24 BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PROBLEMATIKA KREATIVITAS PERAKITAN TV DARI TABUNG BEKAS KOMPUTER TANPA LOGO SNI A. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan terjemahan dari istilah Bahasa Belanda yaitu Strafbar feit. Dalam bahasa Belanda dipakai dua istilah yaitu Strafbar feit atau terkadang dipakai istilah delik. Dalam bahasa Indonesia terdapat beberapa terjemahan Strafbar feit yaitu diantaranya diterjemahkan sebagai pristiwa pidana, tindak pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan pidana. Ada beberapa pendapat para ahli yang memaparkan dan mengemukakan pengertian perbuatan pidana diantaranya adalah Van Hammel yang telah merumuskan “Strafbar feit” itu sebagai:15 “Suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain”. Di dalam buku Tien S. Hulukati memberikan pendapat bahwa:16 “Tindak pidana dalam bahasa Belanda disebut “strafbaarfeit” merupakan tingkah laku tersebut yang 15 Van Hammel Dalam Bukunya E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana 1, Reflika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 251; 16 Hj. Tien S. Hulukati dan Gialdah Tapiansari B, Hukum Pidana Jilid 1, Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung, 2006, hlm. 23. 25 dilarang oleh undang-undang untuk diperbuat oleh orang yang disertai dengan ancaman pidana (sanksi) yang dapat ditimpakan oleh negara pada siapa atau pelaku yang membuat tingkah laku yang dilarang tersebut.” Menurut Pompe, dalam bukunya Tien, S.H. “Strafbar feit” dirumuskan dengan pengertian sebagai berikut:17 “Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang disengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum”. Simmons merumuskan Strafbar feit sebagai enne Strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar person:18 “Suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan pidana, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh orang yang bersalah, dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya”. Berdasarkan rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur dari tindak pidana adalah perbuatan manusia, baik perbuatan positip maupun perbuatan negatif yaitu serangan, tingkah laku, pelanggaran terhadap ketertiban hukum yang diancam dengan pidana dan bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan, oleh orang yang mampu bertanggung jawab. 17 Ibid, hlm.182; 18 Simmons Dalam Bukunya Muladi dan Dwidja Priyanto, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Penerbita Sekolah Hukum, Bandung, 1991, hlm.150. 26 Utrecht memberikan pendapat lain, dimana menganjurkan pemakaian istilah:19 ”Peristiwa pidana karena istilah itu meliputi suatu perbuatan (handelen atau doen- positif) atau suatu melalaikan (verzuim atau natalen atau niet-doen-negatif) maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan melalaikan itu). Wirjono Projodikoro merumuskan “tindakan pidana” adalah:20 “Suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana. Pelaku tersebut dapat dikatakan merupakan suatu subjek “tindak pidana”. Dalam istilah lain menurut S.R. Sianturi dari tindak pidana, tindakan dari tindak pidana adalah:21 “Singkatan dari “tindakan” atau “petindak” artinya ada orang yang melakukan suatu tindakan sedangkan orang yang melakukan itu dinamakan “petindak”. Ketujuh pengertian tindak pidana yang dikemukakan oleh para ahli tersebut diatas sesungguhnya memiliki kesamaan konsep. Hal itu teletak pada kesamaan pandangan yang menyatakan bahwa tindak pidana merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya 19 E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana 1, Reflika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 252; 20 Wirjono Projodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Reflika Aditama Bandung, 2003, hlm. 45; 21 S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Ahaem-Petehaem, Jakarta, 1996, hlm. 205. 27 apabila dilakukan oleh seseorang akan ada sanksi berupa hukuman yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hukum positif, tindak pidana itu digambarkan sebagai suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhkan hukuman. Selain itu, ditengah- tengah masyarakat juga dikenal istilah “kejahatan”, yang menunjukan pengertian perbuatan melanggar norma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana. 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Untuk dapat dipidananya suatu perbuatan dan si pelaku yang penting tidak hanya bagian-bagian dari suatu perbuatan itu seperti yang diuraikan dalam delik, akan tetapi juga harus diperhatikan syarat-syarat yang muncul dari bagian umum kitab undang-undang atau asas-asas hukum yang umumnya diterima. Syarat-syarat tersebut merupakan unsur- unsur tindak pidana. Disaat dulu hingga sekarang ini ada beberapa sarjana hukum yang mempergunakan istilah “unsur” untuk bagian-bagian dari tindak pidana. Menurut Van Bemmelen agar lebih jelas sebaiknya diadakan perbedaan antara bagian dan unsur:22 “Kata „bagian‟ hanya dipergunakan jika kita berurusan dengan bagian-bagian perbuatan tertentu,seperti yang tercantum dalam uraian delik dan mempergunakan kata “unsur” untuk syarat yang diperlukan untuk dapat dipidanannya suatu perbuatan dan si pelaku dan yang 22 Van Bemmelen, hukum pidana 1, Bina Cipta, Bandung, 1984, hlm. 99. 28 muncul dari bagian umum kitab undang-undang dan asas hukum umum”. Agar suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dapat dihukum, maka perbuatan tersebut haruslah memenuhi semua unsur dari delik sebagaimana yang telah dirumuskan sebelumnya dalam undang- undang dan juga merupakan suatu tindakan melawan hukum sebagai syarat-syarat pokok dari suatu delik. Syarat-syarat pokok dari suatu delik menurut PAF Laminting adalah:23 a. Dipenuhinya semua unsur delik seperti yang terdapat didalam rumusan delik; b. Dapat dipertanggungjawabkan si pelaku atas perbuatannya; c. Tindakan dari pelaku tersebut haruslah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja; d. Pelaku tersebut dapat dihukum, sedangkan syarat-syarat penyerta seperti yang dimaksud diatas itu merupakan syarat yang harus terpenuhinya setelah tindakan seseorang itu memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam rumusan delik. Hal ini dapat diartikan bahwa sebagai syarat dapat dihukumnya seseorang yaitu apabila perbuatannya itu melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pelaku yang melanggar tersebut benar-benar dapat dipidana seperti yang sudah diancamkan, tergantung kepada keadaan batinnya dan hubungan batinnya dengan perbuatan itu, yaitu dengan kesalahannya. Perbuatan pidana tidak dapat dipisahkan dari kesalahan dan dari pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan 23 P.A.F. Laminting, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 187; 29 dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada kesalahan atau sikap batin yang dapat dicela. Tindak pidana (delik) yang mempunyai sejumlah unsur, diantara para ahli mempunyai sejumlah elemen (unsur), diantara para ahli mempunyai jalan pikiran yang berlainan. Sebagian berpendapat membagi elemen perumusan delik secara mendasar saja dan ada pendapat lain membagi elemen perumusan delik secara terperinci. Setiap tindakan pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur objektif dan unsur subjektif. Adapun yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Kemudian yang dimaksud unsur objektif itu unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan diluar diri sipelaku berupa perbuatan, keadaan dimana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan, yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Menurut PAF Lamintang unsur-unsur subjektif terdiri dari:24 a. Kesengajaan dan ketidaksengajaan; b. Maksud dan voormemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP; 24 P.A.F. Lamintang, Ibid, hlm. 193-194. 30 c. Macam-macam maksud atau oogmerk yang terdapat misalnya dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan dan pemalsuan dll; d. Merencanakan terlebih dahulu atau voobedachte read seperti yang misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; e. Perasaan takut seperti yang antara lain terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 306 KUHP. Unsur subjektif itu semua unsur mengenai keadaan batin atau gambaran batin seseorang sebelum atau akan melakukan suatu perbuatan tertentu (dalam hal ini perbuatan pidana). Unsur-unsur objektif menurut P.A.F. Lamintang terdiri dari:25 a. Sifat melanggar hukum; b. Kualitas dari si pelaku; c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. Unsur-unsur dari tindak pidana tersebut harus ada diluar diri sipelaku dan dapat dibuktikan melekat kepada seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Karena selain hal tersebut menentukan dapat dijatuhkan atau tidaknya hukuman kepada pelaku, juga menentukan berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan. Van Bammelen telah menggunakan perkataan “unsur” sebagai nama kumpulan bagi apa yang disebut „bestanddeel’ dan „element‟ yang dimaksud dengan „bestanddel van het delict’ oleh van Bammelen adalah bagian-bagian yang terdapat di dalam rumusan delik. Sedangkan yang 25 P.A.F. Lamintang, Ibid, hlm.194; 31 dimaksud dengan element van het delict adalah ketentuan-ketentuan yang tidak terdapat di dalam rumusan delik melainkan di dalam buku ke 1 KUHP atau dapat dijumpai sebagai asas-asas yang juga harus diperhatikan oleh hakim, yang terdiri dari berbagai elemen. Menurut Van Bemmelen Elemen yang dimaksud adalah:26 a. Hal dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atas tindakan yang telah ia lakukan atau atas akibat yang telah ia timbulkan; b. Hal yang dapat dipersalahkannya sesuatu tindakan atau suatu akibat kepada seseorang. Oleh karena tindakan atau akibat tersebut telah ia lakukan atau telah ia timbulkan berdasarkan unsur kesengajaan atau unsur ketidaksengajaan; c. Sifatnya yang melanggar hukum. Dapat dipertanggungjawabkan seseorang karena perbuatannya atau tindakan karena kesengajaan atau ketidaksengajaan dapat dipersalahkan dan sifatnya melanggar hukum. Vos berpendapat bahwa di dalam suatu strafbaar feit dimungkinkan adanya beberapa elemen, yaitu:27 a. Elemen perbuatan atau kelakuan orang, dalam hal berbuat atau tidak berbuat; b. Elemen akibat dari perbuatan, yang terjadi dalam delik selesai. Elemen akibat ini dapatdianggap telah nyata pada suatu perbuatan dan terkadang elemen akibat tidak dipentingkan dalam delik formil akan tetapi terkadang elemen akibat dinayatakan dengan tegas yang terpisah dari perbuatannya seperti dalam delik materiil; c. Elemen kesalahan, yang diwujudkan dengan kata-kata sengaja; 26 Van Bemmelen, hukum pidana 1, Bina Cipta, Bandung, 1984, hlm.196; 27 Vos Dalam Bukunya Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 104. 32 d. Elemen melawan hukum; e. Elemen lain menurut rumusan undang-undang, dan dibedakan menjadi segi objektif misalnya di dalam Pasal 160 diperlukan elemen di muka umum dan segi subjektif misalnya Pasal 340 kuhp diperlukan elemen direncanakan lebih dahulu. Seseorang mendapatkan hukuman tergantung pada dua hal, harus ada kelakuan yang bertentangan dengan hukum. Tetapi adanya suatu kelakuan yang melawan hukum itu belumlah cukup untuk menjatuhkan hukuman. Perlu juga kelakuan yang melawan hukum harus ada seseorang pembuat yang bertanggung jawab atas kelakuannya. 3. Rumusan Delik Rumusan delik kedalam unsur-unsurnya maka disebutkan sesuatu tindakan manusia dengan tindakan seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang. Unsur-unsur tindak pidana yaitu: 1) Perbuatan Perbuatan, dalam arti positif adalah perbuatan manusia yang disengaja, dalam arti negatif adalah kelalaian. Undang-Undang pidana kadang-kadang menentukan bahwa perbuatan aatau kelalaian orang baru dapat dihukum kalau dilakukan dalam keadaan tertentu. 2) Pelakunya dapat bertanggung jawab Bahwa untuk adanya pertanggung jawab pidana diperlukan syarat bahwa pelaku mampu bertanggung jawab. Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan 33 baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya. Bahwa seseorang mampu bertanggung jawab jika jiwanya sehat yakni ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan mampu mengerti akibat-akibat perbuatannya sendiri. 3) Adanya dolus (sengaja) dan culpa (kelalaian) Sengaja sebagai maksud menimbulkan sesuatu akibat agar tujuannya tercapainya maka sebelumnya harus dilakukan perbuatan lain yang merupakan pelanggaran terhadap suatu ketentuan Undang-Undang pidana. Sedangkan kelalaian yakni tidak adanya kehati-hatian dan kurangnya perhatian terhadap akibat yang ditimbulkan. 4) Tidak ada alasan penghapus pidana B. Tinjauan Umum Tentang SNI dan Hak Kekayaan Intelektual 1. Pengertian SNI Berdasarkan Pasal 1 ayat 17 Undang-Undang No.3 Tahun 2014 tetang perindustrian : “Standar Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SNI adalah standar yang ditetapkan oleh lembaga yang menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan di bidang standarisasi”. Standardisasi merupakan salah satu instrumen regulasi teknis yang dapat melindungi kepentingan konsumen nasional dan sekaligus produsen dalam negeri. Melalui regulasi teknis yang berbasiskan standardisasi dapat 34 dicegah beredarnya barang-barang yang tidak bermutu di pasar domestik khususnya yang terkait dengan kesehatan, keamanan, keselamatan, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Melalui instrumen yang sama, dapat dicegah masuknya barang-barang impor bermutu rendah yang mendistorsi pasar dalam negeri karena berharga rendah. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat 19 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian : “Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan, memelihara, memberlakukan, dan mengawasi standar bidang Industri yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan.” 2. Perkembangan Tentang SNI Sebagai salah satu upaya perlindungan terhadap industri dalam negeri sekaligus perlindungan terhadap konsumen pengguna produk, pemerintah Indonesia mengeluarkan regulasi teknis berupa pemberlakuan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara wajib. Produk terkait selanjutnya disebut sebagai produk SNI Wajib. Pemberlakuan SNI secara wajib berarti semua produk SNI terkait yang dipasarkan di Indonesia harus memenuhi persyaratan SNI, baik itu berasal dari produksi dalam negeri maupun impor. Eddy Herjanto dan Bendjamin L. menyatakan :28 28 Eddy Herjanto dan Bendjamin L. Standar Nasional dan ISO, Dep.Perdagangan, Jakarta, 2012, hlm. 52. 35 “Badan Standardisasi Nasional. ISSN 08539677Pembuktian atas kesesuaian terhadap persyaratan SNI dilakukan melalui mekanisme Sertifikasi Produk Penggunaan Tanda SNI (SPPTSNI). Sertifikat dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional.” Industri nasional hingga saat ini telah mampu memproduksi berbagai jenis produk sesuai dengan kebutuhan di dalam negeri maupun luar negeri. Industri nasional bersama-sama dengan pemerintah dan masyarakat tetap harus memacu diri untuk meningkatkan mutu produk yang dihasilkan. Peranan mutu menjadi sangat penting dan akan sangat menonjol di masa depan karena keterkaitan perekonomian Indonesia terhadap perekonomian global akan semakin kuat, yang dengan sendirinya dituntut untuk mengikuti dan mematuhi standar internasional dan persyaratan masing-masing negara. Tak elak bahwa globalisasi perdagangan juga membawa konsekuensi masuknya produk- produk asing ke dalam negeri. Untuk mencegah masuknya produk- produk yang bermutu rendah, pemerintah Indonesia menerapkan regulasi teknis dengan memberlakukan penerapan beberapa SNI secara wajib, sebagai salah satu upaya perlindungan terhadap konsumen pengguna sekaligus perlindungan terhadap industri dalam negeri. 36 Tjutju Dharmawan menyatakan :29 “Jumlah SNI yang ada berkembang terus, hingga pertengahan 2009 telah mencapai lebih dari 6.500 SNI dengan sekitar 4100 standar bidang industri, dan terus meningkat mencapai 4250 SNI pada akhir tahun 2010. Jumlah yang banyak ini tidak akan berarti jika tidak dijadikan acuan pasar. Penerapan SNI pada dasarnya bersifat sukarela. Namun, SNI yang berkaitan dengan kepentingan kesehatan, keselamatan, keamanan, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup (K3L), atau atas dasar pertimbangan tertentu dapat diberlakukan secara wajib.” Berdasarkan alasan di atas maka Kementerian Perindustrian telah memberlakukan penerapan beberapa SNI secara wajib. Penerapan standar memerlukan prasarana teknis dan institusional meliputi standar produk dan standar pendukungnya (cara uji, cara pengukuran, dsb), lembaga penilaian kesesuaian (sertifikasi sistem mutu, sertifikasi personil, inspeksi, laboratorium uji dan kalibrasi), dan peraturan perundangundangannya sendiri. 3. Konsep Efektivitas Penerapan SNI Wajib Efektivitas pada dasarnya mengacu pada sebuah keberhasilan atau pencapaian tujuan. Penerapan SNI Wajib dianggap efektif jika: a. Diterapkan secara konsisten oleh industri Ditandai dengan penerapan sistem manajemen mutu dan kepemilikan SPPT-SNI oleh perusahaan di industri terkait; b. Diterima oleh pasar Memenuhi aspek-aspek penerapan standar; 29 Tjutju Dharmawan, Penerapan dan Dampak Regulasi Teknis terhadap Industri Ban, dalam “Standardisasi dan Regulasi Teknis di Bidang Industri”,Departemen Perindustrian. Jakarta, 2009, hlm. 53. 37 c. Didukung oleh lembaga penilaian kesesuaian yang memadai Terdapat LSPro yang memadai untuk pelaksanaan penilaian kesesuaiannya. Dengan memperhatikan fungsi dan mekanisme pemberlakuan SNI wajib baik sebagai program kebijakan instansi terkait maupun bagian terintegrasi dari Sistem Standardisasi Nasional, maka efektifitas SNI Wajib ini juga berdampak internal 4. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual Kekayaan yang berupa benda merupakan obyek hukum. Menurut Subekti :30 “HAKI dahulu dikenal sebagai Hak Milik Intelektual. Istilah Hak Milik Intelektual merupakan terjemahan langsung dari “Intellectual Property”. Selain istilah “Intellectual Property” juga dikenal dengan istilah “intangible Property”, “Creative Property”, dan “Incorporeal Property”. Di perancis orang mengatakannya sebagai “Property Intellectuele”, dan “Propriete Industrielle”.” Pengertian yang paling luas dari perkataan “benda” adalah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang. Benda dalam arti kekayaan atau hak milik meliputi benda berwujud dan benda tidak berwujud. Salah satu bagian hak atas benda tidak berwujud adalah hak atas kekayaan intelektual. Hak Atas kekayaan Intelektual (HAKI) atau padanan kata Intellectual Property Rights adalah hak yang berkenaan dengan kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia yang berupa 30 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Ghalia, Jakarta, 1993, hlm. 60. 38 penemuan-penemuan di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. HAKI dahulu dikenal sebagai Hak Milik Intelektual. Istilah Hak Milik Intelektual merupakan terjemahan langsung dari “Intellectual Property”. Selain istilah “Intellectual Property” juga dikenal dengan istilah “intangible Property”, “Creative Property”, dan “Incorporeal Property”. Di perancis orang mengatakannya sebagai “Property Intellectuele”, dan “Propriete Industrielle”. Di Belanda biasa disebut “Milik Intelektual” dan “Milik Perindustrian”. World Intellectual Property Organization atau WIPO sebagai organisasi internasional yang mengurus bidang hak milik intelektual memakai istilah Intellectual Property yang mempunyai pengertian luas dan mencakup antara lain karya kesusastraan, artis, kaset, dan penyiaran audio visual, penemuan dalam segala bidang usaha manusia, penemuan ilmiah, desain industri, merek dagang, nama usaha, dan penentuan komersial (commercial names and disignation), dan perlindungan terhadap permainan curang. Pemilikan HAKI bukan terhadap barangnya melainkan terhadap hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir atau intelektual manusia yang bisa dilihat, didengar, dibaca, maupun digunakan secara praktis, memiliki manfaat dan berguna dalam menunjang kehidupan manusia serta bernilai ekonomis. 39 Menurut W.R Cornish yang dikutip Muhamad Djumhana dan R. Djubaedillah :31 “Idea termasuk hasil kemampuan intelektual : “Milik Intelektual melindungi pemakaian idea informasi yang mempunyai nilai komersial atau ekonomi”.” HAKI sangat penting artinya sebagai suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana pemberian hak terhadap kekayaan berupa aset yang tidak kasat mata (Intangible) kepada pihak-pihak yang telah memenuhi persyaratan dan memberikan perlindungan kepada pemegang hak, karena sifatnya tersebut maka HAKI sebagai aset harus disempurnakan dokumentasi hukumnya yaitu, : dengan pendaftaran ke instansi yang ditunjuk untuk itu, di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Konsideran huruf (b), yang dimuat dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization merupakan “payung” bagi perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan memberikan harapan agar meningkatnya daya saing Indonesia di bidang ekonomi terutama dalam perdagangan internasional. Konsideran huruf (b) selengkapnya adalah sebagai berikut: “Bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, khususnya di bidang ekonomi, diperlukan upaya-upaya untuk antara lain terus meningkatkan, memperluas, memantapkan dan mengamankan pasar bagi segala produk 31 Muhamad Djumhan dan R. Djubaedillah, Op Cit, hal: 20 40 baik barang maupun jasa, termasuk aspek investasi dan hak atas kekayaan intelektual yang berkaitan dengan perdagangan, serta meningkatkan kemampuan daya saing teri\utama dalam perdagangan internasional”. Untuk itu pemerintah bersama DPR RI memandang perlu untuk mengganti Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang merek sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 14 Tahun 1997 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang merek, dengan menetapkan Undang_undang No. 15 Tahun 2001 tentang merek, karena terdapat ketentuan-ketentuan yang harus disesuaikan dengan TRIPs Agreement dan atau disesuaikan dengan persetujuan internasional lainnya seperti Konvensi Paris, London, dan Stockholm. 5. Sifat-sifat Atas Hak Kekayaan Intelektual HAKI sebagai bagian dari hukum harta benda (hukum kekayaan), maka pemiliknya dapat dengan leluasa menikmati kegunaan suatu kebendaan dengan berbuat bebas melakukan apa saja terhadap harta benda/ kekayaannya. Kebebasan itu ada batasnya, yaitu, tidak bertentangan dengan kesusilaan, tidak merugikan kepentingan umum, dan peraturan perundang-undangan. Pengaturan hak milik intelektual dalam perkembangannya menempatkan undang-undang tidak semata-mata bersifat tambahan melainkan juga bersifat memaksa. Perubahan pengaturan tersebut masih tetap memperhatikan sifat asli hak milik intelektual, diantaranya: a. Mempunyai jangka waktu terbatas; Dalam arti setelah habis masa perlindungannya, ciptaan atau penemuan tersebut akan menjadi milik 41 umum, tetapi ada pula yang setelah habis masa perlindungannya bisa diperpanjang terus, misalnya hak merek, tetapi ada juga yang perlindungannya hanya bisa diperpanjang satu kali dan jangka waktunya tidak sama lamanya dengan jangka waktu perlindungan pertama, contohnya hak paten. Jangka waktu perlindungan hak milik intelektual ini ditentukan secara jelas dan pasti dalam undangundangnya, misalnya merek dilindungi selama 10 tahun dan berlaku surut sejak tanggal penerimaan permintaan pendaftaran merek. b. Bersifat eksklusif dan mutlak; Maksud bersifat eksklusif dan mutlak yaitu bahwa si pemilik/pemegang hak tersebut dapat mempertahankannya dan melakukan penuntutan kepada seseorang (siapapun) atas pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain tersebut. Si pemilik/pemegang hak milik intelektual mempunyai suatu hak monopoli, yaitu bahwa dia dapat mempergunakan haknya dengan melarang siapapun tanpa persetujuannya membuat ciptaannya/penemuan ataupun menggunakannya. c. Bersifat hak mutlak yang bukan kebendaan. Pemilikan HAKI bukan terhadap barangnya melainkan terhadap hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir atau intelektual manusia yang dapat dilihat, didengar, dibaca maupun digunakan secara praktis, memiliki manfaat dan berguna dalam menunjang kehidupan manusia serta bernilai ekonomis. 6. Prinsip-prinsip Hak Kekayaan Intelektual 42 Hubungan yang tercipta antara hukum dengan kepemilikan adalah hukum menjamin bagi sertiap manusia penguasaan dan kenikmatan eksklusif atas benda atau ciptaannya tersebut dengan keikutsertaan negara. Hukum dengan bantuan negara memberikan perlindungan untuk kepentingan si pemilik baik secara pribadi maupun secara kelompok. Hukum juga memberikan jaminan agar ketertiban didalam masyarakat tetap terpelihara dan kepentingan masyarakat tidak terganggu oleh kelompok pribadi. Untuk menyeimbangkan kepentingankepentingan tersebut, maka sistem hak milik intelektual harus berdasarkan kepada prinsip:32 a. Pinsip keadilan (the principle of natural justice) Penciptaan sebuah karya, atau orang lain yang bekerja membuahkan hasil dari kemampuan intelektualnya, wajar memperoleh imbalan. Imbalan tersebut dapat berupa materi atau bukan materi seperti adanya rasa aman karena dilindungi dan diakui atas hasil kerjanya. Hukum memberikan perlindungan tersebut demi kepentingan pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut, yang kita sebut hak. Setiap hak mwnurut hukum itu mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya. Menyangkut hak milik intelektual maka peristiwa yang menjadi alasan melekatnya itu adalah penciptaan yang mendasarkan atas kemampuan intelektualnya. Perlindungan ini 32 Muhamad Djumhana dan R. Djubaedillah, Op.cit, hlm. 25-26. 43 pula tidak terbatas di dalam negeri penemu itu sendiri, melainkan juga dapat meliputi perlindungan diluar batas negaranya. Hal itu karena hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan (commission) atau tidak melakukan (omission) suatu perbuatan. b. Prinsip ekonomi (the economic argument) Hak milik intwelektual ini merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuk, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, maksudnya adalah bahwa kepemilikan itu wajar karena sifat ekonomi manusia yang menjadikan hal itu suatu keharusan untuk menunjang kehidupan dalam masyarakat. Dengan demikian hak milik intelektual merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya. Dari kepemilikannya seseorang akan mendapatkan keuntungan, misalnya dalam bentuk pembayaran royalty, dan technical fee. c. Prinsip kebudayaan (the cultural argument) Kita mengkonsepsikan bahwa kerja manusia itu pada hakekatnya bertujuan unutk memungkinkannya hidup, selanjutnya dari karya itu pula akan timbul pula suatu gerak hidup yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi. Dengan konsepsi demikian maka pertumbuhan, dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sangat besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban dan martabat manusia. Selain itu juga akan memberikan kemashlahatan bagi masyarakat, 44 bangsa dan negara. Pengakuan atas kreasi, karsa, karya cipta manusia yang dibakukan dalam sistem hak milik intelektual adalah suatu yang tidak dapat dilepaskan sebagai perwujudan suasana yang diharapkan mampu membangkitkan semangat dan melahirkan ciptaan baru. d. Prinsip sosial (the social argument) Hukum tidak mengatur kehidupan manusia sebagai perseorangan yang berdiri sendiri, terlepas dari manusia lain, tetapi hukum mengatur kepentingan manusia sebagai warga masyarakat. Jadi manusia didalam hubungannya dengan manusia lain yang sama-sama terikat dalam suatu ikatan kemasyarakatan. Dengan demikian hak apapun yang diakui oleh hukum dan diberikan kepada perseorangan atau suatu persekutuan atau kesatuan lain, tidak boleh diberikan semata-mata untuk memenuhi kepentingan perseorangan, persekutuan atau kesatuan lain itu saja, akan tetapi pemberian hak kepada perseorangan, persekutuan atau kesatuan itu diberikan dan diakui oleh hukum, oleh karena dengan diberikannya hak tersebut kepada perseorangan, persekutuan atau kesatuan hukum itu, kepentingan seluruh masyarakat akan terpenuhi. 7. Pengawasan Dalam Perniagaan Kegiatan Industri Perakitan TV a. Pengertian pengawasan Pengawasan mempunyai peranan penting yang bertujuan untuk mendukung kelancaran dan ketepatan pelaksanaan kegiatan pemerintah. Pengawasan dapat dianggap sebagai aktivitas untuk 45 menemukan, memperbaiki penyimpangan-penyimpangan penting dari hasil yang didapat dari aktivitas-aktivitas yang ditetapkan. Menurut Prajudi Atmosudirjo, pengawasan adalah:33 “Sarana terbaik untuk membuat segala sesuai berjalan dengan baik. Dalam administrasi negara pengawasan adalah proses kegiatan-kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diseleggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan”. Menurut Sondang P. Siagian, pengawasan adalah:34 “Proses pengamatan dari pada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua yang tengah berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan”. Jadi berdasarkan kedua definisi diatas, dapat diketahui bahwa pengawasan adalah upaya pemeriksaan apakah semua yang telah berjalan telah sesuai rencana yang ditetapkan, perintah yang dikeluarkan dan prinsip yang dianut. Pengawasan juga dimaksudkan untuk mengetahui kelemahan dan kesalahan dapat dihindari kejadiannya di kemudian hari dan mematuhi segala peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. b. Tujuan Pengawasan 33 Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm.84; 34 Sondang P.Siagian, Filsafat Administrasi, Hajimas Agung, Jakarta, 1990, hlm.135. 46 Untuk mewujudkan suatu aktivitas pengawasan yang baik, efektip, dan efisien, maka pelaksanaan pengawasan harus dilaksanakan secara sistematis. Pengawasan yang sistematis akan memberikan hasil yang optimal, sehingga semua aspek yang diawasi sudah dipertimbangkan seluruhnya. Umumnya tujuan dari pengawasan menurut Kusnadi meliputi:35 1) Pengukuran kepatuhan terhadap kebijakan, rencana, prosedur, peraturan, dan hukum berlaku; 2) Menjaga sumber daya yang dimiliki; 3) Pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan; 4) Dipercayainya informasi dan keterpaduan informasi yang ada; 5) Kinerja yang sedang berlangsung dan kemudian membandingkan aktual dengan standar serta menetapkan tingkat penyimpangan yang kemudian dicari solusinya. Menurut Husnaini, tujuan pengawasan adalah sebagai berikut:36 1) Menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan pemborosan, dan hambatan; 2) Mencegah terulang kembalinya kesalahan, pemborosan, dan hambatan; 3) Meningkatkan kelancaran operasi perusahaan melakukan tindakan koreksi terhadap kesalahan yang dilakukan dalam pencapaian kerja yang baik. Menurut Maringan, tujuan pengawasan adalah sebagai berikut:37 35 Kusnadi, Marwan, dkk, Pengantar Manajemen, Universitas Brawijaya, Malang, 2002, hlm.265; 36 Husnaini, Manajemen, Bumi Aksara, Jakarta, 2001, hlm.400; 37 Masry Maringin S, Dasar-Dasar Administrasi dan Manajemen, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm.61. 47 1) Mencegah dan memperbaiki kesalahan, penyimpangan, ketidaksesuaian dalam pelaksanaan tugas yang dilakukan. 2) Agar pelaksanaan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan perusahaan dapat tercapai jika fungsi pengawasan dilakukan sebelum terjadinya penyimpangan-penyimpangan sehingga lebih bersifat mencegah. Dibandingkan dengan tindakan pengawasan- pengawasan sesudah terjadinya penyimpangan, maka tujuan pengawasan adalah menjaga hasil pelaksana kegiatan sesuai dengan rencana. Ketentuan-ketentuan dan infrastruktur yang telah ditetapkan benar-benar diimplementasikan. Sebab pengawasan yang baik akan tercipta tujuan perusahaan yang efektip dan efisien. c. Pengawasan Kegiatan Usaha Perindustrian Dalam Perakitan TV Pengawasan terhadap kegiatan usaha perindustrian diatur dalam Pasal 117 sampai dengan Pasal 118 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian. Pengawasan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah atas pekerjaan dan pelaksanaan kegiatan Perindustrian di Indonesia. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada undang-undang ini dilakukan oleh pejabat dari unit kerja di bawah Menteri dan/atau lembaga terakreditasi yang ditunjuk oleh Menteri. Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengetahui pemenuhan dan kepatuhan 48 terhadap peraturan di bidang Perindustrian yang dilaksanakan oleh Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri. Pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan di bidang Perindustrian yang dilaksanakan oleh Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam undang- undang paling sedikit meliputi: a. sumber daya manusia Industri; b. pemanfaatan sumber daya alam; c. manajemen energi; d. manajemen air; e. SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara; f. Data Industri dan Data Kawasan Industri; g. standar Industri Hijau; h. standar Kawasan Industri; i. perizinan Industri dan perizinan Kawasan Industri; dan j. keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, penyimpanan, dan pengangkutan. C. Penegakan Hukum Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup, abstrak yang menjadi tujuan hukum. Menurut 49 Soejono Soekanto, secara konsepsional inti dan arti dari penegakan hukum terletak pada:38 “Kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan sikap tindakan sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhim untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup”. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan bagian dari politik kriminal yang pada hakikatnya menjadi bagian integral dari kebijakan sosial. Kemudian kebijakan ini diimplementasikan ke dalam peradilan pidana. Menurut Muladi:39 “Sistem peradilan pidana mempunyai dimensi fungsional ganda. Disatu pihak berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan pada tingkatan tertentu, dilain pihak sistem peradilan pidana juga berfungsi untuk pencegahan sekunder yaitu mencoba mengurangi kriminalitas dikalangan mereka yang pernah melakukan tindak pidana dan mereka yang bermaksud melakukan kejahatan melalui proses deteksi, pemidanaan dan pelaksanaan pidana.” Sistem peradilan pidana tersebut di dalam operasionalnya melibatkan sub-sistemnya yang bekerja secara koheren, koordinatif, dan integratif agar dapat mencapai efesiensi dan efektivitas yang maksimal. Oleh karena itu efesiensi dan efektivitas yang maksimal. 38 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm.7. 39 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, semarang, 1995, hlm. 21-22; 50 Satjipto Rahardjo mengatakan efektivitasnya penegakan hukum sangat bergantung pada faktor-faktor sebagai berikut :40 1. Infrasturktur pendukung sarana dan prasarana; 2. Profesional aparat penegak hukum; 3. Budaya hukum masyarakat. Pemahaman di atas menegaskan bahwa proses bekerjanya peradilan pidana baru dapat terbentuk sebagai suatu proses yang sistematis apabila ada pemahaman yang sama diantara komponen-komponen peradilan pidana dengan tujuan sistem peradilan pidana. Apabila tidak tercipta pemahaman yang sama diantara komponen peradilan pidana berpotensi akan terfragmentasi dan berjalan sendiri-sendiri, sehingga akan menyebabkan penegakan hukum dengan menggunakan sistem ini tidak akan berhasil dengan baik. Kualitas pembangunan dan penegakan hukum yang dituntut masyarakat saat ini bukan sekedar kualitas formal, tetapi terutama kualitas materil substansial. Oleh karena itu, strategi sasaran pembangunan dan penegakan hukum harus ditujukan pada kualitas substansif seperti terungkap seperti terungkap dalam beberapa isu yang muncul atau dituntut masyarakat saat ini. Menurut Barda Nawawi Arief yaitu:41 1. Adanya perlindungan hak asasi manusia (HAM); 40 Satjipto Rahardjo, Ibid, hlm.25. 41 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm.14-15. 51 2. Tegaknya nilai kebenaran, kejujuran, keadilan dan kepercayaan antar sesama; 3. Tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan; 4. Bersih dari praktek pilih kasih, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan mafia peradilan; 5. Terwujudnya kekuasaan kehakiman atau penegakan hukum yang merdeka dan tegaknya kode etik; 6. Adanya penyelenggaraan pemerintah yang bersih dan berwibawa. Banyak faktor yang mempengaruhi dan menentukan kualitas pembangunan dan penegakan hukum. Barda Nawawi Arif menyatakan bahwa faktor itu dapat berupa:42 “Kualitas individual sumber daya manusia (SDM), Kualitas struktur hukum, kualitas sarana dan prasarana, kualitas perundang-undangan, dan kualitas kondisi lingkungan (sistem sosial, ekonomi, politik, budaya, termasuk budaya hukum masyarakat)”. Pandangan-pandangan tersebut senantiasa terwujud di dalam pasangan-pasangan tertentu seperti nilai ketertiban dan nilai ketentraman. Nilai ketertiban bertitik tolak pada keterkaitan, sedangkan nilai ketentraman bertitik tolak pada kebebasan. Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan dan peranan. Kedudukan merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan. Seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan. Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, kewajiban adalah beban atau tugas suatu peranan tertentu, dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur. 42 Barda Nawawi Arief, Ibid, hlm.16; 52 Dinyatakan oleh Soejono Soekanto yaitu:43 1. Peranan yang ideal; 2. Peranan yang seharusnya; 3. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri; 4. Peranan yang sebenarnya dilakukan. Dalam proses penanggulangan kejahatan dengan penegakan hukum pidana tidak selalu dapat berjalan dengan efektif. Penegakan hukum pidana itusendiri merupakan bagian integral dari penegakan hukum pada umumnya. Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi apabila ada ketidakserasian antara nilai, kaidah dan pola prilaku. Penegakan hukum juga bukanlah semata pelaksanaan undang-undang dan pelaksanaan keputusan-keputusan hakim. Masalah penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soejono Soekanto ialah:44 1. Hukum (undang-undang); 2. Penegak hukum; 3. Sarana atau fasilitas yang mendukung; 4. Masyarakat; 5. Kebudayaan. 43 Soejono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mmempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983, hlm.1-2. 44 Soejono Soekanto, Ibid, hlm.7. 53 Penjelasan dari faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu: 1) Hukum (undang-undang) Dalam ilmu hukum dikenal asas berlakunya undang-undang yaitu asas non-retroaktif (tidak berlaku surut), asas lex superior derogat legi inferiori (perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan perundang-undangan yang lebih rendah), serta asas peraturan perundang- undangan lainnya. disamping hal tersebut, perumusan suatu undang- undang juga harus memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Oleh Soejono Soekanto, gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang mungkin disebabkan tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, belum adanya peraturan pelaksana yaang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang dan ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang- undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran dan penegakannya. 2) Penegak hukum Penegak hukum yang dimaksud adalah mereka yang berkecimpung secara langsung di bidang penegakan hukum yaitu mereka yang bertugas di kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan pemasyarakatan. Penegak hukum memiliki diskresi (kebebasan dalam mengambil keputusan) yang sering menimbulkan kesenjangan antara penegak hukum yang seharusnya ideal dengan peranan penegak hukum yang sebenarnya aktual. Selain diskresi, faktor penyebab adanya kesenjangan tersebut adalah moral penegak hukum itu sendiri. Halangan yang mungkin dijumpai dalam penerapan peranan yang seharusnya dari 54 aparat penegak hukum berasal dari dirinya sendiri dan dari lingkungan yaitu: a. keterbatasan kemampuan menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi; b. tingkat aspirasi yang belum tinggi; c. kegairahan yang terbatas untuk memikirkan masa depan; d. belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu; e. kurangnya daya inovatif. 3) Sarana atau fasilitas yang mendukung Tanpa adanya sarana atau fasilitas yang memadai, maka penegakan hukum tidak akan dapat berjalan dengan baik. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan dan perlengkapan yang memadai, keuangan yang mencukupi dll. 4) Masyarakat Penegakan hukum berasal dan bertujuan untuk masyarakat sehingga masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat dapat menaati hukum karena kepatuhan hukum (takut akan sanksi yang terpaksa) maupun karena kesadaran hukum. Hal-hal kemasyarakatan yang terkait dengan penegakan hukum adalah kemajemukan masyarakat dan pengetahuan maupun anggapan masyarakat tentang hukum itu sendiri. 5) Kebudayaan Sebagai suatu sistem (subsistem dan sistem kemasyarakatan) menurut Lawrence M. Friedman, maka hukum mencakup struktur, substansi dan kebudayaan. Kebudayaan hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang 55 merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga diteladani) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).