Ridwan Tentowi, Achmad and Sumadikara, T. Subarsyah and Panggabean, Roely (2016) POLITIK HUKUM TATA KELOLA KEPELABUHANAN NASIONAL Studi Kasus Dwelling Time di Tanjung Priok - Jakarta. CV. Warta Bagja, Bandung. ISBN 978-6027125889
|
Text
BUKU DWELLING TIME NAIK CETAK 7 maret 2016.pdf FIX.pdf - Published Version Download (1MB) | Preview |
Abstract
Penulisan naskah buku ini kurang lebih memakan waktu hampir 4 (empat) tahun dikerjakan dari tahun 2012, sebenarnya 2015 desember naskah ini sudah rampung dan siap untuk dipublikasikan, penulis menyadari banyak hal yang belum dibahas dalam buku ini, hingga januari 2016, penulis baru memutuskan untuk dipublikasikan secara umum dan dapat dibaca oleh semua kalangan masyarakat, tidak hanya masyarakat Pelabuhan Tanjung Priok saja, namun semua lapisan masyarakat. Hukum (positif) di Pelabuhan induknya adalah UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, kemudian diturunkan kepada Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2009 Tentang Kepelabuhanan. Adapun untuk kinerja sendiri belum memperlihatkan kinerja hukum yang baik, yang sesuai dengan aturan yang sudah digariskan. Masing-masing Kementerian dan Lembaga (K /L ) yang terdiri dari 18 K / L, memiliki aturan sendiri-sendiri, Kementeri Keuangan, Kementeri Perhubungan, dan masih banyak Kementrian lainnya, masing-masing punya aturan hukum sendiri. Prakata Penulis xii Sejujurnya, sumber rujukan, tinjauan pustaka atau hasil penelitian terdahulu tentang Hukum Kepelabuhanan, sangat sulit penulis dapatkan, bahkan bisa dikatakan tidak ada sumber yang benar-benar secara utuh mengkaji tentang Hukum Kepelabuhanan, buku ini mencoba untuk menyajikan kajian Hukum terhadap Kepelabuhanan, terutama penulis menyoroti tentang Politik Hukum Dwelling Time, dalam hal ini perlunya aturan atau payung hukum secara khusus untuk mengatur persoalanpersoalan yang mendera pelabuhan, sebab aturan hukum di pelabuhan yang merujuk kepada UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, serta PP No. 61 Tahun 2009 Tentang Kepelabuhanan, dipandang tidak komprehensif, serta tidak dapat mengakomodir berbagai situasi yang mendera pelabuhan. Kedua perangkat payung hukum tersebut, dinilai masih belum memprioritaskan pengelolaan pelabuhan secara benar dan komprehensif, yang mampu memberikan manfaat dan keuntungan bagi kontribusi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam bentuk deviden. Di sisi lain, industri pelabuhan yang selama ini dikelola Badan Usaha Miliki Negara (BUMN) PT (Persero) Pelabuhan Indonesia (Pelindo), baik Pelindo I (Medan), Pelindo II (Tanjung Priok), Pelindo III (Surabaya) dan Pelindo IV (Makasar), dinilai belum memberikan ‘Community Development’ atau dengan sebutan program bina mitra lingkungan secara proporsional. ‘Community development’ tersebut kebanyakan diberikan pada kru-kru pelabuhan atau kalangan tertentu yang dekat dengan kekuasaan saja. Padahal hingga saat ini banyak sekali usaha kecil masyarakat di sekitar Pelabuhan yang memerlukan pinjaman lunak dari BUMN Pelindo. Di samping persoalan-persoalan di atas, selama ini ada ketidakjelas dalam pengaturan Pelabuhan, bahkan disinyalir tumpang tindih, sehingga menjadikan kewenangan instansi yang terlibat di pelabuhan berjalan masing-masing. Tak pelak, kondisi yang satu ini, menjadi xiii penyebab kenapa Pelabuhan Indonesia hingga saat ini, kalah bersaing dengan pelabuhan di negara tetangga kawasan ASEAN seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. Bahkan, parahnya tarif pelabuhan Indonesia termahal di dunia. Berbagai persoalan di atas, mengerucut kepada Dwelling Time, berbagai kalangan, Kementerian dan Lembaga ramai membicarakan dwelling time, sampai Kejaksaan, Kepolisian, KPK, BPK, dan BPKP ikut turun secara langsung mengurusi dwelling time, Kami memandang bahwasanya, penilaian soal proses dwelling time yang dianggap memakan waktu terlalu lama oleh pemerintah sebenarnya adalah bukan masalah besar. Dwelling time adalah waktu yang dihitung mulai dari satu peti kemas (kontainer) dibongkar dan diangkat dari kapal hingga peti kemas tersebut meninggalkan terminal pelabuhan melalui pintu utama. Dari sudut pandang otoritas pelabuhan, tidak apa-apa dwelling time memakan waktu lama, asal tidak mengganggu aktivitas yang lain. Pada praktiknya, ada kalanya dwelling time menghabiskan waktu hingga satu bulan. Namun, ada juga yang memakan waktu sangat singkat. Yang jadi permasalahan itu, kalau terjadi stagnansi di pelabuhan. Yang lama itu biasanya karena menunggu dokumen. Artinya apa, proses perijinan yang harus diperbaiki, sebab titik sentralnya ada proses administrasi saja. Lamanya masa tunggu bongkar muat/dwelling time disebabkan oleh banyak faktor, tetapi faktor yang paling mempengaruhi adalah banyaknya proses perijinan yang harus dilalui. Pembenahan proses dwelling time yang akan dilakukan pemerintah meliputi perbaikan arus barang, sampai sistem teknologi informasi. Isu dwelling time ini sudah penulis (Achmad Ridwan Tentowi) fikirkan sejak tahun 2012 yang lalu, lalu kemudian pada tahuan 2015, penulis diskusikan dengan kedua penulis buku ini, agar dijadikan sebuah buku yang bisa dijadikan rujukan untuk merancang hukum kepelabuhanan. xiv Pada dasarnya, Dwelling Time yang beberapa tahun terakhir ini selalu menjadi pokok pembicaraan para pemangku kepentingan yang terkait dengan Pelabuhan, secara internasional mempunyai pengertian sbb: “waktu yang dibutuhkan petikemas atau barang mulai dari bongkar diatas kapal sampai keluar gate terminal.” Dwelling Time yang belum kunjung mencapai target yang diminta oleh pemerintah, disebabkan oleh beberapa permasalahan yang menyebabkan tingginya dwelling time di pelabuhan tanjung priok. Permasalahan tersebut disebabkan oleh; Masih banyaknya tumpang tindih regulasi atau peraturan terutama yang berhubungan dengan penimbunan barang dan kelancaran arus barang. Dalam hal ini kenapa selalu Importir menjadi pihak yang dipersalahkan, padahal mereka tidak melanggar ketentuan apapun dalam hal penumpukan barang. Semua ketentuan yang terkait dengan penumpukan barang di pelabuhan memberikan kuota waktu bagi importir untuk menimbun barang di pelabuhan, di antaranya adalah : 1. Keputusan Menteri Perhubungan nomor: KP 807 Tahun 2014 Tentang Pemindahan Barang Yang Melewati Batas Waktu Penumpukan (Long Stay) Di Pelabuhan Tanjung Priok. Kepmenhub ini memberikan batas waktu penumpukan hingga 7 hari di terminal petikemas; 2. Keputusan Direksi Pelabuhan Indonesia II No HK 56/11/2/1 PI II/ 2014 Tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Direksi PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) Nomor : HK.56/3/2/PI.II-08 Tentang Tarif Pelayanan Jasa Petikemas Pada Terminal Petikemas Di Pelabuhan Tanjung Priok. Keputusan Direksi Pelindo II ini juga memberikan batas waktu penumpukan hingga 7 hari di terminal petikemas; 3. Peraturan Menteri Keuangan No 23/PMK.04/2015 Tahun 2015 Tentang Kawasan Pabean Dan Tempat Penimbunan Sementara. xv Permenkeu ini bahkan memberikan kelonggaran maksimum 30 hari penimbunan barang di TPS baik lini I maupun lini II, dimana setelah batas waktu tersebut dan tidak di urus kewajiban formal Kepabeanannya, maka ditetapkan menjadi Barang Tidak Dikuasai. Selain itu juga, terdapatnya beberapa Undang - Undang yang secara tidak langsung turut memperlama dwelling time, diantaranya : UU Darurat No 17 Tahun 1951 tentang penimbunan barang; UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang TPE (Tindak Pidana Ekonomi); UU No. 7 Tahun 2014 tentang perdagangan. Di mana dalam Pasal 107, disebutkan bagi pelaku usaha yang menyimpan barang kebutuhan pokok dan / atau penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, akan dipidanakan selama 5 tahun dan / atau denda 50 milyar dan sampai saat ini UU No 7 Tahun 2014 tentang perdagangan belum ada peraturan pelaksanaannya sehingga membuat kerancuan pada para importir dalam melakukan kegiatan usahanya. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2015 tentang penetapan dan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan barang penting baru di tanda tangan Presiden RI pada tanggal 15 Juni 2015 dan baru mulai berlaku Tahun 2016. Sesuai UU No 7, Yang dimaksud bahan pokok meliputi 18 item: kedelai, jagung, terigu dst. Yang dimaksud barang penting meliputi 10 item : baja konstruksi, baja ringan, biji plastik dst. Sebagai contoh ilustrasi beberapa penyebab tingginya Dwelling Time, sebagai berikut; Produsen pakan ternak tidak akan segera menyelesaikan custom clearance untuk jagung dan kedelai yang di impor sebagai bahan baku produknya bila stok di gudang pabriknya masih ada cukup untuk produksi karena khawatir di kenakan sanksi pidana. Apalagi akhir-akhir ini banyak berita di media cetak bahwa penimbunan bahan pokok akan di kenakan sanksi pidana sesuai UU xvi TPE dan UU No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Hal ini tentunya akan meningkatkan dwelling time di terminal petikemas atau pelabuhan, sebagai akibat bahan baku tersebut baru akan di-clearance bila stok di pabrik telah menipis. Selain dari itu, prinsip “Just In Time“ pada industri otomotif juga akan meningkatkan dwelling time karena pelabuhan di anggap sebagai gudang logistik mereka dan di anggap sebagai rantai produksi. Demikian juga dengan kontraktor proyek konstruksi, dalam proyek pemerintah bila sudah menerima uang muka dan tentunya sudah tanda tangan kontrak, harus segera melakukan pembelian-pembelian, bila harus mengimpor maka akan di lakukan segera mungkin, karena khawatir harga berubah, kurs tidak stabil dan bias juga di anggap penyimpangan / pelanggaran hukum kalau tidak segera, karena sudah terima uang muka padahal proyeknya saja baru “Ground Breaking“. Hal ini juga terjadi pada importasi barang larangan pembatasan yang harus di urus perijinannya di kementerian - kementerian / lembagalembaga dimana masih belum semuanya online, jadi masih harus dengan hard copy dan di perparah lagi oleh belum semua kementerian / lembaga mempunyai standar waktu pelayanan atau Service Level Agreement (SLA) di tambah lagi kantor-kantor kementerian / lembaga tersebar di seluruh jakarta. Hal lain yang memperlambat dwelling time adalah masalah kemacetan jalan raya (infra struktur) serta pelabuhan tanjung priok adalah pelabuhan tumbuh yang tidak di dukung oleh master plan yang terencana khususnya dalam mengefesiensikan dwelling time. Berdasarkan hal-hal yang telah di sampaikan di atas, maka kondisi ini tidak mendukung upaya meningkatkan daya saing dalam menyongsong Masyarakat Ekonomi Asean Tahun yang akan efektif dimulai per 1 Januari 2016. Di mana Dalam MEA terdapat 4 pilar: Pasar Tunggal dan basis produksi regional; Kawasan berdaya saing tinggi; xvii Kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata; Integrasi dengan perekonomian dunia. Dengan berlakunya kesepakataan MEA maka timbul konsekuensi: Pergerakan barang impor; Masuknya jasa logistik, jasa kepabeanan asing; Pergerakan tenaga kerja; Pelarian investasi; Sektor keuangan. Tujuan dari menurukan dwelling time, salah satunya adalah untuk meningkatkan daya saing dengan Negara-negara Asean. Seperti di ketahui saat ini dwelling time di Malaysia adalah 4 hari, di Singapura 2 hari, di Thailand 4 hari, di Vietnam 4 hari. Untuk mempercepat waktu dwelling time yang terjadi di pelabuhan Tanjung Priok yang saat ini rata-rata 5,5 hari menjadi 4,7 hari diperlukan sinergi antar kementerian/lembaga (K/L), karena percepatan proses dwelling time tidak mungkin hanya ditangani salah satu K/L saja. Pelabuhan Tanjung Priok sebagai pintu gerbang ekspor dan impor Indonesia harus dibangun menjadi pelabuhan yang modern dan aman untuk menunjang pengembangan perekonomian bangsa. Pemerintah melalui K/L yang terkait dalam tugasnya di pelabuhan hendaknya membuat standar operasi prosedur yang dapat meniadakan atau setidaknya meminimalkan pelanggaran-pelanggaran hukum oleh aparatnya. Perkembangan yang cukup membanggakan, pada awal tahun 2016 sekarang ini, untuk menekan angka dwelling time dalam mebghadapi MEA sekarang ini, Otoritas Pelabuhan (OP) Tanjung Priok Jakarta menyetujui penaikan tarif progresif penumpukan kontainer yang melewati batas waktu satu hari menjadi 900%. Persetujuan itu dituangkan dalam surat yang ditandatangani oleh Kepala Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok (Bay M. Hasani) dan disepakati direksi PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II. Dengan persetujuan itu, pemilik barang impor atau perwakilannya yang masih menumpuk kontainer ukuran 20 kaki di hari kedua setelah menyelesaikan proses kepabeanan akan dikenakan tarif Rp244.800, xviii dengan asumsi tarif dasar Rp27.200 per boks dikalikan 900%. Tentunya, tarif progresif inap kontainer di pelabuhan ini hanya berlaku bagi barang impor saja. Tarif progressif yang diterapkan ini, bertujuan untuk mengaplikasikan Permenhub No.117 Tahun 2015 Tentang Pemindahan Barang yang Melewati Batas Waktu Penumpukan. Adapun rinciannya, tarif inap kontainer yang tadinya dibebaskan selama tiga hari terhitung dari masa bongkar barang dari kapal kini hanya gratis di hari pertama saja, selanjutnya ditetapkan, hari kedua dan ketiga ditetapkan tarif progresifnya sebesar 900% dari tarif dasar peti kemas. Sesuai ketentuan baru, hari keempat pemilik barang harus memindahkan barangnya, jika tidak dipindahkan terminal peti kemas akan memindahkan (‘overbrengen’) seizin otoritas Bea dan Cukai. Selamat membaca.
Item Type: | Book |
---|---|
Subjects: | DOCUMENT |
Divisions: | Dokumen Unpas > 2018 |
Depositing User: | Ramadhan S - |
Date Deposited: | 15 Jan 2019 06:34 |
Last Modified: | 15 Jan 2019 06:34 |
URI: | http://repository.unpas.ac.id/id/eprint/40289 |
Actions (login required)
View Item |