MODEL PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJA SAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV SDN CIPAMEUNGPEUK KABUPATEN SUMEDANG PADA SUBTEMA KEBERSAMAAN DALAM KEBERAGAMAN

ULFAH SARI ANUGRAH, 105060185 (2016) MODEL PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJA SAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV SDN CIPAMEUNGPEUK KABUPATEN SUMEDANG PADA SUBTEMA KEBERSAMAAN DALAM KEBERAGAMAN. Skripsi(S1) thesis, FKIP UNPAS.

[img] Text
COVER.docx

Download (67kB)
[img] Text
lembar pengesahan dll.docx

Download (49kB)
[img] Text
BAB I.docx

Download (23kB)
[img] Text
BAB II baruuuuuu.docx

Download (147kB)
[img] Text
BAB III.docx

Download (79kB)
[img] Text
BAB IV.docx
Restricted to Repository staff only

Download (1MB)
[img] Text
BAB V.docx
Restricted to Repository staff only

Download (22kB)
[img] Text
DAFTAR PUSTAKA.docx

Download (19kB)
[img] Text
RIWAYAT HIDUP.docx

Download (130kB)

Abstract

Model Problem Based Learning untuk Meningkatkan Sikap Kerja Sama dan Hasil Belajar Siswa Kelas IV SDN Cipameungpeuk Sumedang pada Subtema Kebersamaan dalam Keberagaman ABSTRAK Nurul Ulfah Sari Anugrah 105060185 Penelitian yang berjudul “Model Problem Based Learning untuk Meningkatkan Sikap Kerja Sama dan Hasil Belajar Siswa Kelas IV SDN Cipameungpeuk Sumedang pada Subtema Kebersamaan dalam Keberagaman” dilatar belakangi karena adanya permasalahan di lapangan mengenai hasil belajar siswa yang sebagian besar belum mencapai ketuntasan serta kurangnya penerapan sikap kerja sama siswa. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor dari guru yang masih menggunakan metode konvensiaonal secara parsial dan faktor siswa itu sendiri yang masih belum biasa berperan aktif serta siswa cenderung hanya menerima informasi dari guru saja pada saat pembelajaran. Model problem based learning adalah suatu model pembelajaran yang menyajikan suatu masalah kehidupan nyata yang diangkat menjadi suatu pembelajaran sehingga merangsang dan menjadikan peserta didik untuk aktif belajar, meningkatkan kemmpuan berpikir kritis dan mengembangkan kemampuannya dalam pembelajaran. Penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan kelas, yang terdiri dari III siklus. Setiap siklus terdiri dari beberapa tindakan, perencanaan, pelaksanaan, analisis dan refleksi. Hasil dari penelitian siklus I menunjukan hasil belajar siswa mencapai presentase ketuntasan sebesar 70% dengan rata-rata nilai siswa 3, untuk nilai sikap kerja sama siswa pada siklus ini dikategorikan pada katagori (cukup baik) dengan nilai rata-rata siswa 2,5. Sedangkan siklus II yang merupakan perbaikan dari siklus I mengalami peningkatan sebesar 82.5% dengan nilai rata-rata siswa 3.35, dan untuk nilai sikap kerja sama pada sisklus II ini dikategorikan ke dalam kategori (baik). Dan pada siklus III yang merupakan penyempurnaan dari siklus II mengalami peningkatan sebesar 92.5% dengan nilai rata-rata 3.605, dan untuk nilai sikap kerja sama pada siklus III ini dikategorikan ke dalam kategori (baik). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa model problem based learning dapat meningkatkan sikap kerja sama dan hasil belajar siswa kelas IV SDN Cipameungpeuk Sumedang pada subtema kebersamaan dalam keberagaman. Dengan demikian, model problem based learning dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif model pembelajaran untuk diterapkan pada pembelajaran tematik. Kata kunci: hasil belajar siswa, model problem based learning, sikap kerja sama, subtema kebersamaan dalam keberagaman.   BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 butir 19, membatasi kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum merupakan salah satu unsur yang memberikan kontribusi untuk mewujudkan proses berkembangnya kualitas potensi peserta didik tersebut. Kurikulum 2013 dikembangkan berbasis pada kompetensi sangat diperlukan sebagai instrumen untuk mengarahkan peserta didik menjadi: (1) manusia berkualitas yang mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah; (2) manusia terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri; dan (3) warga negara yang demokratis, bertanggung jawab. Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dan KTSP 2006 yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu. Berdasarkan observasi awal yang dilakukan di SDN Cipameungpeuk Sumedang, penulis memperoleh bahwa banyak peserta didik yang sulit menjelaskan kembali tentang materi-materi pada pembelajaran tematik. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil belajar siswa yang masih rendah. Hasil evaluasi belajar siswa pada subtema kebersamaan dalam keberagaman pada pembelajaran 4, dari jumlah 40 siswa, 17 siswa memperoleh nilai di atas 2.88 , 3 siswa memperolehh nilai 2.8, 3 siswa memperoleh nilai 2.6, 3 siswa memperoleh nilai 2.4, dan 14 siswa memperoleh di bawah nilai 2.4. Sedangkan standar KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum) yang telah ditetapkan adalah 2.88. Hal ini menunjukkan bahwa hanya 37.5 % atau 15 siswa yang berhasil mencapai KKM, dan 62.5 % atau 25 siswa yang memperoleh nilai di bawah KKM. Hal ini merupakan suatu masalah yang penulis anggap sangat mendesak untuk segera diatasi. Berdasarkan permasalahan yang diperoleh dari hasil observasi di SDN Cipameungpeuk Sumedang, maka diperlukan adanya suatu tindakan yang dilakukan untuk menjawab semua permasalahan yang timbul pada pembelajaran tematik di kelas IV yaitu dengan melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Salah satunya adalah dengan menerapkan pendekatan dan model pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan kondisi siswa dan materi ajar. Salah satu alternatif dalam menyelesaikan permasalahan pembelajaran tematik adalah dengan menerapkan model Problem Based Learning (PBL). Arends (Trianto, 2010: 92) menjelaskan, bahwa Problem Based Learning (PBL) adalah suatu model pembelajaran di mana siswa mengerjakan permasalahan yang autentik dengan maksud menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterempilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian, dan percaya diri. Pembelajaran berbasis masalah merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang peserta didik untuk belajar. Dalam kelas yang menerapkan pembelajaran berbasis masalah, peserta didik bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata (real world). (Tim Kemendikbud, 2014: 26) Berdasarkan uraian di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa PBL sebaiknya digunakan dalam pembelajaran karena dengan PBL akan terjadi pembelajaran yang bemakna. Siswa yang belajar memecahkan masalah akan membuat mereka menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukannya. Artinya belajar tesebut ada pada konteks aplikasi konsep. Belajar dapat semakin bermaka dan diperlukan ketika siswa berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan. Selain itu melalui PBL ini siswa dapat mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan secara berkesinambungan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya apa yang mereka lakukan sesuai dengan aplikasi suatu konsep atau teori yang mereka temukan selama pembelajaran berlangsung. PBL juga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok. Berdasarkan paparan latar belakang di atas, penulis mengangkat judul penelitian tindakan kelas yang berjudul “Model Problem Based Learning untuk Meningkatkan Sikap Kerja Sama dan Hasil Belajar Siswa Kelas IV SDN Cipameungpeuk Kabupaten Sumedang pada Subtema Kebersamaan dalam Keberagaman”. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas kemudian penulis melakukan tanya jawab dengan peserta didik dan guru kelas 4 secara garis masalah dikemukakan peserta didik dan guru adalah kurang minatnya siswa dalam memahami materi sehingga siswa tidak dapat menemukan pemecahan masalah pada beberapa materi dan tugas yang diberikan, sarana dan prasarana penunjang pembelajaran yang belum memadai dan penggunaan model pembelajaran yang kurang tepat dan dikuasai guru membuat pembelajaran menjadi kurang efektif. Hal ini ditunjukkan dengan kenyataan bahwa waktu belajar siswa dalam kelas masih ada yang terbuang, kegiatan siswa dalam pembelajaran pun masih belum mencapai standar keberhasilan yang ditetapkan. Menghadapi kenyataan ini, penulis mengajak guru kelas IV untuk merefleksi dan mengevaluasi aspek-aspek pengalaman dirinya mengelola pembelajaran tematik di kelas IV. Dari hasil kegiatan refleksi tersebut penulis dan guru kelas IV menyadari pelaksanaan model pembelajaran yang kurang efektif dan kurang ditunjang oleh wawasan, persiapan, dan alat penunjang yang memadai. Dari hasil identifikasi tersebut terdorong untuk bermitra dengan guru kelas IV dalam kajian tindakan tentang penggunaan model problem based learning yang ditunjang oleh penggunaan teknik mengajar dan fasilitas pendukung yang kondusif untuk meningkatkan kemampuan peserta didik terutama dalam sikap kerja sama dan hasil belajar yang akan dijadikan fokus penelitian oleh penulis. Kegiatan kaji tindak ini akan dilakukan dalam bentuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK). 1.3 Rumusan dan PembatasanMasalah 1.3.1 Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan, maka secara umum penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut. 1) Apakah model problem based learning dapat meningkatkan sikap kerja sama dan hasil belajar siswa dalam subtema kebersamaan dalam keberagaman di kelas IV SDN Cipameungpeuk Sumedang? 2) Efektifkah penerapan model problem based learning pada pembelajaran tematik subtema kebersamaan dalam keberagaman kelas IV SDN Cipameungpeuk Sumedang? 1.3.2 Pembatasan Masalah Berdasarkan rumusan masalah di atas, masalah yang muncul sangatlah kompleks sehingga perlu dibatasi. Pembatasan masalah ini bertujuan agar pembatasan masalah tidak terlalu luas, penulis membatasi permasalahan yang akan menjadi bahan penelitian sebagai berikut. 1) Kemampuan materi yang diterima siswa selama penelitian berlangsung adalah pembelajaran tematik pada tema indahnya kebersamaan, subtema kebersamaan dalam keberagaman. 2) Fokus masalah dalam penelitian ini adalah kurangnya siswa dalam sikap kerja sama dan hasil belajar siswa pada subtema kebersamaan dalam keberagaman. 3) Model pembelajaran yang digunakan adalah model problem based learning atau model pembelajaran berbasis masalah pada subtema kebersamaan dalam keberagaman. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1) untuk mengetahui peningkatan sikap kerja sama dan hasil belajar siswa dengan menggunakan problem based learning pada subtema kebersamaan dalam keberagaman di kelas IV SDN Cipameungpeuk Sumedang; 2) untuk mengetahui keefektifan penerapan model problem based learning dalam meningkatkan sikap kerja sama dan hasil belajar siswa pada subtema kebersamaan dalam keberagaman di kelas IV SDN Cipameungpeuk Sumedang. 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoretis Bahwa model Problem based learning (PBL) atau pembelajaran berbasis masalah dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan sikap kerja sama dan hasil belajar siswa khususnya bagi pembelajaran tematik di kelas IV pada subtema kebersamaan dalam keberagaman. 1.5.2 Manfaat Praktis Hasil dari pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini akan memberikan manfaat yang antara lain sebagai berikut. 1) Bagi guru Dengan dilaksanakan PTK ini, guru memperoleh wawasan dalam memilih dan menggunakan alternatif pembelajaran yang tepat dalam menyampaikan pembelajaran tematik sehingga dapat memperbaiki proses pembelajaran dan mengembangkan profesionalisme keguruannya. 2) Bagi siswa Hasil penelitian ini dapat meningkatkan sikap kerja sama dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran tematik dan untuk memotivasi kemauan siswa belajar tematik. 3) Bagi sekolah Hasil penelitian ini akan memberikan sumbangan baik bagi sekolah itu sendiri dalam rangka perbaikan pembelajaran tematik. 4) Bagi penulis selanjutnya Hasil penelitian ini akan memberikan sumbangan baik bagi sekolah itu sendiri dalam rangka perbaikan pembelajaran tematik. 1.6 Definisi Operasional Dengan memperhatikan judul penelitian, ada beberapa istilah yang perlu dijelaskan agar tidak terjadi salah penafsiran. 1) Model Problem based learning Problem based learning (PBL) atau pembelajaran berbasis masalah yaitu suatu model pembelajaran yang menghadapkan siswa pada masalah dalam kehidupan sehari-hari untuk belajar. 2) Meningkatkan Meningkatkan adalah suatu proses perubahan kearah yang lebih baik. 3) Kerja sama Kerja sama adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama oleh lebih dari satu orang. Kerjasama bisa bermacam-macam bentuknya, namun semua kegiatan yang dilakukan diarahkan guna mewujudkan tujuan bersama. 4) Hasil Belajar Hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan saja. Artinya, hasil pembelajaran yang dikategorisasi oleh para pakar pendidikan sebagiamana tersebut di atas tidak dapat dilihat secara fragmentaris atau terpisah, melainkan komprehensif Jadi teori dan kesimpulan dari “Model Problem Based Learning untuk Meningkatkan Sikap Kerja Sama dan Hasil belajar Siswa Kelas IV SDN Cipameungpeuk Kabupaten Sumedang pada Subtema Kebersamaan dalam Keberagaman” berdasarkan beberapa penjelasan tersebut di atas adalah suatu kegiatan dengan menggunakan pembelajaran yang menghadapkan siswa pada masalah dalam kehidupan sehari-hari untuk belajar secara bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama yang pada akhirnya terjadi perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan saja. Artinya, hasil pembelajaran yang dikategorisasi oleh para pakar pendidikan sebagiamana tersebut di atas tidak dapat dilihat secara fragmentaris atau terpisah, melainkan komprehensif BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Model Problem Based Learning 2.1.1 Pengertian Model Problem Based Learning Ibrahim dan Nur (dalam Rusman, 2011: 241) mengemukakan bahwa Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk merangsang berpikir tinggi siswa dalam situasi yang berorientasi pada masalah dunia nyata, termasuk di dalamnya belajar bagaimana belajar. Pembelajaran berbasis masalah merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang peserta didik untuk belajar. Dalam kelas yang menerapkan pembelajaran berbasis masalah, peserta didik bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata (real world). (Tim Kemendikbud, 2014: 26) Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu metode pembelajaran yang menantang peserta didik untuk “belajar bagaimana belajar,” bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. (Tim Kemendikbud, 2014: 26) Dari beberapa uraian mengenai pengertian Problem Based Learning (PBL) dapat disimpulkan bahwa PBL merupakan model pembelajaran yang menghadapkan siswa pada masalah dunia nyata (real world) untuk memulai pembelajaran dan merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa melalui pembelajaran tim atau kelompok. Model pembelajaran berbasis masalah dilakukan dengan adanya pemberian rangsangan berupa masalah-masalah yang kemudian dilakukan pemecahan masalah oleh peserta didik yang diharapkan dapat menambah keterampilan peserta didik dalam pencapaian materi pembelajaran. 2.1.2 Karakteristik Model Problem Based Learning Ciri yang paling utama dari model Problem Based Learning yaitu dimunculkannya masalah pada awal pembelajarannya. Menurut Rusman (2011: 232-233) berbagai pengembangan pengajaran berdasarkan masalah telah memberikan model pengajaran itu memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) permasalahan menjadi staring point dalam belajar; 2) permasalahan yang diangkat adalah permasalahan yang ada di dunia nyata tidak terstruktur; 3) permasalahan membutuhkan perspektif ganda (multiple perspective); 4) permasalahan, menantang pengetahuan yang dimiliki oleh siswa, sikap, dan kompetensi yang kemudian membutuhkan identifikasi kebutuhan belajar dan bidang baru dalam belajar; 5) belajar pengarahan diri menjadi hal yang utama; 6) pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam, penggunaannya, dan evaluasi sumber informasi merupakan proses yang esensial dalam PBM; 7) belajar adalah kolaboratif, komunikasi, dan kooperatif; 8) pengembangan keterampilan inquiry dan pemecahan masalah sama pentingnya dengan penguasaan isi pengetahuan untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan; 9) keterbukaan proses dalam PBM meliputi sintesis dan integrasi dari sebuah proses belajar; dan 10) PBM melibatkan evaluasi dan review pengalaman siswa dan proses belajar. Adapun Karakteristik pendekatan PBL menurut Tim Kemendikbud (2014: 27) mengacu pada hal-hal sebagai berikut ini. 1) Kurikulum: PBL tidak seperti pada kurikulum tradisional karena memerlukan suatu strategi sasaran di mana proyek sebagai pusat. 2) Responsibility: PBL menekankan responsibility dan answerability para peserta didik ke diri dan kelompoknya. 3) Realisme: kegiatan peserta didik difokuskan pada pekerjaan yang serupa dengan situasi yang sebenarnya. Aktivitas ini mengintegrasikan tugas otentik dan menghasilkan sikap profesional. 4) Active-learning : menumbuhkan isu yang berujung pada pertanyaan dan keinginan peserta didik untuk menemukan jawaban yang relevan sehingga dengan demikian telah terjadi proses pembelajaran yang mandiri. 5) Umpan Balik: diskusi, presentasi, dan evaluasi terhadap para peserta didik menghasilkan umpan balik yang berharga. Ini mendorong kearah pembelajaran berdasarkan pengalaman. 6) Keterampilan Umum: PBL dikembangkan tidak hanya pada keterampilan pokok dan pengetahuan saja, tetapi juga mempunyai pengaruh besar pada keterampilan yang mendasar seperti pemecahan masalah, kerja kelompok, dan self-management. 7) Driving Questions: PBL difokuskan pada pertanyaan atau permasalahan yang memicu peserta didik untuk berbuat menyelesaikan permasalahan dengan konsep, prinsip dan ilmu pengetahuan yang sesuai. 8) Constructive Investigations: sebagai titik pusat, proyek harus disesuaikan dengan pengetahuan para peserta didik. 9) Autonomy: proyek menjadikan aktivitas peserta didik sangat penting. Dari beberapa penjelasan mengenai karakteristik proses problem based learning dapat disimpulkan bahwa tiga unsur yang yang esensial dalam proses problem based learning yaitu adanya suatu permasalahan, pembelajaran berpusat pada siswa, dan belajar dalam kelompok kecil. Model problem based learning melibatkan siswa dalam penyelidikan pilihan sendiri dan memungkinkan mereka menginterpretasikan dan menjelaskan fenomena dunia nyata dan membangun pemahamannya tentang fenomena itu. 2.1.3 Tujuan Model Problem Based Learning Rusman (2011: 238) mengemukakan bahwa tujuan Problem Based Learning adalah penguasaan isi belajar dari disiplin heuristic and pengembangan keterampilan pemecahan masalah. Pembelajaran berbasis masalah juga berhubunngan dengan belajar tentang kehidupan yang lebih luas (lifewide learning), keterampilan memaknai informasi, kolaboratif dan belajar tim, dan keterampilan berpikir reflektif dan evaluatif. Berbeda dengan tujuan Problem Based Learning menurut Ibrahim dan Nur (2002) dalam Rusman (2011: 242) yang lebih rinci, yaitu: (1) membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir dan memecahkan masalah; (2) belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata; (3) menjadi para siswa yang otonom. Berikut ini adalah fakta empirik keberhasilan pendekatan dalam proses dan hasil pembelajaran. 1) Melalui PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Peserta didik yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika peserta didik berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan. 2) Dalam situasi PBL, peserta didik mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. 3) PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif peserta didik dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok. (Tim Kemendikbud, 2014: 27) Berdasarkan beberapa uraian mengenai tujuan model problem based learning, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran ini adalah sebuah cara memanfaatkan masalah untuk menimbulkan motivasi belajar. Suksesnya pelaksanaan pembelajaran ini sangat bergantung pada seleksi, desain, dan pengembangan masalah. Hal penting adalah menentukan tujuan yang ingin dicapai dalam penggunaan model pembelajaran ini. Problem based learning ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dalam memecahkan masalah dan mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok. Problem based learning juga berhubungan dengan belajar tentang kehidupan yang lebih luas (lifewide learning), keterampilan memaknai informasi, kolaboratif dan keterampilan berpikir reflektif dan evaluatif. 2.1.4 Tahap-tahap Model Problem Based Learning Ibrahim dan Nur (2000: 13) dan Ismail (2002: 1) dalam Rusman (2011: 243) mengemukakan bahwa tahapan-tahapan Model Problem Based Learning adalah sebagai berikut. Tabel 2.3 Tahapan-Tahapan Model PBL FASE-FASE PERILAKU GURU Fase 1 Orientasi siswa kepada masalah. Menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yg dibutuhkan. Memotivasi siswa untuk terlibat aktif dalam pemecahan masalah yang dipilih. Fase 2 Mengorganisasikan siswa. Membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Fase 3 Membimbing penyelidikan individu dan kelompok. Mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Fase 4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, model dan berbagi tugas dengan teman. Fase 5 Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari /meminta kelompok presentasi hasil kerja. Fase 1: Mengorientasikan Siswa pada Masalah Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan. Dalam penggunaan PBL, tahapan ini sangat penting dimana guru harus menjelaskan dengan rinci apa yang harus dilakukan oleh siswa. serta dijelaskan bagaimana guru akan mengevaluasi proses pembelajaran. Ada empat hal yang perlu dilakukan dalam proses ini, yaitu sebagai berikut. 1) Tujuan utama pengajaran tidak untuk mempelajari sejumlah besar informasi baru, tetapi lebih kepada belajar bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadi siswa yang mandiri. 2) Permasalahan dan pertanyaan yang diselidiki tidak mempunyai jawaban mutlak “benar“, sebuah masalah yang rumit atau kompleks mempunyai banyak penyelesaian dan seringkali bertentangan. 3) Selama tahap penyelidikan, siswa didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi. 4) Selama tahap analisis dan penjelasan, siswa akan didorong untuk menyatakan ide-idenya secara terbuka dan penuh kebebasan. Fase 2: Mengorganisasikan Siswa untuk Belajar Di samping mengembangkan keterampilan memecahkan masalah, pembelajaran PBL juga mendorong siswa belajar berkolaborasi. Pemecahan suatu masalah sangat membutuhkan kerjasama dan sharing antar anggota. Oleh sebab itu, guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok siswa dimana masing-masing kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. Fase 3: Membantu Penyelidikan Mandiri dan Kelompok Penyelidikan adalah inti dari PBL. Meskipun setiap situasi permasalahan memerlukan teknik penyelidikan yang berbeda, namun pada umumnya tentu melibatkan karakter yang identik, yakni pengumpulan data dan eksperimen, berhipotesis dan penjelasan, dan memberikan pemecahan. Pengumpulan data dan eksperimentasi merupakan aspek yang sangat penting. Pada tahap ini, guru harus mendorong siswa untuk mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen (mental maupun aktual) sampai mereka betul-betul memahami dimensi situasi permasalahan. Tujuannya adalah agar peserta didik mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri. Fase 4: Mengembangkan dan Menyajikan Artefak (Hasil Karya) dan Mempamerkannya Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan artefak (hasil karya) dan pameran. Artefak lebih dari sekedar laporan tertulis, namun bisa suatu video tape (menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan), model (perwujudan secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya), program komputer, dan sajian multimedia. Tentunya kecanggihan artefak sangat dipengaruhi tingkat berpikir siswa. Langkah selanjutnya adalah mempamerkan hasil karyanya dan guru berperan sebagai organisator pameran. Akan lebih baik jika dalam pemeran ini melibatkan siswa lainnya, guru-guru, orang tua, dan lainnya yang dapat menjadi “penilai” atau memberikan umpan balik. Fase 5: Analisis dan Evaluasi Proses Pemecahan Masalah Fase ini dimaksudkan untuk membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses mereka sendiri dan keterampilan penyelidikan dan intelektual yang mereka gunakan. Selama fase ini guru meminta siswa untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan belajarnya. Menurut Forgarty (1997:3) dalam Rusman (2011: 243) Pembelajaran berbasis masalah dimulai dengan masalah yang tidak terstruktur sesuatu yang kacau. Dari kekacauan ini siswa menggunakan berbagai kecerdasannya melalui diskusi dan penelitian untuk menentukan isu nyata yanga ada. Langkah-langkah yang akan dilalui oleh siswa dalam sebuah proses pembelajaran berbasis masalah adalah: (1) menemukan masalah; (2) mendefinisikan masalah; (3) mengumpulkan fakta dengan menggunakan KND; (4) pembuatan hipotesis; (5) penelitian; (6) rephrasing masalah; (7) menyuguhkan alternatif; dan (8) mengusulkan solusi. Berdasarkan beberapa uraian di atas mengenai langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah, dapat saya simpulkan bahwa dalam langkah-langkah pembelajarannya berorientasi siswa pada masalah, mengumpulkan fakta, membuat hipotesis, menganalisis, mengevaluasi proses pemecahan masalah. Dimana lingkungan belajar yang harus disiapkan dalam model pembelajaran ini adalah lingkungan belajar yang terbuka, menggunakan proses demokrasi, dan menekankan pada peran aktif siswa. Seluruh proses membantu siswa untuk menjadi mandiri dan otonom yang percaya pada keterampilan intelektual mereka sendiri. Lingkungan belajarnya menekankan pada sentral anak bukan pada guru. 2.1.5 Kelebihan dan Kekurangan Model Problem Based Learning 2.1.5.1 Kelebihan Model Problem Based Learning Sebagai suatu model pembelajaran, Problem Based Learning (PBL) memiliki beberapa kelebihan, diantaranya: 1) menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa; 2) meningkatkan motivasi dan aktivitas pembelajaran siswa; 3) membantu siswa dalam mentransfer pengetahuan siswa untuk memahami masalah dunia nyata; 4) membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Di samping itu, pembelajaran berbasis masalah dapat mendorong siswa untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil mauppun proses belajarnya; 5) mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru; 6) memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata; 7) mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir; 8) mengendalikan siswa dalam menguasai konsep-konsep yang dipelajari guna memecahkan masalah dunia nyata. (Sanjaya, 2007: 189) Kemudian Menurut Prahastiwi (2013), ada 4 kelebihan model Problem Based Learning yaitu sebagai berikut. 1) Mendorong kerja sama dalam menyelesaikan tugas. 2) Mendorong siswa melakukan pengamatan dan dialog dengan orang lain. 3) Melibatkan siswa dalam penyelidikan pilihan sendiri. Hal ini memungkinkan siswa menjelaskan dan membangun pemahamannya sendiri mengenai fenomena tersebut. 4) Membantu siswa menjadi pembelajar yang mandiri. Bimbingan guru kepada siswa secara berulang-ulang mendorong dan mengarahkan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari penyelesaian masalah mereka sendiri. Dengan begitu siswa belajar menyelesaikan tugas-tugas mereka secara mandiri dalam hidupnya kelak. (buanatiwi.wordpress.com/2013/04/09/model-problem-based-learning/) Berdasarkan uraian di atas mengenai kelebihan model problem based learning, dapat saya simpulkan bahwa setiap model pembelajaran memiliki kelebihan masing-masing, begitu pula dengan model problem based learning. Pembelajaran ini akan mempersiapkan siswa hidup mandiri, dapat bekerja dalam kelompok dan dapat meningkatkan juga mengembangkan kemampuan diri siswa melalui pendekatan menggunakan masalah dunia nyata dan pengalaman langsung dalam pengamatan ataupun penyelidikan. 2.1.5.2 Kekurangan Model Problem Based Learning Di samping kelebihan di atas, Problem Based Learning juga memiliki kelemahan, di antaranya: 1) manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencobanya; 2) untuk sebagian siswa beranggapan bahwa tanpa pemahaman mengenai materi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalaah mengapa mereka harus berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka akan belajar apa yang mereka ingin pelajari. (Sanjaya, 2007: 189) Adapun kelemahan model problem based learning menurut Kelana (2013) antara lain: 1) pembelajaran model problem based learning membutuhkan waktu yang lama; 2) perlu ditunjang oleh buku yang dapat dijadikan pemahaman dalam kegiatan belajar terutama dalam menentukan soal. (bayulikids.blogspot.com/2013/11/pembelajaran-problem-based-learning_ 30.html?m=1) Berdasarkan uraian di atas, maka dapat saya simpulkan bahwa semua model pembelajaran pasti memiliki kelebihan dan kekurangan begitu juga dengan model problem based learning. Pembelajaran ini membutuhkan waktu yang cukup lama dan menuntut kreativitas guru dalam mendesain sebuah masalah di dalam proses pembelajarannya. Dalam meminimalisir kekurangan setiap model pembelajaran tentu kita harus memahami betul konsep dan langkah-langkah pembelajarannya. 2.2 Kerja Sama 2.2.1 Pengertian Kerja Sama Kerja sama (cooperation) adalah adanya keterlibatan secara pribadi di antara kedua belah pihak dami tercapainya penyelesaian masalah yang dihadapi secara optimal (Sunarto, 2000: 22). Menurut Chief (2008), kerja sama (team work) adalah kegiatan untuk bekerja sama dengan orang lain secara kooperatif dan menjadi bagian dari kelompok. Bukan bekerja secara terpisah atau saling berkompetisi. Kompetensi kerja sama menekankan peran sebagai anggota kelompok, bukan sebagai pemimpin. Kelompok di sini dalam arti luas, yaitu sekelompok individu yang menyelesaikan suatu tugas atau proses. (http://indosdm.com/kamus-kompetensi-kerja-sama-team-work, diakses pada hari senin 16 Juni 2014, pukul 13.13 WIB) Menurut Syamsu Yusuf (2007: 123), perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok. Moral, dan tradisi, meleburkan diri menjadi suatu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerjasama. Dalam perkembangan sosial salah satu aspek yang dikembangkan adalah adalah kerjasama. Kerjasama merupakan salah satu fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Semakin modern seseorang maka ia akan semakin banyak bekerja sama dengan orang lain, bahkan seakan tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu tentunya dengan perangkat yang modern pula. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kerja sama (cooperation) adalah salah satu aspek dalam perkembangan sosial dan fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Kerja sama merupakan suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok diantara kedua belah pihak manusia untuk tujuan bersama dan mendapatkan hasil yang lebih cepat dan lebih baik. Faktor yang mempengaruhi kerjasama di antaranya yaitu hal timbal balik, orientasi individu, dan komunikasi. 2.2.2 Manfaat Kerja Sama Belajar bekerja sama mempersiapkan siswa untuk masa depannya di masyarakat yaitu memacu siswa untuk belajar secara aktif ketika ia bekerja sama dan bukan hanya pasif. Hal ini memotivasi siswa mencapai prestasi akademik yang lebih baik, menghormati perbedaan yang ada dan kemajuan dalam kemampuan sosial. Kesemuanya itu akan membangun kemampuan kerja sama seperti komunikasi, interaksi, rencana kerja sama, berbagi ide, pengambilan keputusan, mendengarkan, bersedia untuk berubah, saling tukar ide dan mengsintesis ide (Sharan dan Sharan, dalam Suyanto 2005: 154). Yuda M. Saputra, dkk. (2005: 53) juga mengatakan manfaat pembelajaran kerjasama adalah mampu mengembangkan aspek moralitas dan interaksi social peserta didik karena melalui kerja sama anak memperoleh kesempatan lebih besar untuk berinteraksi dengan anak yang lain, mempersiapkan siswa untuk belajar bagaimana caranya mendapatkan berbagai pengetahuan dan informasi sendiri, baik guru, teman, bahan pelajaran ataupun sumber belajar yang lain, meningkatkan kemampuan siswa untuk bekerja sama dengan orang lain dalam sebuah tim, membentuk pribadi yang terbuka dan menerima perbedaan yang terjadi, dan membiasakan anak selalu aktif dan kreatif dalam mengembangkan analisisnya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan kerja sama berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas untuk mencapai tujuan. Peran hubungan kerja sama dapat dibangun dengan mengembangkan komunikasi antar anggota kelompok sedangkan peranan tugas dilakukan dengan membagi tugas pada setiap anggota kelompok. Hal ini dapat memotivasi siswa mencapai prestasi akademik yang lebih baik, menghormati perbedaan yang ada dan kemajuan dalam kemampuan sosial. 2.2.3 Indikator Kemampuan Kerja Sama Adapun indikator-indikator yang menunjukkan kerja sama atau kooperatif menurut Lungren (dalam Trianto, 2011: 64) terdiri dati tiga keterampilan. Tingkatan tersebut yaitu keterampilan kooperatif tingkat awal, tingkat menengah dan tingkat mahir. 1) Keterampilan kooperatif tingkat awal a. Berada dalam tugas, yaitu menjalankan tugas sesuai dengan tanggung jawabnya. b. Mengambil giliran dan berbagi tugas, yaitu menggantikan teman dengan tugas tertentu dan mengambil tanggung jawab tertentu dalam kelompok. c. Mendorong adanya pasrtisipasi, yaitu memotivasi semua anggota kelompok untuk memberikan kontribusi. d. Menggunakan kesepakatan, yaitu menyamakan persepsi/pendapat . 2) Keterampilan kooperatif tingkat menengah a. Mendengarkan dengan aktif, yaitu menggunakan pesan fisik dan verbal agar pembicara mengetahui ada secara energik menyerap informasi. b. Bertanya, yaitu meminta atau menanyakan informasi atau klarifikasi lebih lanjut. c. Menafsirkan, yaitu menyampaikan kembali informasi dengan kalimat yang berbeda. d. Memeriksa ketepatan, yaitu membandingkan jawaban, memastikan bahwa jawaban tersebut benar. 3) Keterampilan kooperatif tingkat mahir Keterampilan tingkat mahir ini antara lain: mengkolaborasi, yaitu memperluas konsep, membuat kesimpulan, dan menghubungkan pendapat-pendapat dengan topik tertentu. Sedangkan menurut Chief (2008), indikator-indikator kerja sama meliputi hal-hal berikut: 1) berpartisipasi, setiap anggota kelompok dalam melakukan tugas (bertanya, merespon, menyimpulkan mengerjakan tugas); 2) mendukung keputusan kelompok; 3) masing-masing anggota kelompok mengupayakan agar anggota kelompok lain mendapat informasi yang relevan dan bermanfaat; 4) menghargai hasil yang dicapai kelompok; 5) menghargai masukan dari setiap anggota kelompok; 6) meminta ide dan pendapat dari semua anggota kelompok untuk membantu membuat keputusan; 7) secara terbuka member pujian kepada anggota yang berkinerja baik. (http://indosdm.com/kamus-kompetensi-kerja-sama-team-work, diakses pada hari senin 16 Juni 2014, pukul 13.13 WIB) Menurut Tedjasaputra (2001: 88) indikator kemampuan kerja sama adalah: 1) anak dapat membina dan mempertahankan hubungan dengan teman; 2) anak mau berbagi dengan teman yang lain; 3) anak mau menghadapi masalah bersama-sama; 4) mau menunggu giliran; 5) belajar mengendalikan diri; 6) mau berbagi. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada umumnya membina dan mempertahankan hubungan dengan teman kelompoknya serta pasrtisipasi anak di dalam kelas, seperti melakukan interaksi dalam mengerjakan tugas kelompok, mendukung hasil keputusan kelompok dan lain sebagainya merupakan indikator-indikator kerja sama pada umumnya. Bertolak dari hal tersebut bahwa dalam penelitian ini, indikator-indikator kerja samanya meliputi keikutsertaan siswa dalam pembelajaran secara berkelompok, keaktifan siswa pada saat terlibat dalam pembelajaran secara kelompok, dan bagaimana siswa dapat membina hubungan dengan teman kelompoknya. 2.3 Hasil Belajar Untuk dapat menentukan tercapai tidaknya tujuan pendidikan dan pengajaran perlu dilakukan usaha atau tindakan penilaian atau evaluasi. Sudjana (2011: 111) mengatakan bahwa penilaian atau evaluasi pada dasarnya adalah memberikan pertimbangan atau harga atau nilai berdasarkan kriteria tertentu. Proses belajar dan mengajar adalah proses yang bertujuan. Tujuan tersebut dinyatakan dalam rumusan tingkah laku yang diharapkan dimiliki siswa setelah menyelesaikan pengalaman belajarnya. Hasil yang diperoleh dari penilaian dinyatakan dalam bentuk hasil belajar. Menurut Suprijono (2011: 5) mengatakan bahwa hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan. Merujuk pemikiran Gagne (dalam Suprijono, 2011: 5-6), bahwa hasil belajar berupa: 1) informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Kemampuan tersebut tidak memerlukan manipulasi simbol, pemecahan masalah maupun penerapan aturan; 2) keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang. Keterampilan intelektual terdiri dari kemampuan mengategorisasi, kemampuan analitis-sintesis, fakta-konsep dan mengembangkan prinsip-prinsip keilmuan. Keterampilan intelektual merupakan kemampuan melakukan aktivitas kognitif bersifat khas; 3) strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah; 4) keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani; 5) sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objekk berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut. Sikap berupa kemampuan menginternalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai. Sikap merupakan kemampuan menjadikan nilai-nilai sebagai standar perilaku. Sedangkan menurut Bloom (dalam Suprijono, 2011: 6), hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Berdasarkan beberapa penjelasan para ahli mengenai pengertian hasil belajar dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan saja. Artinya, hasil pembelajaran yang dikategorisasi oleh para pakar pendidikan sebagiamana tersebut di atas tidak dapat dilihat secara fragmentaris atau terpisah, melainkan komprehensif. Hasil belajar dapat berupa informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi kognitif, keterampilan motorik, dan sikap. 2.4 Peta Tuntutan Pembelajaran Tematik Tema Indahnya Kebersamaan Subtema Kebersamaan dalam Keberagaman Pembelajaran 3 2.4.1 Pemetaan Kompetensi Dasar (KD) Pemetaan Kompetensi Dasar (KD) pada pembelajaran 3 tema indahnya kebersamaan subtema kebersamaan dalam keberagaman adalah sebagai berikut. Gambar 2.1 Pemetaan Kompetensi Dasar Pembelajaran 3 2.4.2 Kebutuhan Teori Berdasarkan Tuntutan Indikator Pemetaan indikator pada pembelajaran 3 tema indahnya kebersamaan subtema kebersamaan dalam keberagaman adalah sebagai berikut. Gambar 2.2 Pemetaan Indikator Pembelajaran 3 2.4.2.1 Bahan Teori Mata Pelajaran IPA Trianto (2010: 138) berpendapat bahwa ilmu pengetahuan alam (IPA) merupakan bagian dari ilmu pengetahuan atau sains yang berasal dari bahasa Inggris yaitu science. Kata science berasal dari kata Latin scientia yang berarti saya tahu. Menurut Djojosoediro (2012: 3) IPA merupakan cabang pengetahuan yang dibangun berdasarkan pengamatan dan klasifikasi data, dan biasanya disusun dan diverifikasi dalam hukum-hukum yang bersifat kuantitatif, yang melibatkan aplikasi penalaran matematis dan alitis data terhadap gejaa-gejala alam. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya ilmu pengetahuan alam (IPA) merupakan ilmu pengetahuan tentang gejala alam yang dituangkan berupa fakta, konsep, prinsip dan hukum yang teruji kebenarannya dan melalui suatu rangkaian kegiatan dalam metode ilmiah. Dalam perkembangan selanjutnya, metode ilmiah tidak hanya berlaku bagi IPA tetapi juga berlaku untuk bidang ilmu lainnya. Hal yang membedakan metode ilmiah dalam IPA dengan ilmu pengetahuan lainnya adalah cakupan dan proses perolehannya. Ada dua aspek dalam ruang lingkup pembelajaran IPA SD, yaitu kerja ilmiah dan pemahaman konsep serta penerapannya. Makhluk hidup dan proses kehidupannya tercakup ke dalam pemahaman konsep dan penerapannya. Manusia merupakan salah satu contoh makhluk hidup. Setiap insan manusia pada hakikatnya memiliki alat indera. Lebih lanjut, materi pelajaran IPA yang terdapat dalam indikator pembelajaran 3 yaitu mengenai indera pendengaran. Alat indra itu sendiri adalah alat-alat tubuh yang berfungsi untuk mengetahui keadaan luar. Telinga merupakan alat indra untuk mendengar. Dengan menggunakan indra ini, manusia dapat mendengar berbagai suara. Namun tidak semua suara dapat didengar, karena telinga manusia hanya mampu mendengarkan suara yang berfrekuensi antara 20- 20.000 getaran per detik (Hertz/ Hz). 2.4.2.2 Bahan Teori Mata Pelajaran Matematika Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta kemampuan kerja sama. Kompetensi dasar dan indikator matematika dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan mengkomunikasikan idea atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan media lain. Menurut Karso, dkk., (dalam Pamungka, 2011) matematika adalah ilmu deduktif, aksiomatif, formal, hierarkis, abstrak bahasa simbol yang padat arti dan semacamnya, sehingga para ahli matematika mengembangkan sebuah sistem matematika. (http://pamungka.wordpress.com/2011/04/11/ptk-matematika -kelas-IV-semester-II/ )Hari Selasa Tanggal 12 Agutus 2014, pukul 21:59 WIB. Sedangkan menurut ET Ruseffendi, dalam buku Sujarwo (2004: 12) matematika adalah pelajaran yang tersusun secara berurutan yang berjenjang dari mudah ke rumit oleh karena itu pembelajaran matematika diberikan secara bertahap untuk mendapatkan pengertian, hubungan-hubungan, symbol-simbol dan menerapkan dalam konsep baru Di dalam indikator pembelajaran 3, mata pelajaran matematika membahas mengenai Pengubinan. Pengubinan itu sendiri termasuk ke dalam geometri dan pengukuran pada ruang lingkup matematika. Menurut sebuah blog Pro Edukasi (2012) menyebutkan bahwa pengubinan adalah proses menutup suatu permukaan dengan suatu bangun datar sedemikian hingga tidak saling tindih dan tidak terdapat celah. (http://pro-edukasi.blogspot.com/2012/08/macam-macam-pengubinan-tessellation.html? m=1. Diakses pada hari selasa, tanggal 12 Agustus 2014, pukul 22.21) Contoh pengubinan yang dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari adalah seperti pada sarang lebah, terdapat struktur geometri alam yang unik. Masing-masing sel sarang yang berbentuk segienam merupakan bentuk yang ideal, karena saling terhubung tanpa celah dan tidak ada bagian yang bertumpuk. Di dalam matematika, susunan bangun-bangun seperti itu dinamakan pengubinan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu abstrak yang tersusun secara berurutan dari mudah ke rumit. Sehingga matematika harus dipelajari sejak dini, dimulai dari hal yang mudah sampai sulit. Kemudian dalam indikator pembelajaran ini akan dibahas mengenai pengubinan. 2.4.2.3 Bahan Teori Mata Pelajaran SBdP Mata pelajaran seni budaya dan prakarya (SBdP) merupakan salah satu pelajaran di dalam Kurikulum 2013. Pada kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) lebih dikenal dengan mata pelajaran seni budaya dan kerajinan (SBK). Dalam blognya yang berjudul SBK di sekolah dasar, Nurhadi (2013) mengemukakan bahwa tujuan mata pelajaran ini memberikan pengalaman estetik dalam bentuk kegiatan berekspresi/ berkreasi dan berapresiasi melalui pendekatan belajar dengan seni, belajar melalui seni, dan belajar tentang seni. Sebagai pengalaman edukatif, seni membantu pertumbuhan dan perkembangan anak, membina perkembangan estetik, bermanfaat mengembangkan bakat, dan seni membantu menyempurnakan kehidupan.. Pengalaman estetik bagi anak SD merupakan aktivitas penghayatan, apresiasi, ekspresi, dan kreasi seni di SD dapat memberikan pengalaman untuk menumbuhkan sensitivitas keindahan dan nilai seni. Kaitannya dengan indikator pembelajaran 3, karya seni yang akan dibuat oleh siswa adalah karya seni berupa pengubinan. Seperti yang telah jelaskan sebelumnya bahwa pengubinan merupakan proses menutup suatu permukaan dengan suatu bangun datar sedemikian hingga tidak saling tindih dan tidak terdapat celah. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelajaran SBdP merupakan pembelajaran yang hendaknya difungsikan untuk membina keterampilan dan kemampuan anak dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sebagai sarana untuk memperoleh visualisasi estetis berolah seni rupa. Lebih lanjut kaitannya dengan indikator pembelajaran 3, siswa dapat berolah seni menciptakan suatu karya seni dengan pengubinan. 2.5 Peta Tuntutan Pembelajaran Tematik Tema Indahnya Kebersamaan Subtema Kebersamaan dalam Keberagaman Pembelajaran 4 2.5.1 Pemetaan Kompetensi Dasar (KD) Pemetaan Kompetensi Dasar (KD) pada pembelajaran 4 tema indahnya kebersamaan subtema kebersamaan dalam keberagaman adalah sebagai berikut. Gambar 2.3 Pemetaan Kompetensi Dasar Pembelajaran 4 2.5.2 Kebutuhan Teori Berdasarkan Tuntutan Indikator Pemetaan indikator pada pembelajaran 4 tema indahnya kebersamaan subtema kebersamaan dalam keberagaman adalah sebagai berikut. Gambar 2.4 Pemetaan Indikator Pembelajaran 4 2.5.2.1 Bahan Teori Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Di dalam pembelajaran bahasa Indonesia terdapat empat keterampilan berbahasa yang menjadi sasaran pokok, yaitu menyimak, berbicara, menulis, dan membaca. Keterampilan menyimak dan berbicara dikategorikan dalam keterampilan berbahasa lisan, sedangkan keterampilan menulis dan membaca dikategorikan dalam keterampilan berbahasa tulis. Kaitannya dengan indikator pembelajaran 4, bahwa dalam pembelajarannya menuntut siswa untuk dapat menulis kalimat dengan menggunakan kosakata yang terdapat dalam sebuah teks bacaan. Menurut Kridalaksana (1993: 122,) dalam Tyo dan Oky (2011) mengatakan bahwa kosakata sama dengan leksikon. Leksikon adalah (1) komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaiannkata dalam bahasa; (2) kekayaaan kata yang dimiliki seorang pembicara, penulis, atau suatu bahasa; (3) daftar kata yang disusun seperti kamus, tetapi dengan penjelasan singkat da praktis. Sedangkan menurut KBBI (2001) dalam Tyo dan Oky (2011) mengatakan bahwa kosakata diartikan sebagai pembendaharaan kata. (http://beningembun-apriliasya.blogspot.com/2011/03/ pembelajaran-kosakata-menggunakan.html?m=1. Diakses pada hari rabu, tanggal 13 Agustus 2014, pukul 05: 43 WIB) Pemakaian kata-kata dalam kegiatan berbahasa, pada umumnya terbatas pada kata- kata yang sering digunakan. Maka dalam hal ini kosakata dikelompokkan atas dua bagian yaitu kosakata aktif dan kosakata pasif. Menurut Bukhari (1995: 17-18) dalam Tyo dan Oky (2011) mengatakan bahwa kosa kata aktif adalah kosakata yang sering digunakan dalam berbicara atau menulis, sedangkan kosakata pasif adalah kosakata yang jarang dipakai atau tidak pernah dipakai seseorang dalam berbicara ataupun menulis. Tetapi kata-kata tersebut tetap merupakan kosakata bahasa dalam sebuah bahasa. (http://beningembun-apriliasya.blogspot.com/2011/03/pembelajaran-kosakata-menggunakan.html?m=1. Diakses pada hari rabu, tanggal 13 Agustus 2014, pukul 05: 43 WIB) Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kosakata merupakan pembendaharaan kata yang dimiliki seseorang dalam kegiatan berbahasa sehari-hari (kosakata aktif) dan kosakata yang jarang digunakan atau tidak pernah digunakan seseorang dalam berkomunikasi (kosakata pasif). Pembelajaran kosakata dijarkan dalam konteks wacana, dipadukan drngan kegiatan pembelajaran seperti percakapan, membaca dan menulis. Upaya memperkaya kosakata perlu dilakukan secara terus menerus melalui teks bacaan, surat kabar, majalah, pidato-pidato, dan sebagainya Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, kalimat merupakan konstruksi besar yang terdiri atas satu kata, dua kata, atau lebih. Ini berarti bahwa kalimat merupakan satuan terbesar untuk pemberian sintaksi dan kata terkecil. Di antara kalimat dan kata biasanya ada satuan antara, yaitu berupa kelompok kata. Menurut Ishak (2013), kalimat disusun berdasarkan unsur-unsur yang berupa kata, frasa, dan atau klausa. Jika disusun berdasarkan unsur-unsur tersebut maka mempunyai fungsi dan pengertian tertentu yang disebut dengan bagian kalimat. (http://ishaknur06.blogspot.com/2013/08/kemampuan-siswa-menulis-kalimat-bahasa.html?m=1. Diakses pada hari rabu, tanggal 13 Agustus 2014, pukul 06:29 WIB) Penguasaan keterampilan menulis kalimat merupakan salah satu kemampuan yang perlu dimiliki oleh siswa, karena sangat bermanfaat bagi kepentingan pengembangan diri para siswa. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap keterampilan berbahasa siswa baik secara lisan maupun tulisan. Kemampuan menulis siswa merupakan salah satu penggajaran bahasa Indonesia yang perlu mendapat perhatian terutama dalam kemampuan siswa menggunakan kosakata yang ada pada teks bacaan dalam menulis kalimat. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan menulis siswa merupakan salah satu pembelajaran bahasa Indonesia yang perlu mendapat perhatian terutama dalam kemampuan menulis kalimat. Sejalan dengan indikator pada pembelajaran 4 yang mengharuskan siswa untuk dapat menuliskan kalimat berdasarkan kosakata pada sebuah teks bacaan. 2.5.2.2 Bahan Teori Mata Pelajaran PPKn Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran di sekolah yang memfokuskan pada pembentukan karakter dan kepribadian siswa yang beragam dari segi demokrasi, agama, sosial budaya, bahasa, adat istiadat, suku bangsa dan berbagai macam perbedaan lainnya. Sekolah sebagai tempat pembelajaran dari Pendidikan Kewarganegaraan ini berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan yang akan membentuk karakter diri seseorang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Tujuannya tak lain adalah untuk mengembangkan secara positif asas demokratisasi serta membentuk karakter-karakter masa depan yang sesuai dengan kepribadian Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa lain di dunia. Hal ini terlihat pada indikator PPKn yang ada pada pembelajaran 4, yang diharapkan mampu memaknai betapa pentingnya persatuan dan kesatuan baik itu di rumah, sekolah maupun di masyarakat. Persatuan dan kesatuan dapat diartikan kumpulan bagian-bagian yang disatukan. Hal itu merupakan bukti pentingnya kekompakan dalam mewujudkan persatuan. Dengan demikian persatuan tidak mementingkan kepentingan sendiri atau kelompok, tetapi lebih mengutamakan kepentingan umum. Menurut Mulyasa (2004: 141) terdapat empat asumsi yang mendasari pembelajaran drama atau bermain peran untuk mengembangkan perilaku dan nilai-nilai sosial. 1) Secara implisit bermain peran mendukung suatu situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan isi pelajaran pada situasi ‘’di sini pada saat ini’’. Model ini percaya bahwa sekelompok peserta didik dimungkinkan untuk menciptakan analogy mengenai situasi kehidupan nyata. Tewrhadap analogyyang diwujudkan dalam bermain peran, para peserta didik dapat menampilkan respons emosional sambil belajar dari respons orang lain. 2) Kedua, bermain peran memungkinkan para peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi beban emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis bermain peran yang lebih menekankan pada penyembuhan). Namun demikian, terdapat perbedaan penekanan antara bermain peran dalam konteks pembelajaran dengan psikodrama. Bermain peran dalam konteks pembelajaran memandang bahwa diskusi setelah pemeranan dan pemeranan itu sendiri merupakan kegiatan utama dan integral dari pembelajaran; sedangkan dalam psikodrama, pemeranan dan keterlibatan emosional pengamat itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya, dalam psikodrama bobot emosional lebih ditonjolkan daripada bobot intelektual, sedangkan pada bermain peran peran keduanya memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran. 3) Model bermain peran berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan. Denagn demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh sebab itu, model mengajar ini berusaha mengurangi peran guru yang teralu mendominasi pembelajaran dalam pendekatan tradisional. Model bermain peran mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan masalah sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah yang sedang dihadapi. 4) Model bermain peran berasumsi bahwa proses psikologis yang tersembunyi, berupa sikap, nilai, perasaan dan system keyakinan, dapat diangkat ke taraf sadar melalui kombinasi pemeranan secara spontan. Dengan demikian, para pserta didik dapat menguji sikap dan nilainya yang sesuai dengan orang lain, apakah sikap dan nilai yang dimilikinya perlu dipertahankan atau diubah. Tanpa bantuan orang lain, para peserta didik sulit untuk menilai sikap dan nilai yang dimilikinya Berdasarkan penjelasan di atas, dalam poses pembelajaran pendidikan kewarganegaraan harus menggunakan pembelajaran kreatif yang dapat menumbuhkan sikap aktif siswa dalam rangka membentuk warga Negara yang baik dan berkarakter sesuai dengan yang diamanatkan dalam pancasila dan UUD 1945. Hal ini dipertegas dengan adanya materi mengenai persatuan dan kesatuan. Salah satu pembelajaran yang kreatif itu adalah dengan pembelajaran drama. Pembelajaran drama dipandang sebagai metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan. 2.6 Peta Tuntutan Pembelajaran Tematik Tema Indahnya Kebersamaan Subtema Kebersamaan dalam Keberagaman Pembelajaran 5 2.6.1 Pemetaan Kompetensi Dasar (KD) Pemetaan Kompetensi Dasar (KD) pada pembelajaran 5 tema indahnya kebersamaan subtema kebersamaan dalam keberagaman adalah sebagai berikut. Gambar 2.5 Pemetaan Kompetensi Dasar Pembelajaran 5 2.6.2 Kebutuhan Teori Berdasarkan Tuntutan Indikator Pemetaan indikator pada pembelajaran 4 tema indahnya kebersamaan subtema kebersamaan dalam keberagaman adalah sebagai berikut. Gambar 2.6 Pemetaan Indikator Pembelajaran 5 2.6.2.1 Bahan Teori Mata Pelajaran PJOK Mata pelajaran PJOK atau yang sering kita kenal dengan pendidikan jasmani merupakan suatu proses melalui aktivitas jasmani, yang dirancang dan disusun secara sistematik untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan, meningkatkan kemampuan dan keterampilan jasmani, kecerdasan dan pembentukan watak, serta nilai dan sikap yang positif bagi setiap warga Negara dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Menurut David (dalam Abduljabar, 2001: 82) mengemukakan bahwa pendidikan jasmani adalah suatu proses terjadinya adaptasi dan pembelajaran secara organik, intelektual, sosial, kultural dan estetika yang dihasilkan dari proses pemilihan berbagai aktivitas jasmani. Sejalan dengan tujuan umum pendidikan jasmani di sekolah dasar menurut KTSP tahun 2006 yaitu memacu kepada pertumbuhan dan perkembangan jasmani, mental, emosional dan social yang selaras dalam upaya membentuk dan mengembangkan gerak dasar, menanamkan nilai, sikap dan membiasakan hidup sehat. Salah satu kegiatan jasmani yang dapat mengembangkan keterampilan gerak dasar yaitu dengan melakukan kegiatan senam irama. Hal ini sesuai dengan indicator pembelajaran 5, di mana siswa dapat merancang dan menerapkan pola gerak dasar berirama dengan teknik yang benar secara berkelompok. Senam irama merupakan rangkaian gerak senam yang dilakukan dengan alunan irama musis bebas yang dilakukan secara berirama. Senam irama dapat dilakukan dengan menggunakan alat ataupun tidak. Latihan gerak senam irama bertujuan untuk meningkatkan kelenturan pada persendian dan mempertajam perasaan pesenam dalam menyesuaikan gerakan dengan irama musik. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pedidikan jasmani, olahraga dan kesehatan merupakan program pengajaran yang sangat penting dalam pembentukan kebugaran jasmani dan menumbuh kembangkan keterampilan gerak dasar siswa serta nilai kemampuan emosianal dan estetika siswa. Hal ini sesuai dengan indikator pembelajaran 5 yang membahas tentang senam irama. Dengan melakukan senam irama, diharapkan siswa mampu mengembangkan keterampilan gerak serta kreativitas dalam merancang pola gerak dasar yang disesuaikan dengan irama musik. Di dalam melakukan senam irama juga terdapat pengembangan kecerdasan emosional dan nilai estetikanya. 2.6.2.2 Bahan Teori Mata Pelajaran Matematika Matematika merupakan alat untuk memberikan cara berpikir, menyusun pemikiran yang jelas, tepat dan teliti. Seperti yang sebelumnya saya simpulkan bahwa matematika adalah ilmu abstrak yang tersusun secara runtut dari mudah ke rumit. Sehingga matematika itu harus dipelajari sedini mungkin dan dimulai dari hal yang mudah dan kongkrit. Sedangkan menurut Pamungka (2011), matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peranan penting dalam berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya pikir manusia. II. (http://pamungka.wodpress. com/2011/04/ptk-matematika-kelas-iv-ii/) Diakses pada Hari Selasa Tanggal 12 Agustus 2014. Pukul 21:59 WIB Salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah dasar menurut KTSP tahun 2006 yaitu memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan konsep dan mengaplikasikan konsep atau agloritma, secara luwes akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah. Kaitannya dengan indicator pembelajaran 5, bahwa setelah mengenal konsep siswa dapat menyelesaikan soal-soal pembulatan harga. Pembulatan berarti mengurangi cacah bilangan namun nilanya hampir sama. Hasil yang diperoleh menjadi kurang akurat, tetapi akan lebih mudah digunakan. Di dalam kehidupan sehari-hari manusia pada umumnya sering melakukan pembulatan bilangan, baik itu satuan, puluhan atau ratusan terdekat. Pada pembulatan kesatuan terdekat yang diperhatikan adalah angka persepuluhan. Jika angka persepuluhnya 1, 2, 3, dan 4, maka harus dihilangkan. Contohnya dalam bilangan 14, bilangan satuannya adalah 4, yang berarti kurang dari 5. Oleh karena itu, bilangan 14 dibulatkan ke bawah menjadi 10. Sedangkan jika angka persepuluhnya lebih dari dan sama dengan 5, yaitu 5, 6, 7, 8, 9, maka dibulatkan menjadi 1. Contohnya dalam bilangan 78, bilangan satuannya adalah 8, yang berarti lebih dari 5. Oleh karena itu, bilangan 78 dibulatkan ke atas menjadi 80. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika merupakan alat untuk memberikan cara berpikir, menyusun pemikiran yang jelas, tepat dan teliti. Di mana dalam pembelajarannya, matematika harus diberikan sejak dini dan dimulai dari hal yang mudah serta kongkrit. Salah satu tujuan matematika yang sesuai dengan indikator pada pembelajaran 5 yaitu siswa mampu memahami konsep serta pengaplikasiannya. Terlihat pada tujuan pembelajaran 5 bahwa setelah siswa mendapat pengenalan konsep mengenai pembulatan bilangan, siswa dapat menyelesaikan soal pemecahan masalah mengenai pembulatan harga. 2.7 Hasil Penelitian Terdahulu Penulis menggunakan dua hasil penelitian terdahulu berupa skripsi untuk skripsi penelitian ini. 1) Hasil penelitian terdahulu yang pertama diambil dari skripsi Evi Nurul Khuswatun tahun 2013 yang berjudul “Pendekatan Problem Based Learning untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Siswa pada Materi Bilangan Pecahan”. Penelitian ini berkaitan dengan tiga hal yang menjadi jawaban dari rumusan masalah, yaitu perencanaan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan peningkatan pemahaman konsep siswa. Pendekatan PBL terbukti dapat meningkatkan konsep siswa kelas IV-B SDN Inpres Cikahuripan Lembang Kabupaten Bandung Barat pada materi bilangan pecahan dan operasi hitung campuran. Selain itu, aktivitas guru dan siswa selama pembelajaran pun menunjukan peningkatan. Hasil angket menunjukan bahwa siswa memuliki tanggapan yang baik terhadap pembelajaran dan menurut jurnal siswa, mereka mengungkapkan pembelajaran dengan pendekatan PBL cukup berkesan. 2) Hasil penelitian terdahulu yang kedua diambil dari skripsi Sri Astuti tahun 2012 yang berjudul “Penerapan Pembelajaran Model Problem Based Learning untuk Meningkatkan Berpikir Positif pada Pembelajaran PKN di Kelas IV SD Negeri 101799 Delitua”. Pada penelitian ini, yang menjadi masalahnya adalah apakah penggunaan model Problem Based Learning untuk meningkatkan berpikir positif pada pembelajaran PKN di kelas IV SD Negeri 101799 Delitua?. Subjek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IV sebanyak 31 orang siswa. Model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Problem based learning (PBL). Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dan pemberian tes pada setiap akhir siklus. Objek penelitian dalam penelitian ini adalah model Problem Based Learning untuk meningkatkan berpikir positif pada pembelajaran PKN di kelas IV SD Negeri 101799 Delitua. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan model Problem Based Learning dapat meningkatkan berpikir positif pada pembelajaran PKN di kelas IV SD Negeri 101799 Delitua. Dimana hipotesis tindakannya yaitu “Model Problem Based Learning dapat meningkatkan berpikir positif pada pembelajaran PKN di kelas IV SD Negeri 101799 Delitua” dapat diterima kebenarannya. 2.8 Kerangka Pemikiran Pembelajaran berbasis masalah merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang peserta didik untuk belajar. Dalam kelas yang menerapkan pembelajaran berbasis masalah, peserta didik bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata (real world). (Tim Kemendikbud, 2014: 26) Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu metode pembelajaran yang menantang peserta didik untuk “belajar bagaimana belajar,” bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. (Tim Kemendikbud, 2014: 26) Model pembelajaran berbasis masalah dilakukan dengan adanya pemberian rangsangan berupa masalah-masalah yang kemudian dilakukan pemecahan masalah oleh peserta didik yang diharapkan dapat menambah keterampilan peserta didik dalam pencapaian materi pembelajaran. Berdasarkan observasi awal yang dilakukan penulis dengan melakukan tanya jawab dengan peserta didik dan guru kelas 4 secara garis masalah dikemukakan peserta didik dan guru adalah kurang minatnya siswa dalam memahami materi sehingga siswa tidak dapat menemukan pemecahan masalah pada beberapa materi dan tugas yang diberikan, kurangnya sikap kerja sama di antara siswa pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung, sarana dan prasarana penunjang pembelajaran yang belum memadai dan penggunaan model pembelajaran yang kurang tepat dan dikuasai guru membuat pembelajaran menjadi kurang efektif. Hal ini ditunjukkan dengan kenyataan bahwa waktu belajar siswa dalam kelas masih ada yang terbuang, kegiatan siswa dalam pembelajaran pun masih belum mencapai standar keberhasilan yang ditetapkan. Oleh karena itu penulis berusaha mencari solusi dari permasalahan tersebut dengan melakukan sebuah penelitian tindakan kelas. Dalam Penelitian tindakan kelas ini penulis menerapkan model Pembelajaran berbasis masalah ini diharapkan dapat meningkatkan sikap kerja sama dan hasil atas dapat disusun kerangka berpikir dalam penelitian ini sebagai berikut:

Item Type: Thesis (Skripsi(S1))
Subjects: S1-Skripsi
Divisions: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan > PGSD 2014
Depositing User: Iyas -
Date Deposited: 28 Jun 2016 09:29
Last Modified: 28 Jun 2016 09:29
URI: http://repository.unpas.ac.id/id/eprint/4988

Actions (login required)

View Item View Item