (4) Beban belajar satu minggu Kelas IV, V, dan VI adalah 36 jam pembelajaran. Durasi setiap satu jam pembelajaran adalah 35 menit. (b) Beban belajar di Kelas I, II, III, IV, dan V dalam satu semester paling sedikit 18 minggu dan paling banyak 20 minggu. (c) Beban belajar di kelas VI pada semester ganjil paling sedikit 18 minggu dan paling banyak 20 minggu. (d) Beban belajar di kelas VI pada semester genap paling sedikit 14 minggu dan paling banyak 16 minggu. (e) Beban belajar dalam satu tahun pelajaran paling sedikit 36 minggu dan paling banyak 40 minggu. 4) Kompetensi Dasar Kompetensi dasar dirumuskan untuk mencapai kompetensi inti. Rumusan kompetensi dasar dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik peserta didik, kemampuan awal, serta ciri dari suatu matapelajaran. Kompetensi dasar dibagi menjadi empat kelompok sesuai dengan pengelompokkan kompetensi inti sebagai berikut: (a) kelompok 1: kelompok kompetensi dasar sikap spiritual dalam rangka menjabarkan KI-1; (b) kelompok 2: kelompok kompetensi dasar sikap sosial dalam rangka menjabarkan KI-2; (c) kelompok 3: kelompok kompetensi dasar pengetahuan dalam rangka menjabarkan KI-3; dan (d) kelompok 4: kelompok kompetensi dasar keterampilan dalam rangka menjabarkan KI-4. 2. Filsafat Kontruktivisme a. Hakikat Pendekatan Kontruktivisme Pandangan kontruktivisme menurut Kukla (2000:3) adalah “all our concept are contructed”. Hal tersebut dapat diartikan bahwa semua konsep yang didapat oleh setiap organisme merupakan suatu hasil dari proses konstruksi. Kukla beranggapan konsep yang dibangun berhubungan dengan suatu realitas. Lebih lanjut Kukla menganggap bahwa realitas merupakan hasil dari kontruksi setiap organisme. Menurut Kukla pada dasarnya setiap individu membentuk realitas dalam perspektif mereka masing-masing. Oleh karena itu realitas yang terbangun merupakan hasil interpretasi dari masing-masing organisme. Menurut Bidell dan Fischer (2005:10) “Cobtructivism characterizes the acquisition of knowledge as a product of the individual’s creative self-organizing activity in particular environments” artinya bahwa kontruktivisme memiliki karakteristik adanya perolehan pengetahuan sebagai produk dari kegiatan organisasi sendiri oleh individu dalam lingkungan tertentu. Kontruktivisme menurut Bruning merupakan perspektif psikologis dan filosofis yang memandang bahwa masing-masing individu membentuk atau membangun sebagian besar dari apa yang mereka pelajari dan pahami (Schunk. 2012:320). Menurut Brooks dan Brooks (2006:35) menyatakan bahwa “the contructivist approach stimulates learning only around concepts in which the students have a prekindled interest”. Pernyataan tersebut bisa dimaknai bahwa kontruktivis adalah suatu pendekatan dalam proses pembelajaran yang mengarahkan pada penemuan konsep yang lahir dari pandangan, dan gambaran serta inisiatif peserta didik. Richardson (1997:3) menyatakan bahwa contructivism as the position that “individuals create their own understandings, based upon the interaction of what they already know and believe, and the phenomena or ideas with which they come in contact” menurutnya kontruktivisme merupakan sebuah keadaan di mana individu menciptakan pemahaman mereka sendiri berdasarkan pada apa yang mereka ketahui dan percayai, serta ide dan fenomena dimana mereka berhubungan. Pritchard menyatakan bahwa ada dua ide dalam teori kontruktivis (2010:8-9) yakni kontruktivis radikal dan kontruktivis social. Kontruktivis radikal menyatakan ide bahwa pembelajar menciptakan pengetahuan mereka sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Pengetahuan dibangun dengan mengkognisi subjek. Dengan demikian fungsi kognisi adalah adptif dan memberikan kesempatan bagi pembelajar untuk memahami dan mengalami realitas (Von Glassersfeld, 1989:162). Lebih lanjut Von Glassersfeld (2002:xix) menyatakan bahwa : “Radical Contructivism …, is a theory of active knowing, rather than a tradisional theory of knowledge or epistemology …, as Piaget maintained fifty years ago, knowledge serves to organize experience, not to depict or represent an experience-indepent reality”. Hal ini dapat diartikan bahwa konstruktivis radikal merupakan sebuah teori mengenai “mencari tahu” secara aktif yang lebih dari sekedar teori pengetahuan tradisional yang dinyatakan oleh Piaget dimana pengetahuan ada untuk membentuk pengalaman bukan untuk merepresentasikan realitas pembelajaran secara independen. Sebaliknya kontruktivisme social menyatakan pandangan bahwa pengetahuan diciptakan oleh pembelajar dengan melalui interaksi social. Beck dan Kosnick (2006:8) menyatakan bahwa “encourages all members of a learning community to present their ideas strongly, while remaining open to the ideas of others”. Pembelajaran hanya akan bisa terjadi ketika semua anggota komunitas tersebut menyatakan pendapat atau ide mereka dan memiliki keterbukaan terhadap ide dari orang lain. Menurut Chaille dan Britain (2003:5) terdapat dua perebedaan pandangan terhadap bagaimana peserta didik belajar. Pertama, perspektif behavioural yang menganggap bahwa pengetahuan merupakan suatu proses pentransferan dari seseorang (pendidik) kepada peserta didik. Kedua adalah pandangan kontruktivis menyatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari kontruksi pengetahuan yang aktif dan dinamis. Oleh karena itu, untuk memahami proses pembelajaran sebagai salah satu aspek dalam teori pembangunan konsep peserta didik. Pandangan kontruktivisme didasarkan pada filsafat tertentu terkait dengan manusia dan pengetahuan. Artinya bahwa bagaimana manusia menjadi tahu dan memiliki pengetahuan menjadi kajian penting dalam kontruktivisme. Pengetahuan dalam pandangan konstruktivisme dibentuk dari pengalaman organisme melalui proses interaksi dengan lingkungan dan orang-orang disekelilingnyanya. Titik krusial lain dalam pandangan konstruktivisme adalah terkait dengan proses pembelajaran. Pandangan kontruktivisme dalam pembelajaran lebih menekankan proses daripada hasil pembelajaran. Artinya bahwa hasil belajar yang merupakan tujuan pembelajaran tetap dianggap penting, namun di sisi lain proses belajar yang melibatkan cara maupun strategi juga dianggap penting. Pandangan kontruktivisme menganggap bahwa belajar merupakan proses aktif untuk mengkonstruksi pengetahuan. Proses aktif tersebut sangat didukung oleh terciptanya interaksi antara peserta didik dan guru, dan interaksi antar peserta didik. Pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivisme menuntut agar seorang pendidik mampu menciptakan pembelajaran sedemikian rupa sehingga peserta didik dapat terlibat secara aktif dengan materi pelajaran melalui interaksi social yang terjalin di dalam kelas. Aktivitas siswa dalam pembelajaran kontruktivisme dapat dilakukan dengan kegiatan mengamati fenomena-fenomena, mengumpulkan data-data, merumuskan dan menguji hipotesis-hipotesis, dan bekerjasama dengan orang lain (Schunk, 2012:324). b. Pengusung Kontruktivisme dan Pandangannya Kontruktivisme sebagai mazhab pemikiran atau pandangan terhadap terbentuknya suatu pengetahuan baru pada saat ini menjadi paradigm baru yang dijadikan dasar dalam berbagai bidang kajian. Kontruktivisme memiliki karakter yang mampu menyatukan pandangan-pandangan dari bidang sosiologis, psikologis. Menurut Brown (2008:13) kontruktivisme memiliki dua cabang kajian yaitu kognitif dan social. Kontruktivisme kognitif menekankan bahwa pentingnya pembelajar membangun representasi realitas mereka sendiri. Artinya pembelajar harus aktif dalam menemukan atau mengubah informasi kompleks agar mereka mampu menerima menguasai informasi tersebut sebagai pengetahuan baru. Pandangan ini didasarkan pada pandangan Piaget yang menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses perkembangan yang melibatkan perubahan, pemunculan diri, dan kontruksi, yang masing-masing dibangun di atas pengalaman-pengalaman pembelajaran sebelumnya. Adapun kontruktivisme sosial adalah menekankan pentingnya interaksi sosial dan pembelajaran kooperatif dalam membangun gambaran-gambaran kognitif dan emosional atau realitas. Pandangan ini didasarkan pandangan Vygotsky yang menyatakan bahwa pemikiran dan pembentukan makna diri anak-anak dibentuk secara sosial dan muncul dari interaksi sosial mereka dengan lingkungan mereka (Brown, 2008:13). 1) Vygotsky Ide dasar yang menjadi kajian penting pemikiran Vygotsky adalah ide bahwa potensi untuk perkembangan kognitif dan pembelajaran berdasarkan transisi di antara Zona of Proximal Development (ZPD). ZPD adalah area teoritis mengenai pemahaman atau perkembangan kognitif yang dekat tapi berada diluar level pembalajar saat ini. Artinya bahwa jika pembelajar ingin membuat “kemajuan”, mereka harus dibantu untuk bisa berpindah dari zona ini dan kemudian masuk pada level yang lebih tinggi dan lebih baru. Dari level baru ini akan membentuk atau terdapat ZPD baru lagi. Dalam perkembangan kognitifnya individu atau pembelajar harus keluar dari ZPD untu menuju pada level berikutnya dan seterusnya. Pendapat Vygotsky tentang ZPD merupakan aturan yang penting yang menjadi pusat bagi keseluruhan teori belajar konstruktivis sosial. Artinya bahwa teori belajar konstruktivis sosial mendasarkan pada kemampuan individu dalam mengembangkan kognitifnya dengan cara keluar dari ZPD dan membangun ZPD baru. ZPD mendeskripsikan perbedaan mengenai apa yang seseorang bisa pelajari sendiri dan apa yang seseorang bisa pelajari dengan didukung oleh orang yang lebih berpengalaman. Menurut Vygotsky (dalam Oaklay, 2004:43) terdapat empat tahapan pembentukan konsep pengetahuan yaitu meliputi (a) 1,2,3,4 pada tahap pertama anak-anak membentuk konsep dengan cara trial and error, kemudian tahap kedua menggunakan beberapa strategi namun tidak menggunakan atribut pokok yang pasti. 2) Piaget Prinsip-prinsip teori Piaget terkait dengan perkembangan kognitif menurut (Oakley, 2004:14) meliputi skema, asimilasi, akmodasi, ekuilibrasi. Skema merupakan representasi kognitif dari kegiatan-kegiatan (aktivitas) atau sesuau (benda). Ketika seorang organisme lahir, mereka telah memiliki skema atau naluri yang telah ada sebelumnya. Contohnya ketika bayi terlahir mereka telah meiliki skema untuk menyusui kepada ibunya. Menurut Piaget proses perkembangan pengembangan intelektual manusia terdiri dari empat tahap perkembangan yaitu – sensorimotor (lahir sampai dua tahun), praoperasional (dua sampai tujuh tahun), operasi konkret (tujuh sampai sebelas tahun) dan operasi formal (sebelas ke atas) dideskripsikan dan perkembangan anak diukur. Tahap-tahap ini membuat dampak yang besar pada praktik pendidikan selama 1950an dan 1960an. Akan tetapi, hal tersebut telah menjadi ketinggalan dan menjadi aspek yang kurang penting dalam karya Piaget. Hal ini dikarenakan bahwa perkembangan intelektual manusia dianggap tidak sesederhana dengan pandangan Piaget. Pandangan konstruktivisme yang diusung oleh Vygotsky dan Piaget didukung oleh pandangan Bruner (2006:2) yang menyatakan bahwa belajar merupakan sebuah proses aktif di mana pembelajar mengkonstruksi ide atau konsep baru didasarkan pengetahuan sebelumnya dan yang sekarang. Pembelajar memilih dan mentransformasikan informasi, mengkonstruksi hipotesis dan membuat keputusan dengan referensi dan berdasarkan pada struktur kognitif internalnya. 3. Psikologi Perkembangan Anak a. Pengertian Psikologi Perkembangan Menurut Syamsu Yusuf dalam J.P. Chaplin (1979: 3) mengungkapkan bahwa “…. That branch of psychology which studies processes of pra and post natal growth and the maturation of behavior”. Maksudnya adalah “psikologi perkembangan merupakan cabang dari psikologi yang mempelajari proses perkembangan individu, baik sebelum maupun setelah kelahiran berikut kematangan perilaku.” Menurut Syamsu Yusuf dalam Ross Vasta, dkk (1992: 3) psikologi perkembangan merupakan cabang psikologi yang mempelajari perubahan tingkah laku dan kemampuan sepanjang proses perkembangan individu dari mulai masa konsepsi sampai mati. Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan banhwa psikologi perkembangan merupakan salah satu bidang psikologi yang memfokuskan pembahasannya mengenai perubahan tingkah laku dan proses perkembangan dari masa konsepsi sampai mati. b. Memahami Perkembangan Anak Dalam upaya mendidik atau membimbing anak remaja, agar mereka dapat mengembangkan potensi dirinya seoptimal mungkin maka bagi para pendidik, orang tua, atau siapa saja yang berkempentingan dalam pendidikan anak, perlu dianjurkan untuk memahami perkembangan anak. Menurut Syamsu Yusuf (2012: 12) ada beberapa alasan kenapa pemahaman itu penting, adalah sebagai berikut: 1) Masa anak merupakan periode perkembangan yang cepat dan terjadinya perubahan dalam banyak aspek perkembangan; 2) Pengalaman masa kecil mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perkembangan berikutnya; 3) Pengetahuan tentang perkembangan anak dapat membantu mereka mengembangkan diri, dan memecahkan masalah yang dihadapinya; dan 4) Melalui pemahaman terhadap factor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak, dapat diantisipasi tentang berbagai upaya untuk memfasilitasi perkembangan tersebut, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Disamping itu dapat diantisipasi juga tentang upaya mencegah berbagai kendala atau factor-faktor yang mungkin akan mengkontaminasi (meracuni) perkembanaan anak. c. Tugas-tugas Perkembangan Menurut Havighurst (1961) mengartikan tuga-tugas perkembangan adalah sebagai berikut: It A development task is a task which arises at or about acertain period in the life of the individual, successful achievement of a which leads to this happiness and the success with later task, while failure leads to unhappiness in the individual, disapproval by society, and difficulty with later task. Maksudnya, adalah bahwa tugas perkembangan itu merupakan suatu tugas yang muncul pada periode tertentu dalam rentang kehidupan individu, yang apabila tugas itu dapat dituntaskan akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam menuntaskan tugas berikutnya; Sementara apabila gagal, maka akan menyebabkan ketidakbahagiaan pada individu yang bersangkutan, menimbulkan penolakan masyarakat, dan kesulitan-kesulitan dalam menuntaskan tugas-tugas berikutnya. Tugas-tugas perkembangan ini berkaitan dengan sikap, perilaku, atau keterampilan yang seyogyanya dimiliki oleh individu, sesuai dengan usia atau fase perkembangannya. Menuru Syamsu Yusuf (2012: 66) tugas-tugas perkembangan muncul, bersumber dari beberapa faktor sebagi berikut: 1) Kematangan fisik, misalnya (a) belajar berjalan karena kematangan otot-otot kaki; (b) belajar bertingkah laku, bergaul dengan jenis kelamin yang berbeda pada masa remaja karena kematangan organ-organ seksual; 2) Tuntutan masyarakat secara kultural; 3) Tuntutan dari dorongan dan cita-cita individu sendiri; dan 4) Tuntutan norma agama. Setiap individu harus menuntaskan tugas-tugas perkembangan pada setiap fase perkembangan karena sebagai prasyarat pemenuhan kebahagiaan hidupnya. Syamsu Yusuf (2012: 69) mengungkapkan tugas-tugas perkembangan pada masa sekolah (6,0 – 12,-0) adalah sebagai berikut: 1) Belajar memperoleh keterampilan fiisk untuk melakukan permainan; 2) Belajar membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagi makhluk biologis; 3) Belajar bergaul dengan teman-teman sebaya; 4) Belajar memainkan peran sesuai dengan jjenis kelaminnya; 5) Belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis, berhitung; 6) Belajar mengembangkan konsep sehari-hari; 7) Mengembangkan kata ahti; 8) Belajar ,e,peroleh kebebasan yang bersifat pribadi; dan 9) Mengembangkan sikap yang positif terhadap kelompok sosial dan lembaga-lembaga. d. Kriteria penahapan Perkembangan Usia Sekolah Dasar Dalam hubungannya dengan proses belajar mengajar (pendidikan) pentahapan perkembangan yang dipergunakan sebaiknya bersifat elektif, maksudnya tidak terpaku pada satu pendapat saja tetapi bersifat luas untuk meramu dari berbagai pendapat yang mempunyai hubungan yang erat. Berdasarkan pendirian tersebut, perkembanagan individu sejak lahir sampai masa kematangan itu dpat digambarkan melewati fase-fase berikut. Tabel 2.2 Tahap perkembangan anak menurut Syamsu Yusuf (2012: 66) TAHAP PERKEMBANAGAN USIA Masa usia pra sekolah Masa usia sekolah dasar Masa usia sekolah menengah Masa usia mahasiswa 0,0 – 6,0 6,0 – 12,0 12,0 – 18,0 18,0 – 25,0 Pada masa usia sekolah dasar sering disebut masa intelektual atau masa keserasuan bersekolah. Pada umur 6 atau 7 tahun, baisanya anak telah matang untuk memasuki sekolah dasar. Pada masa keserasian bersekolah ini secara relative, anak-anak lebih mudah di didik daripada masa sebelum dan sesudahnya. Masa ini diperinci lagi menjadi dua fase, yaitu: e. Karakteristik Fase Anak Sekolah 1) Perkembangan Intelegensi Intelegensi bukanlah suatu yang bersifat kebendaan, melinkan suatu fiksi ilmiah untuk mendeskripsikan perilaku individu yang berkaitan dengan intelektual. Berikut ini adalah berbagai pengertian intelegensi menurut para ahli dalam Symsu Yusuf (2012: 106): (a) Menurut C.P Chaplim (1975) mengartikan intelegensi sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. (b) Anita E. Woolfolk (1995) mengemukakan bahwa menurut teori-teori lama, intelegensi itu meliputi ttiga pengertian yaitu: (1) kemampuan belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh: dan (3) kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya. Selanjutnya Woolfolk mengemukakan intelegensi itu merupakan satu atau beberapa kemampuan untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan dalam rangka memecahkan masalah dan beradaptasi dengan lingkungan. (c) Binet (Sumadi S., 1954) menyatakan bahwa sifat hakikat intelegensi itu ada tiga macam, yaitu: (1) kecerdasan untuk menetapkan dan mempertahankan tujuan tertentu. Semakin cerdas seseorang, akan semakin cakaplah dia membuat tujuan sendiri, mempunyai inisiatif sendiri tidak menunggu perintah saja; (2) kemampuan untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan tersebut; dan (3) kemampuan untuk melakukan otokritik, kemampuan untuk belajar dari kesalahan sebelumnya. Berdasarkan pengertian diatas intelegensi dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki setiap individu dalam beradaptasi dengan lingkungan dan kemampuan dalam memecahkan masalah. Menurut Syamsu Yusuf dalam bukunya psikologi perkembangan anak dan remaja. Pada usia sekolah dasar (6-12 tahun) anak sudah dapat mereaksi ransangan intelektual, atau melaksanakan tugas-tugas belajar yang menuntut kemampuan intelektual atau kemampuan kognitif (seperti: membaca, menulis, dan menghitung). Sebelum masa ini, yaitu masa pra sekolah, daya piker anak masih berfikir imajinatif, berangan-angan (berkhayal), sedangkan pada usia SD daya pikirnya sudah berkembang kea rah berpikir konkret dan rasional (dapat diterima akal). Piaget menamakannya sebagai masa operasi konkret, masa berakhirnya berpikir khayal dan mulai berfikir konkret (berkaitan dengan dunia nyata). Periode ini ditandai dengan tiga kemapuan atau kecakapan baru, yaitu mengklasifikasikan (mengelompokkan), menyusun, atau mengasosiasikan (menghubungkan atau menghitung) angka-angka atau bilangan. Kemampuan yang berkaitan dengan perhitungan (angka), seperti menambah, mengurangi, mengalikan, dan membagi. Disamping itu, pada akhir masa ini anak sudah memiliki kemampuan memecahkan masalah (problem solving) yang sederhana. Kemampuan intelektual pada masa ini sudah cukup untuk menjadi dasar diberikannya berbagai kecakapan yang dapat mengembangkan pola piker atau daya nalarnya. Kepada anak sudah dapat mengembagkan pola pikir atau daya nalarnya. Kepada anak sudah dapat diberikan dasar-dasar keilmuan, seperti membaca, menulis, dan berhitung. Disamping itu, kepada anak diberikan juga pengetahuan-pengetahuan tentang manusia, hewan, lingkungan alam sekitar dan sebagainya. Untuk mengembangkan daya nalarnya dengan melatih anak untuk mengungkapkan pendapat, gagasan, atau penilaiannya terhadap berbagai hal, baik yang dialaminya maupun peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Misalnya, yang berkaitan dengan materi pelajaran, tata tertib sekolah, pergaulan yang baik dengan teman sebaya atau orang lain dan sebagainya. Dalam rangka mengembangkan kemampuan anak, maka sekolah dalam hal ini guru seyogianya memberikan kesempatan kepada naka untuk mengemukakan pertanyaan, memberika komentar atau pendapatanya tentang materi pelajaran yang dibacanya atau dijelaskan guru, membuat karangan, menyususn laporan (hasil study tour atau diskusi kelompok). 2) Perkembangan Bahasa Menurut Syamsu Yusuf dalam bukunya psikologi perkembangan anak dan remaja. “Bahasa adalah sarana berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pengertian ini tercakup semua cara untuk berkomunikasi, dimana pikiran dan perasaan dinyatakan dalam bentuk tulisan, lisan, isyarat atau gerak dengan menggunakan kata-kata, kalimat bunyi, lambag, gambar atau lukisan. Dengan Bahasa semua manusia dapat mengenal dirinya, sesame manusia, alam sekitar, ilmu pengetahuan, dan nilai-nilai moral atau agama.” Bahasa merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain, dimana pikiran dan perasaan dinyatakan dalm bentuk lambing atau symbol untuk mengungkapkan sesuatu pengertian seperti menggunakan lisan, tulisan, isyarat =, bilangan, lukisan, dan mimic muka. Bahasa merupakan faktor hakiki yang membedakan manusia dengan hewan. Syamsu Yusuf (2012: 120) mengemukakan bahwa ada dua tipe perkembangan bahasa anak, yaitu sebagai berikut: (a) Egocentric speech, yaitu berbicara kepada dirinya sendiri (monolog). (b) Socialized speech, yang terjadi ketika berlangsung kontak antara anak dengan lingkungannya. Perkembangan iini dibagi krdalam lima bentuk: (a) adaptasi in information, disini terjadi saling tukar gagasan atau adanya tujuan bersama yang dicari; (b) critism, yang menyangkut penilaian anak terhadap orang lain; (c) command (perintah) request (permintaan) dan threat (ancaman); (d) questions (pertanyaan); dan (e) answer (jawaban). Perkembanagan bahasa dipengaruhi oleh berbagi faktor seperti: faktor kesehatan, status sosial ekonomi keluarga, intelegensi, jenis kelamin, dan hubungan keluarga Usia sekolah dasar ini merupakan masa berkembang pesatnya kemampuan mengenai menguasai pembendaharaan kata (vocabulary). Pada awal masa ini anak sudah menguasai sekitar 2.500 kata kata, dan pada masa akhir (usia 11-12 tahun) telah menguasai sekitar 50.000 kata (Abin Syamsuddin M, 1991; Nana Syaodih S, 1990). Menurut Syamsu Yusuf (2012: 179) terdapat dua factor yang mempengaruhi perkembangan bahasa, yaitu sebagai berikut. (a) Proses jadi matang, dengan perkataan lain anak itu menjadi matang (organ-organ suara/bicara sudah berfungsi) untuk berkata-kata. (b) Proses belajar, yang berarti bahwa anak yang telah matang untuk berbicara lalu mempelajari bahasa orang lain dengan jalan mengimitasi atau meniru ucapan/kata-kata yang didengarnya. Kedua proses ini berlangsung sejak masa bayi dan kanak-kanak, sehingga pada usia anak memasuki sekolah dasar, sudah sampai pada tingakat: (a) dapat membuat kalimat yang lebih sempurna,(b) dapat membuat kalimat majemuk, (c) dapat menyususn da mengajukan pertanyaan. 3) Perkembangan Sosial Menurut Syamsu Yusuf (2012: 180) perkembangan sosial adalah pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga dikatakan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok, tradisi dan moral (agama). Perkembangan sosial pada anak-anak Sekolah Dasar ditandai dengan adanya perluasan hubungan, disamping keluarga juga dia membentuk ikatan baru dengan teman sebaya ((peer group) atau teman sekelas, sehingga ruang gerak hubungan sosialnya telah bertambah luas. Pada usia ini, anak memiliki kesanggupan menyesuaikan diri-sendiri (egosentris) kepada sikap kooperatif (bekerjasama) atau sosiosentris (mau memperhatikan kepentingan orang lain). Anak dapat berminat terhadap kegiatan-kegiatan teman sekolahnya, yang bertambah kuat keinginanya untuk diterima menjadi anggota kelompok (gang), dia merasa tidak senang apabila tidak diterima dalam kelompoknya. Berkat perkembangan sosial, anak dapat menyesuaikan dirinya dengan kelompok teman sebaya maupun dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Dalam proses belajar, kematangan perkembangan sosial ini dapat dimanfaatkan atau dimaknai dengan memberikan tugas-tugas kelompok, baik yang membutuhkan tenaga fisik, maupun tugas yang membutuhkan pikiran. 4) Perkembaagan Emosi Menurut English and English, emosi adalah “A complex feeling state accompanied by characteristic motor and glandular activities.” (Suatu keadaan perasaan yang kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris. Sedangkan menurut Sarlito Wirawan Sarwono berpendapat bahwa emosi merupakan setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik tingkat lemah (dangkal) maupun pada tingkat mendalam. Dari pengertian diatas maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa emosi merupakan suatu keadaan pada seorang individu mengenai perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada saat mennghadapi suatu situasi tertentu. Menurut Syamsu Yusuf (2012: 181) emosi merupakan faktor dominan yang mempengaryhi tingakah laku individu, dalam hal ini temasuk pula perilaku belajar. Emosi yang positif seperti, perasaan senang, bergairah, bersamangat atau rasa ingin tahu akan mempengaruhi individu untuk mengosentrasikan sirinya terhadap aktivitas belajar, seperti memperhatikan guru, membaca buku, aktif dalam berdiskusi, mengerjakan tugas dan disiplin dalam belajar. Sebaliknya apabila menyertai proses emosi negatif, maka proses beljar akan mengalami hambatan, dalam arti individu tidak dapat memusatkan perhatiannya untuk belajar sehingga kemungkinan besar dia akan mengalami kegagalan dalam belajarnya. Maka guru segianya mempunyai kepedulian untuk menciptakan situasi belajar yang menyenangkan atau kondusif bagi terciptanya proses belajar mengajar yang efektif. Symasu Yusuf (2012: 1116) mengemukakan bahwa emosi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) Lebih bersifat subjektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatn dan berfikir; (b) Bersifat fluktuatif; dan (c) Banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera. Mengenai ciri-ciri emosi ini dapat juga dibedakan antara emosi anak dengan emosi orang dewasa sebagi berikut Tabel 2.3 Karakteristik emosi anak dan dewas menurut Symasu Yusuf (2012: 1116) Emosi Anak Emosi Orang Dewasa 1. Berlangsung singkat dan berakhir tiba-tiba. 2. Terlihat lenih hebat/kuat. 3. Bersifat sementara/dsngkal. 4. Lebih sering terjadi. 5. Dapat diketahui dengan jelas dilihat dari tingkah lakunya. 1. Berlangsung lebih lama dan berkahir dengan lmbat. 2. Tidak terlihat hebat/kuat. 3. Lebih mendalam dan lama. 4. Jarang terjadi. 5. Sulit diketahui karena pandai menyembunyikannya. 4. Penggunaan Model Inquiry a. Pengertian Model Inquiry Metode Inquiri adalah cara penyajian pelajaran dengan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan informasi dengan atau tanpa bantuan guru. (Sumantri M. dan Johar Permana, dalam Mazawarul 2012). Metode Inquiri memungkinkan para peserta didik menemukan sendiri informasi-informasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan belajarnya, karena metode Inquiri melibatkan peserta didik dalam proses-proses mental untuk penemuan suatu konsep berdasarkan informasi-informasi yang diberikan guru. Alasan penggunaan metode Inquiri dalam pembelajaran menurut (Sumantri M dan Johar Permana, 2000 : 142-143 dalam Mazrawul 2010) adalah sebagai berikut : 1. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat, guru dituntut untuk kreatif dalam menyajikan pembelajaran agar anak didik dapat menguasai pengetahuan sesuai dengan menyikapi hal tersebut adalah menyajikan pembelajaran dengan menggunakan metode Inquiri. 2. Melatih peserta didik untuk memiliki kesadaran sendiri tentang kebutuhan belajarnya. Metode ini menekankan pada kreatifan siswa menemukan suatu konsep pembelajaran dengan kemampuan yang dimilikinya. Dengan langkah pembelajaran tersebut siswa akan dapat memiliki kesadaran tentang kebutuhan belajarnya. 3. Siswa akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik. Pemahaman terhadap pembelajaran IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) jika mereka dilibatkan secara aktif dalam melakukan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), metode Inquiri membantu perkembangan pemahaman proses-proses ilmiah, berfikir kritis, bersikap positif dan membentuk sikap keilmiahan dalam diri siswa. Langkah-langkah yang ditempuh dalam penggunaan metode Inquiri : 1. Orientasi siswa pada masalah. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistic yang dibutuhkan dan memotivasi siswa terlibat pada pemecahan masalah. 2. Mengorganisasikan siswa dalam belajar. Guru membantu siswa dalam mengidentifikasi dan mengorganisasikan tugas-tugas yang berkaitan dengan masalah serta menyediakan alat. 3. Membimbing penyelidikan individual mapun kelompok. Langkah yatu digunakan dalam metode Inquiri dimulai dengan mengajarkan beberapa pertanyaan dengan memberikan beberapa informasi secara singkat, diluruskan agar tidak tersesat. 4. Menyajikan atau mempresentasikan hasil kegiatan. Berdasarkan bahan yang ada siswa didorong untuk berfikir sendiri sehingga dapat menemukan prinsip umum, guru dalam membimbing siswa tergantung pada kemampuan siswa dan materi yang dipelajari. metode Inquiri memberi kesempatan siswa menyelidiki dan menarik kesimpulan. Guru membantu mengarahkan siswa dalam menyajikan tugasnya. 5. Mengevaluasikan kegiatan. Guru membantu siswa untuk merefleksi pada penyelidikan dan proses penemuan yang digunakan. Tujuan metode Inquri adalah : 1. Membentuk dan mengembangkan rasa percaya diri. 2. Mendorong siswa untuk berfikir dan bekerja atas inisiatif Sendiri 3. Memberi siswa kesempatan untuk belajar sendiri 4. Mendorong siswa untuk memperoleh informasi (Hotman Simanjuntak dan Seselia, 2008:6) Keunggulan metode Inquiri ini adalah : 1. Perhatian siswa akan terputus sepenuhnya pada anak yang di demonstrasikan atau di-Eksperimenkan. 2. Memberikan pengalaman praktis yang dapat membentuk ingatan yang kuat dan keterampilan dalam berbuat. 3. Hal-hal yang menjadi teka-teki siswa dapat menjawab melalui eksperimen. 4. Menghindarkan kesalahan siswadalam mengambil kesimpulan karena mereka mengamati secara langsung jalannya proses demonstrasi yang diadakan atau eksperimen. (Fat Hurrahman, 2008 dalam Mazrawul 2010). Kelemahan Metode Inquri adalah: 1. Persiapan dan pelaksanaannya memakan waktu yang cukup lama. 2. Metode ini tidak efektif bila tidak ditunjang dengan peralatan yang lengkap sesuai dengan kebutuhannya. 3. Sukar dilaksanakan bila siswa belum matang kemampuan untuk melaksanakannya. (Fat Hurrahman, dalam Mazrawul 2010). 4. Ada beberapa hal yang memang harus diperhatikan ketika akan menggunakan metode Inkuiri ini. Selain memiliki keunggulan, namun kelemahan juga banyak. Persiapan dan atisipasi pelaksanaan harus benar-benar direncanakan dengan matang. Manfaat yang diperoleh dari penggunaan metode Inquiri adalah sebagai berikut : 1. Pemahaman peserta didik akan lebih mantap karena diberi pengalaman langsung untuk mencari dan menemukan sendiri fakta. 2. Membina kemapuan belajar sendiri sesuai kemampuan, minat dan Kebutuhannya. 3. Membina tumbuhnya sikap dan kepercayaan diri serta upaya belajar sepanjang hayat 4. Mengembangkan kemampuan menggali dan menyadari masalah serta memecahkannya. 5. Metode Inkuri sangat baik digunakan dalam pembelajaran. Metode ini membuat siswa terpusat dengan materi yang sedang dibahas, memperkecil kesempatan siswa untuk bermain sendiri saat pelajaran, dan memberikan pengalaman belajar yang menarik dan bermakna bagi siswa. 5. Pembelajaran Tematik Terpadu Menurut Materi Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013 (2014 : 15), pembelajaran tematik terpadu diyakini sebagai salah satu model pembelajaran yang efektif (highly effective teachingmodel) karena mmapu mewadahi dan menyentuh secara terpadu dimensi emosi, fisik, dan akademik peserta didik di dalam kelas atau di lingkungan sekolah. Sedangkan menurut Abdul Majid dalam Implementasi Kurikulum 2013 ( 2014 : 119), konsep pembelajaran tematik adalah merupakan pengembangan dari pemikiran dua orang tokoh yakni Jacob tahun 1989 dengan konsep pembelajaran interdisipliner dan fogarty pada tahun 1991 dengan konsep pembelajaran integratif. Pembelajaran tematik merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran yang secara sengaja mengaitkan beberapa aspek baik dalam intra mata pelajaran maupun antar mata pelajaran. Dengan adanya pemaduan itu peserta didik akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan secara utuh sehingga pembelajaran jadi bermakna bagi peserta didik. B. Hasil Penelitian Terdahulu Yang Relevan Siswa yang mengikuti pembelajaran tindakan tentang materi perkembangan teknologi dari siswa kelas IV SDN Kebon Gedang berjumlah 21 orang. Penelitian tindakan kelas dilaksanakan sebanyak II Siklus. Data yang dikumpulkan dalam penelitian tindakan kelas ini terdiri dari data hasil observasi tentang keaktifan siswa, data tentang penilaian terhadap kemmapuan guru melaksanakan pembelajaran jenis sumber daya alam dengan metode inkuiri dan pengukuran dari hasil belajar siswa yang diperoleh pada tes yang dilakukan setiap akhir siklus. Data yang diperoleh dari pengukuran berupa nilai tes dianalisis dengan menggunakan perhitungan matematika berupa persentese dan nilai rata-rata kelas. Sedangkan data yang diperoleh dari hasil observasi dianalisis dengan cara persentase serta mendeskripsikan setiap penilaian yang dilakukan terhadap indicator pengamatan. Siklus I 1. Perencanaan Tindakan Siklus I diantaranya: a. Guru sebagai peneliti membuat perencanaan awal dengan mengidentifikasi masalah yang terjadi didalam kelas dan mencari alternatif pemecahan masalah dengan menggunakan pendekatan atau model pembelajaran tertentu. b. Dalam hal ini, peneliti menggunakan metode Inquiri untuk meningkatkan keaktifan siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri Kebon Gedang dalam pembelajaran perkembangan teknologi. c. Peneliti melakukan perencanaan penelitian tindakan dengan membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil Standar Kompotensi memahami sejarah kenampakan alam dan keragaman suku bangsa dilingkungan Kabupaten/Kota dan Provinsi, kompetensi dasar tentang perkembangan teknologi. d. Pada siklus ini, peneliti menggunakan sumber belajar berupa gambar yang dapat menarik minat siswa. e. Peneliti menyiapkan media gambar agar siswa dapat mengamati pada saat pembelajaran serta lembar hasil belajar siswa. Pelaksanaan Tindakan Siklus I ini menggunakan konsep belajar kelompok untuk mengetahui tingkat kemampuan masing-masing kelompok dengan menggunakan media gambar melalui metode Inquiri. 2. Pelaksanaannya Dilakukan satu kali pertemuan. Adapun prosedur pelaksanaan adalah sebagai berikut : a. Peneliti menyampaikan tujuan yang akan dicapai. b. Peneliti menyuruh siswa mengamati gambar yang ditempelkan di papan tulis. c. Peneliti memberi tugas kepada kelompok untuk menulis pentingnya sumber energi bagi kelangsungan hidup manusia yang salah satunya berdampak terhadap tekhnologi. d. Peneliti menyuruh salah satu dari ketua kelompok untuk membaca hasil kelompoknya. e. Peneliti memberi kesempatan kepada kelompok lain untuk menanggapi hasil kerjanya. f. Peneliti memberikan soal evaluasi untuk mengukur hasil belajar siswa tentang materi jenis energi sesuai dengan tujuan yang dirumuskan. g. Peneliti memberikan kesimpulan. Sedangkan pengamatan sendiri dilakukan oleh kolaborator terhadap siswa selama proses pembelajaran, dengan menggunakan alat observasi yaitu panduan observasi. Berdasarkan hasil observasi pelaksanaan tindakan siklus I yang diperoleh, berdasarkan indikator-indikator kinerja siswa setelah diberikan tindakan. 3. Observasi Pada saat proses pembelajaran berlangsung peneliti (observer) mencatat hal-hal yang terjadi selama pembelajaran. Observasi dilakukan secara kolaboratif oleh pengajar (peneliti) dan dibantu oleh rekan guru yang bertugas sebagai observer. Peneliti mengamati aktifitas kerja kelompok siswa 4. Refleksi Setelah tindakan berakhir selanjutnya diadakan refleksi yang tujuannya untuk mengevaluasi kekurangan dan kelebihan dari tindakan yang telah dilakukan dan menjadi gambaran atau acuan untuk merancang dan mempersiapkan tindakan berikutnya. 5. Hasil Pengamatan Tabel 2.4 Tabel Aktivis Belajar Siswa NO INDIKATOR CAPAIAN TINDAKAN SIKLUS 1 1. Bertanya 44 % 65 % 2. Menjawab 64 % 60 % 3. Mengeluarkan pendapat. 37 % 58 % Rata –rata aktifitas : 48,33 % 61 % Sumber : Sdn Cibadak 02 Dari tabel Aktivis Belajar Siswa tersebut diatas terlihat yaitu pada pra tindakan hanya 48,33% dan pada siklus I 61 %. Dari tabel Aktivis Belajar Siswa tersebut diatas terlihat bahwa masih ada kekurangan terhadap aktivitas belajar siswa dan pemahaman materi perkembangan teknologi yaitu pada pra tindakan hanya 48,33% dan pada siklus I hanya 61 %. Oleh karena itu untuk mencapai hasil yang maksimal akan dilakukan penelitian di siklus II. Siklus II 1. Perencanaan Tindakan Siklus II yaitu: a. Peneliti membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. b. Peneliti menyiapkan Media,lembar Observasi siswa sebagai perencanaan awal untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi di dalam kelas pada tindakan siklu II. c. Peneliti mencari alternative pemecahan masalah dengan menggunakan pendekatan atau metode yang sama. Dalam hal ini
Item Type: | Thesis (Skripsi(S1)) |
---|---|
Subjects: | S1-Skripsi |
Divisions: | Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan > PGSD 2014 |
Depositing User: | Iyas - |
Date Deposited: | 28 Jun 2016 09:31 |
Last Modified: | 28 Jun 2016 09:31 |
URI: | http://repository.unpas.ac.id/id/eprint/5185 |
Actions (login required)
View Item |