Firman Nurhakim, 131000179 (2018) PENETAPAN TERSANGKA TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XII/2014 DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. Skripsi(S1) thesis, Fakultas Hukum Unpas.
Text
L. BAB IV.pdf Restricted to Repository staff only Download (111kB) |
||
|
Text
K. BAB III.pdf Download (111kB) | Preview |
|
|
Text
N. DAFTAR PUSTAKA.pdf Download (46kB) | Preview |
|
|
Text
I. BAB I.pdf Download (136kB) | Preview |
|
Text
M. BAB V.pdf Restricted to Repository staff only Download (39kB) |
||
|
Text
J. BAB II.pdf Download (144kB) | Preview |
|
|
Text
A. COVER.pdf Download (53kB) | Preview |
|
|
Text
H. DAFTAR ISI.pdf Download (33kB) | Preview |
Abstract
Sebagai mahluk ciptaan Tuhan manusia memiliki hak asasi yang harus dihormati oleh semua orang. Negara sebagai otoritas yang paling tinggi yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan melindungi rakyatnyapun tidak lepas dari kewajiban untuk menghormati hak-hak setiap warga negaranya tersebut. Sebagai sebuah negara hukum maka setiap hal yang berkaitan dengan pencelaan terhadap hak manusia harus dengan tegas dilakukan berdasarkan hukum yang mengaturnya, hal ini berkaitan dengan asas legalitas hukum pidana. Sehingga tidak diperkenankan melakukan tindakan yang melanggar hak orang lain tanpa melalui proses hukum yang telah ditetapkan. Penetapan tersangka dalam hal ini menimbulkan polemik apalagi berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Dimana KPK sering kali menetapkan tersangka tanpa melalui prosedur yang ditetapkan oleh KUHAP atau Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Seperti dalam menetapkan bukti atau alat bukti sebagaimana telah diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dimana setiap bukti harus diterjemahkan sebagai alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Seperti dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa bukti elektronik adalah bukti petunjuk, sementara bukti petunjuk hanya bisa dinilai oleh hakim di pengadilan, namun dalam praktiknya KPK menggunakan bukti elektronik untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka tentu hal ini tidak sesuai dengan hukum positiv yang berlaku. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif, yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Hal ini bertujuan mengetahui bagaimana cara mengumpulkan bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, bukti yang cukup atau alat bukti yang sah menurut Sistem Peradilan Pidana Indonesia, bagaimana perbandingan proses penyidikan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bagaimana penetapan tersangka tindak pidana korupsi pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dalam praktik. Berdasarkan hasil penelitian bahwa diketahui cara mengumpulkan bukti yang sah adalah harus bukti yang relevan, kemudian bukti tersebut harus dapat diterima atau admissible, exclusionary rules dimana bukti yang di dapat dengan cara melawan hukum tidak dapat diterima, dan suatu bukti harus dapat dievaluasi oleh hakim. Berkaitan dengan penetapan tersangka di dalam KUHAP tersangka ditetapkan oleh penyidik secara otonom, namun dalam Undang-Undang KPK penetapan tersangka dilakukan secara kolektif-kolegial, sehingga KPK dalam praktik tidak bisa menggunakan alat bukti petunjuk (rekaman) sebagai dasar penetapan tersangka sebagaimana Putusan Mahkaman Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Kata Kunci : Penetapan Tersangka, Korupsi, Alat Bukti
Item Type: | Thesis (Skripsi(S1)) |
---|---|
Subjects: | S1-Skripsi |
Divisions: | Fakultas Hukum > Ilmu Hukum 2018 |
Depositing User: | Lilis Atikah |
Date Deposited: | 22 Oct 2018 02:59 |
Last Modified: | 22 Oct 2018 02:59 |
URI: | http://repository.unpas.ac.id/id/eprint/39501 |
Actions (login required)
View Item |